Berita (7) Buku Saya (3) Cerpen (31) Download Novel (2) lain-lain (1) Musik (7) Puisi (39)

Translate

Sabtu, 31 Desember 2011

Kisah Cinta Sang Playboy


KAMI AKUI BAHWA RIZAL YUDHA PAHLEFI ADALAH lelaki paling tampan di sekolah kami waktu itu. Se-mua wanita tergila-gila pada ketampanannya, terma-suk guru-guru muda berkelamin perempuan. Sangat wajar di usianya yang masih sangat muda ia sudah merasakan berbagai jenis cinta dari berbagai jenis bentuk wanita, mulai dari yang nyaris cantik sampai yang sangat cantik. Di bawah yang nyaris cantik itu ia tak pernah. Standar tipenya tinggi Bung!

“Tumben kita semua ngumpul di warung Acong. Ini suatu pertanda Boi!” Seru Rizal. Seperti biasa, persediaan kopi di rumahnya sedang habis.

“Tepat Zal. Ini pertanda rumah Pak Haji Daud akan ramai oleh orang gila,” jawabku.
Rizal sudah mengecap kesenangan bertahun-tahun lamanya serta menyakiti puluhan gadis-gadis yang tak bersalah. Gadis terakhir yang menjadi targetnya adalah Ambarwati. Setelah itu target sebetulnya ba-nyak, tapi tak ada yang mau dengannya.
Tahukah kawan mengapa bisa begitu? Itu semua karena bencong. Perjalanan cintanya berakhir di ta-ngan seorang bencong. Namanya Ranti. Asli! Ben-cong tersebut memang cantik, sayangnya bencong. Ide ini tercetus karena ia tak diberi uang jajan oleh orang tuanya selama dua minggu sebagai hukuman bagi Rizal yang suka bolos dan pada saat yang sama ia sedang mengejar-ngejar cinta Ambarwati anak SMK Tanjungpandan yang materialistis abis.
Setiap hari Rizal dibawakan bekal nasi oleh ibu-nya. Otomatis reputasinya saat itu hancur berkeping-keping.
“Boi. Sekarang kau jadi anak mama. Hebat kau Boi!” Ardi menepuk bahunya. Rizal makan bekalnya di belakang sekolah. Tempat itu sepi dan sengaja di-pilih agar tak ketahuan yang lain. Kecuali kami ber-tiga Bung! Tak ada yang kami tak tahu tentangnya karena ia tipe lelaki yang tak bisa memendam cerita terlalu lama. Cerita dalam otaknya ibarat bisul, kalau sudah keluar mata bisulnya pasti lega. Hidup di dunia serasa di surga.
“Aku sudah tak tahan dengan penyiksaan ini ka-wan. Aku merasa terhina. Harga diriku terinjak-in-jak,” curhatnya pada kami.
“Kata Pak Haji Daud, hidup itu mudah. Asal kita mengikuti aturan,” ceramah Aidil.
“Benar kawan. Aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan sekarang,” Rizal seperti baru mendapatkan ilham.
“Apa itu Boi?”
“Pacar baru kawan! Aku harus mencari pacar baru yang memiliki banyak uang!” teriak Rizal. Hampir saja bekalnya tumpah.
“Bukankah kau sedang mengejar Ambarwati Boi?”
“Makanya otak kau jangan kau letakkan di mata kaki kawan. Suatu saat ilmu percintaan akan kuajar-kan padamu,” janji Rizal pada Aidil. Kenyataannya Rizal tak pernah memberikan ilmunya pada Aidil. Nyaris saja Aidil menjadi bujang tua.
Perburuan itu dimulai dari malam itu di acara kawinan kembang desa Siburik. Di sana ada madun[1], sangat pas untuk mencari mangsa. Mata Rizal liar memperhatikan sekitarnya. Hitam matanya tak per-nah berada di tengah, selalu berada di sudut-sudut matanya. Ada gerakan sedikit matanya langsung mencari di mana asal gerakan itu. Tentunya sambil berjoget.
Kami bertiga hanya menunggu di pinggir jalan sambil makan kacang rebus. Tak lama kemudian ia menghampiri kami.
“Bagaimana Zal, perburuanmu malam ini?” Tanya Ardi.
“Semuanya miskin Boi!”
“Gagal? Mari kita pulang. Habislah kita kalau ketahuan Pak Haji Daud, pasti kita dipaksa khatam Al Quran dalam seminggu,” Aidil terbayang-bayang kemarahan Pak haji Daud jika ketahuan nonton ma-dun.
“Tidak gagal Boi. Ada satu target yang mencuri perhatianku. Coba kalian lihat ke arah jam sebelas,” Rizal menunjuk—kalau dilihat dari jauh seperti wani-ta seksi—yang dimaksud.
“Cantik,” kataku..
“Dari jauh terlihat luar biasa,” tambah Ardi.
Rupanya hanya Aidil saja yang waras,”Tidak salah kau Zal? Itu setengah wanita! Laki-laki Zal! Sudah tak normal kau rupanya akibat tak mampu mendapat-kan cinta Ambarwati.”
“Sst! Itulah sebabnya kau tak pernah mendapatkan wanita Dil. Percuma kau kuajarkan teknik mendapat-kan cinta kalau kau belum melihat hasilnya nanti,” Rizal menjitak kepala Aidil.
Rizal benar-benar memacari bencong yang kami lihat malam itu. Ternyata itu bencong kaya Bung! Dan Rizal hanya memanfaatkan uangnya saja. Tentu saja sahabatku itu sangat normal. Ia menggunakan uang hasil rampokannya terhadap Ranti (nama ben-cong tersebut) sebagai modal untuk mendekati -. Cinta begitu kejam Kawan!
Semakin lama Aidil semakin paham apa yang di-maksud Rizal. Aidil selalu rajin mencatat teknik-tek-nik meraih cinta meskipun tak disuruh mencatat—dia mencatatnya secara diam-diam.
Tapi sepintar-pintarnya tupai melompat akhirnya terjatuh juga. Pada suatu malam yang romantis, Rizal mengajak Ambarwati makan di sebuah kafe di Tan-jong Pendam.
“Kau pesan saja apa pun yang kau suka. Tapi kau jangan pesan cinta abang sama kafe ini. Kalau mau langsung saja pesan sama Bang Rizal, dan nanti Bang Rizal kasih gratis untuk Ambar.”
“Ih Bang Rizal genit.”
“Ah masak sih Abang genit?” Rizal mencolek da-gu Ambar.
“Tuh kan genit. Ambar jadi malu.”
Jam tujuh lewat sekian, suasana masih romantis.
“Kenapa ya handphone Ambar tiba-tiba nge-hang,” Ambar pura-pura memencet handphone jadul-nya.
“Pakai handphone abang saja dulu. Nanti Abang belikan yang baru. Yang jadul itu dibuang saja,” Rizal memberikan handphone yang baru saja dibeli-kan oleh ranti dua hari yang lalu.
“Bang Rizal baiiik deh,” Ambar mencubit-cubit pipinya.
“Aduh, pipi Abang jadi bersemu merah,” Rizal ce-kikikan.
Jam delapan tepat barulah suasana menjadi panas, hot, mencekam, mengerikan dan menegangkan.
“RIZAL! KURANG AJAR KAU! BERANI-BE-RANINYA KAU PERGI DENGAN WANITA LA-IN!” Ranti dengan suara lakinya menggebrak meja.

Penasaran? Selengkapnya ada di buku KUMPULAN CERITA PELUKIS PAGI

[1] dangdutan
[2] itik

0 komentar: