KAMI AKUI BAHWA
RIZAL YUDHA PAHLEFI ADALAH lelaki paling tampan di sekolah
kami waktu itu. Se-mua wanita tergila-gila pada ketampanannya, terma-suk
guru-guru muda berkelamin perempuan. Sangat wajar di usianya yang masih sangat
muda ia sudah merasakan berbagai jenis cinta dari berbagai jenis bentuk wanita,
mulai dari yang nyaris cantik sampai yang sangat cantik. Di bawah yang nyaris
cantik itu ia tak pernah. Standar tipenya tinggi Bung!
“Tumben kita semua
ngumpul di warung Acong. Ini suatu pertanda Boi!” Seru Rizal. Seperti biasa,
persediaan kopi di rumahnya sedang habis.
“Tepat Zal. Ini
pertanda rumah Pak Haji Daud akan ramai oleh orang gila,” jawabku.
Rizal sudah mengecap
kesenangan bertahun-tahun lamanya serta menyakiti puluhan gadis-gadis yang tak
bersalah. Gadis terakhir yang menjadi targetnya adalah Ambarwati. Setelah itu
target sebetulnya ba-nyak, tapi tak ada yang mau dengannya.
Tahukah kawan mengapa
bisa begitu? Itu semua karena bencong. Perjalanan cintanya berakhir di ta-ngan
seorang bencong. Namanya Ranti. Asli! Ben-cong tersebut memang cantik,
sayangnya bencong. Ide ini tercetus karena ia tak diberi uang jajan oleh orang
tuanya selama dua minggu sebagai hukuman bagi Rizal yang suka bolos dan pada
saat yang sama ia sedang mengejar-ngejar cinta Ambarwati anak SMK Tanjungpandan
yang materialistis abis.
Setiap hari Rizal
dibawakan bekal nasi oleh ibu-nya. Otomatis reputasinya saat itu hancur
berkeping-keping.
“Boi. Sekarang kau jadi
anak mama. Hebat kau Boi!” Ardi menepuk bahunya. Rizal makan bekalnya di
belakang sekolah. Tempat itu sepi dan sengaja di-pilih agar tak ketahuan yang
lain. Kecuali kami ber-tiga Bung! Tak ada yang kami tak tahu tentangnya karena
ia tipe lelaki yang tak bisa memendam cerita terlalu lama. Cerita dalam otaknya
ibarat bisul, kalau sudah keluar mata bisulnya pasti lega. Hidup di dunia
serasa di surga.
“Aku sudah tak tahan
dengan penyiksaan ini ka-wan. Aku merasa terhina. Harga diriku
terinjak-in-jak,” curhatnya pada kami.
“Kata Pak Haji Daud,
hidup itu mudah. Asal kita mengikuti aturan,” ceramah Aidil.
“Benar kawan. Aku sudah
tahu apa yang harus aku lakukan sekarang,” Rizal seperti baru mendapatkan
ilham.
“Apa itu Boi?”
“Pacar baru kawan! Aku
harus mencari pacar baru yang memiliki banyak uang!” teriak Rizal. Hampir saja
bekalnya tumpah.
“Bukankah kau sedang mengejar
Ambarwati Boi?”
“Makanya otak kau
jangan kau letakkan di mata kaki kawan. Suatu saat ilmu percintaan akan
kuajar-kan padamu,” janji Rizal pada Aidil. Kenyataannya Rizal tak pernah
memberikan ilmunya pada Aidil. Nyaris saja Aidil menjadi bujang tua.
Perburuan itu dimulai
dari malam itu di acara kawinan kembang desa Siburik. Di sana ada madun[1],
sangat pas untuk mencari mangsa. Mata Rizal liar memperhatikan sekitarnya.
Hitam matanya tak per-nah berada di tengah, selalu berada di sudut-sudut
matanya. Ada gerakan sedikit matanya langsung mencari di mana asal gerakan itu.
Tentunya sambil berjoget.
Kami bertiga hanya
menunggu di pinggir jalan sambil makan kacang rebus. Tak lama kemudian ia
menghampiri kami.
“Bagaimana Zal,
perburuanmu malam ini?” Tanya Ardi.
“Semuanya miskin Boi!”
“Gagal? Mari kita
pulang. Habislah kita kalau ketahuan Pak Haji Daud, pasti kita dipaksa khatam
Al Quran dalam seminggu,” Aidil terbayang-bayang kemarahan Pak haji Daud jika
ketahuan nonton ma-dun.
“Tidak gagal Boi. Ada
satu target yang mencuri perhatianku. Coba kalian lihat ke arah jam sebelas,”
Rizal menunjuk—kalau dilihat dari jauh seperti wani-ta seksi—yang dimaksud.
“Cantik,” kataku..
“Dari jauh terlihat
luar biasa,” tambah Ardi.
Rupanya hanya Aidil
saja yang waras,”Tidak salah kau Zal? Itu setengah wanita! Laki-laki Zal! Sudah
tak normal kau rupanya akibat tak mampu mendapat-kan cinta Ambarwati.”
“Sst! Itulah sebabnya
kau tak pernah mendapatkan wanita Dil. Percuma kau kuajarkan teknik
mendapat-kan cinta kalau kau belum melihat hasilnya nanti,” Rizal menjitak
kepala Aidil.
Rizal benar-benar
memacari bencong yang kami lihat malam itu. Ternyata itu bencong kaya Bung! Dan
Rizal hanya memanfaatkan uangnya saja. Tentu saja sahabatku itu sangat normal.
Ia menggunakan uang hasil rampokannya terhadap Ranti (nama ben-cong tersebut)
sebagai modal untuk mendekati -. Cinta begitu kejam Kawan!
Semakin lama Aidil
semakin paham apa yang di-maksud Rizal. Aidil selalu rajin mencatat
teknik-tek-nik meraih cinta meskipun tak disuruh mencatat—dia mencatatnya
secara diam-diam.
Tapi sepintar-pintarnya
tupai melompat akhirnya terjatuh juga. Pada suatu malam yang romantis, Rizal
mengajak Ambarwati makan di sebuah kafe di Tan-jong Pendam.
“Kau pesan saja apa pun
yang kau suka. Tapi kau jangan pesan cinta abang sama kafe ini. Kalau mau
langsung saja pesan sama Bang Rizal, dan nanti Bang Rizal kasih gratis untuk
Ambar.”
“Ih Bang Rizal genit.”
“Ah masak sih Abang
genit?” Rizal mencolek da-gu Ambar.
“Tuh kan genit. Ambar
jadi malu.”
Jam tujuh lewat sekian,
suasana masih romantis.
“Kenapa ya handphone Ambar tiba-tiba nge-hang,” Ambar pura-pura memencet handphone jadul-nya.
“Pakai handphone abang saja dulu. Nanti Abang
belikan yang baru. Yang jadul itu dibuang saja,” Rizal memberikan handphone yang baru saja dibeli-kan oleh
ranti dua hari yang lalu.
“Bang Rizal baiiik
deh,” Ambar mencubit-cubit pipinya.
“Aduh, pipi Abang jadi
bersemu merah,” Rizal ce-kikikan.
Jam delapan tepat
barulah suasana menjadi panas, hot,
mencekam, mengerikan dan menegangkan.
“RIZAL! KURANG AJAR
KAU! BERANI-BE-RANINYA KAU PERGI DENGAN WANITA LA-IN!” Ranti dengan suara
lakinya menggebrak meja.
0 komentar:
Posting Komentar