Berita (7) Buku Saya (3) Cerpen (31) Download Novel (2) lain-lain (1) Musik (7) Puisi (39)

Translate

Kamis, 22 Desember 2011

Cerpen: Kamno Pattan and The Black Silver (Bagian 1)

SEBELUM KITA MEMULAI CERITA INI, MARILAH KITA dengan segenap hati menyanyikan lagu pembukanya terlebih dahulu. Terserah kalian nadanya ingin seperti apa.

Kamno! Kamno!
Kamno Sang Pahlawan
Membela kebenaran dan keadilan

Kamno! Kamno!
Kamno Sang Pahlawan
Membela perawan dan perempuan

Reff:
Berlarilah Kamno, kejar penjahat
Berlarilah Kamno, bela ibu guru
Jangan lupa belajar yang rajin
Agar menjadi pintar dan cerdas
Karena ayahmu di sana
Menunggumu pulang untuk mencangkul sawah

Namanya Udin. Hanya empat huruf yang sederha-na dan terlahir dari keluarga yang sederhana pula. Tak ada yang istimewa kecuali kebaikannya yang tia-da tara.
Hanya saja nasibnya yang selalu naas, dianggap pecundang dan tersingkirkan. Padahal apa salahnya dia? Dia seorang yang sangat biasa dan apakah itu sa-lah? Terkadang hidup itu memang tak adil. Terutama soal percintaan. Tak ada keberuntungan soal cinta da-lam kamus hidupnya. Tragis, naas, sadis, miris atau apalah untuk menggambrkan kesialan yang selalu sa-ja menghampiri tiada henti.
Udin menyukai seorang gadis bernama Jesika Is-tinja. Dari segi nama saja sudah bagai langit dan bumi. Apa lagi bentuknya, bagaikan cacing dan bu-rung cendrawasih. Padahal segala kebaikan yang di-berikan kepada Jesika adalah sebuah ketulusan. Teta-pi jesika menganggapnya ada udang dibalik bakwan. Untunglah Udin seorang yang tegar sehingga dia tidak akan menangis sepanjang malam setelah ditolak mentah-mentah oleh Jesika. Padahal waktu itu, Udin hanya mengambilkan pulpen Jesika yang terjatuh dari meja saat kuliah Kalkulus. Tega-teganya Jesika lang-sung keluar mencari pasir, kemudian membasuh pul-pennya dengan pasir lalu disiramnya dengan air tujuh kali. Udin hanya mengelus-elus dadanya. Teman lain menatap Udin prihatin. Apalagi melihat Udin yang tidak diundang pada acara ulang tahun Jesika yang rencananya akan di adakan di puncak hari minggu besok.
Udin selalu berlapang dada. Dia malah selalu berdoa untuk keselamatan gadis yang dicintainya itu. selalu setiap malam. Dalam doanya:
Ya Allah, aku ingin selalu menjadi pahlawan bagi-nya meskipun dia tidak tahu bahwa akulah pahla-wannya yang selalu melindunginya dibantu Engkau. Maksudnya Engkau pelindungnya dan aku sebagai perantara melindungi dia.
Agak aneh memang doa si Udin ini. Maklum saja dia bukanlah seorang pujangga yang bisa merangkai kata-kata yang indah. Mungkin itu salah satu kele-mahannya sebagai lelaki. Tak bisa merangkai kata-kata berarti tidak bisa pula menggombal.
OOO
HARI MINGGU PAGI KIRA-KIRA PUKUL ENAM. BUMI bergetar. Ada gempa dasyat selama lima detik. Al-hamdulillah tempat kost Udin tidak rubuh. Hanya sedikit retak di dinding kamarnya. Tapi Udin ketakut-an setengah mati. Dia menyembunyikan kepalanya di balik bantal. Mengerikan sekali melihat raut wajah-nya yang semakin jelek saja. Apalagi posisinya yang nungging membelakangi jendela itu.
Di angkasa sebuah benda meledak dan menghasil-kan suara yang menggelegar seperti gemuruh halilin-tar. Puing-puingnya menyebar ke segala arah. Kamar Udin pun ikut kena getahnya. Benda seukuran kepal tangan melesat deras memecah kaca jendela kamar kost Udin, terakhir menampar pantat Udin. Dia lang-sung salto seketika dan menempel di dinding dengan posisi seperti katak yang lengket di dinding. Lalu per-lahan merosot ke bawah dan terlentang di kasurnya. Dia pingsan seke-tika. Tapi tak berlangsung lama.
Di ujung sana, di kawasan Gunung Mas Puncak, sebuah benda—sejenis pesawat tetapi tidak seperti pesawat biasanya—jatuh yang menghasilkan gempa lagi, namun  tidak sedasyat tadi.
Dua jam kemudian setelah kejadian, di lokasi seki-tar benda yang jatuh tersebut tiba-tiba heboh dengan kejar-kejaran. Ketakutan melanda. Orang-orang men-cari perlindungan, sebagian lagi ada yang pasrah. Ba-gi yang sedang putus cinta karena malam minggu tidak dikunjungi pacar atau yang cintanya ditolak dan merencanakan bunuh diri tak perlu repot mempersi-apkan segala keperluan. Mereka langsung dihantam oleh makhluk-makhluk yang keluar dari jatuhnya benda tadi pagi. Benda itu ternyata berasal dari luar angkasa. UFO yang dikejar oleh Stealth Aircraft bu-atan Amerika yang dilengkapi persenjataan lengkap dengan armada khusus. Pesawat itu belum pernah dilihat oleh masyarakat dunia sebelumnya karena memang khusus di desain mirip dengan pesawat alien dan bertugas untuk mengejar UFO yang melintasi bumi. Pesawat yang canggih luar biasa yang melebihi Stealth Aircraft biasa itu akhirnya jatuh kalah juga. Amerika pasti nangis da-rah karena tak ada stok pesawat seperti itu lagi. Itu pesawat Stealth Aircraft luar biasa satu-satunya di dunia ini yang berhasil diciptakan yang rencananya di desain untuk persiap-an perang dunia ketiga.
Lalu benda yang menampar pantat Udin sebetul-nya adalah alat seperti arloji yang dipakai oleh arma-da khusus dari amerika itu. Seharusnya armada yang ditugaskan tersebut memakainya agar tidak mempan terhadap benturan seperti itu. Namanya juga sudah takdir, tak bisa dielak lagi. Sekali lagi, benda sema-cam arloji tersebut juga alat mutakhir yang rencana-nya untuk persiapan perang dunia ketiga.
“Dimana aku?” Tanya Udin yang baru sadar dari pingsannya menirukan adegan dan dialog di sinetron.
 Untuk beberapa saat ingatan Udin hilang. Setelah melihat kaca jendelanya yang pecah dia baru sadar bahwa telah terjadi peristiwa mengerikan menimpa dirinya. Dia juga langsung teringat benda sialan yang tidak senonoh itu. Dicari-carinya hingga kolong ran-jang, kolong meja belajar hingga kolong lemari pa-kaian. Tidak ditemukan. Tatkala dia mendongak ke atas, dia langsung berteriak. “HAA! Ketemu!” Benda tersebut nyempil di langit-langit.
Udin mengambil benda tersebut. Betapa girangnya dia setelah mengetahui bahwa benda tersebut adalah sebuah gelang yang terbuat dari adonan baja berlapis emas. Dipakainya gelang tersebut, lalu digosok-gosoknya agar mengkilap. Kalau dijual pasti mahal pikir Udin. Dia sudah membayangkan makanan-makanan enak, juga pakaian muslim untuk ibu dan ayahnya di kampung. Tidak lupa pula dia telah me-mikirkan akan pergi ke salon untuk sekedar memo-les-moles wajahnya agar kelihatan lebih tampan dari wajahnya yang sekarang. Dengan begitu mungkin Jesika akan jatuh cinta padanya.
Namun tiba-tiba saat dia menggosok-gosokkan ge-lang tersebut, ada yang bergeser. Ternyata di dalam gelang tersebut terdapat banyak tombol-tombol aneh. Berarti itu bukanlah gelang biasa melainkan sebuah jam tangan yang berfungsi lain sebagai kalkulator, tebak Udin. Udin pun mencari merek jam tangan kal-kulator aneh tersebut. Tidak ditemukan. Timbul pe-nyesalan yang mendalam bahwa ternyata benda terse-but hanyalah barang murahan biasa.
Udin duduk di tepi ranjang. Mimpi-mimpinya un-tuk pergi ke pizza hut sirna. Terlebih memperbaiki potongan rambutnya ke Johny Andrean semakin menjauh dari kenyataan. Akhirnya dia mengutuki dirinya sendiri, mengapa dipikirannya saat mendapat-kan sesuatu hanya bersenang-senang saja. Seharus-nya dia ingat sudah berapa hutangnya di warung nasi Teh Siti. Sudah seminggu ini dia makan menangguh-kan pembayaran. Kadang sengaja mampir ke warung nasi Teh Siti saat akan tutup. Biasanya masih ada ma-kanan yang tersisa. Dengan tidak tahu malu Udin me-mintanya, padahal dipikan Teh Siti makanan tersebut masih layak untuk dijual keesokan harinya.
Udin iseng menghitung hutangnya yang ada di mana-mana itu dengan jam tangan kalkulator yang baru saja ditemukannya itu. Dia memencet tombol nominal hutangnya yang pertama. Tiba-tiba keluar cahaya yang begitu terang dari jam tangan kalkulator tersebut. Udin terkaget-kaget. Peristiwa mengagetkan itu berlangsung hanya sekitar tiga detik. Kemudian Udin merasakan badannya menjadi berat.
“Waduh, apa ini?” Dia kaget melihat tangannya yang tiba-tiba mengenakan sarung tangan baja. Ti-dak. Bukan hanya tangannya saja, tetapi seluruh tu-buhnya dibalut oleh baja. Kepalanya juga memakai helm.
Udin langsung bangkit menuju lemari pakaian yang di pintunya ada cermin. Luar biasa dia kegi-rangan. Ternyata dia berubah menjadi manusia ber-baju besi. Udin menampar pipinya (tentunya tidak mengenai pipinya) untuk memastikan bahwa dia ti-dak sedang bermimpi. Tetapi tamparan itu tidak tera-sa karena memang terhalang oleh helm. Ini nyata! Udin langsung berlenggak-lenggok di depan kaca. Berpose dan memuji-muji dirinya sendiri.
Setelah puas dengan memuji-muji dirinya sendiri, tiba-tiba perut Udin keroncongan dan bermaksud ingin makan ke warung nasi Teh Siti. Namun dia bi-ngung dan panik. Dia tidak tahu cara membuka baju baja ini. Dia tidak tahu bagaimana mengembalikan dirinya seperti semula. Sampai-sampai dia hampir menangis. Namun teringat dengan Jesika yang tidak menyukai lelaki yang menangis, Udin mengurungkan niatnya untuk menangis.
TOK! TOK!
Seseorang mengetuk pintu kamarnya. Udin gela-gapan takut ketahuan. Maka dia mencari tempat ber-sembunyi. Sialnya tak ada tempat yang cocok untuk tempatnya bersembunyi. Di kolong meja maupun ko-long ranjang tidak muat untuk tubuh bajanya yang sebesar itu. masuk ke dalam lemari bisa namun pintu-nya tidak bisa tertutup. Akhirnya dia menggeser se-dikit lemari yang berada di sudut ruangan yang seja-jar dengan pintu kamarnya dan WOW ringan sekali lemari itu ketika digeser. Namun saat itu bukanlah saat-saat takjub melainkan saat saat harus tegang. Lalu dia bersembunyi di sebelah lemari dengan me-nutup dirinya dengan sehelai kain sarung. Alhasil, seseorang yang tadinya mengetuk dengan tidak so-pannya langsung masuk karena tidak ada jawaban dari empunya dan mendapati kamar Udin kosong.
Lama sekali teman Udin yang bernama Karyo ter-sebut berdiri di tengah-tengah ruangan itu. Dia malah sempat berkaca dan merapikan rambutnya serta berpose gaya  Elvis Sukaesih perpaduan antara gaya Elvis Presley dengan Elvi Sukaesih.
Tiba-tiba sesuatu yang tak mungkin bisa ditahan lagi terjadi. BROOT!! Udin buang angin, namun bau-nya tidak bisa keluar dari pakaian baja itu. terpaksa-lah Udin mencium bau anginnya sendiri.
Karyo yang terkejut dengan suara aneh tersebut langsung menoleh ke sumbernya. Terlebih melihat seonggok makhluk aneh.
“Siapa kamu!” Sambil menodongkan tangannya yang membentuk pistol.
Udin berdiri perlahan-lahan karena takut pistol bo-hongan itu ditembakkan Karyo saat sedang kalap.
OOO
UDIN MENCERITAKAN PERIHAL SEBENARNYA YANG terjadi kepada Karyo. Entah didengarkan atau tidak oleh Karyo. Sebab dia masih terkagum-kagum de-ngan pakaian baja Udin.
“Masalahnya cuma satu. Aku tak tahu bagaimana mengembalikanku seperti semula,” Udin menunduk.
“Itu tidak perlu kamu pikirkan Din. Kamu super-hero sekarang. Yang harus kamu pikirkan sekarang adalah namamu. Nama superheromu!” Karyo menyi-bakkan poninya.
“Tapi mengubahku seperti semula jauh lebih pen-ting Yo. Aku lapar. Baju baja ini tak ada lubang sedi-kitpun,” Udin memegangi perutnya.
“Tidak usah khawatir. Tunggu sebentar,” pinta Karyo. Satu menit kemudian dia datang dengan membawa tang, martil dan paku.
“Untuk apa benda-benda itu?”
“Membuat lubang di bagian helmmu.”
“Tidak. Tidak. Aku tidak mau.”
“Tadi katanya lapar?”
“Sudah tidak lagi,” kata Udin bersandar di din-ding. “Tolong nyalakan televisi. Jemariku terlalu be-sar untuk memencet tombol-tombol itu.”
“Dasar superhero aneh.”
OOO
TELAH TERJADI KEKACAUAN DI KAWASAN PUNCAK. Dua makhluk aneh tertangkap kamera helikopter pemantau lalu lintas sedang menyiksa warga. Udin salah seorang warga yang berhasil melarikan diri dari makhluk aneh yang diduga berasal dari luar angkasa berhasil kami wawancarai meskipun dia sedikit trauma dengan adanya kejadian itu.
“Makhluk itu seperti genderuwo. Menakutkan!” kata Udin.
“Bisa dilukiskan bagaimana rupa wajahnya?” Tanya reporter.
“Saya tidak bisa melukis Mbak. Sewaktu masih se-kolah pelajaran melukis adalah pelajaran yang pa-ling tidak saya sukai,” jawab Udin polos.
“Maksud kami melukiskannya dengan kata-kata Pak,” kata reporter lagi.
“Maksudnya seperti puisi gitu?”
“Argh! Kat! Kat! Wawancara yang lain saja!” ujar reporter kepada cameramen dengan nada kesal melihat wajah Udin.
OOO
“SIAL! BIKIN MALU NAMA UDIN SAJA TUH ORANG. Tapi…,” Udin menggerutu tidak terima ketika nama Udin yang diwawancarai sebodoh itu.
“Apa?!$%# Makhluk luar angkasa?!” Udin dan Karyo baru sadar tentang isi berita yang sesungguh-nya.
“Jesika! Jesika di sana! Aku harus menyelamat-kannya!” Teriak Udin. Dia bergegas keluar kamar.
“Din! Aku ikut!” Teriak Karyo mengejar Udin.
“Stt! Jangan panggil aku Udin. Panggil saja KAMNO PATTAN,” Udin menuju parkiran sambil mengendap-endap takut ketahuan penghuni kost lain-nya.
“Artinya?” Karyo penasaran sambil mengikuti Udin alias Kamno Pattan mengendap-endap.
“KAMAR NOMOR EMPAT SELATAN,” ujar Kamno Pattan yang memang tinggal di kamar kost nomor empat di sebelah selatan.
“Cocok! Ayo kita mulai misi pertama kita,” Karyo bersemangat. “Kita pakai motor apa naik angkot Kamno?”
“Naik motor sajalah. Kalau naik angkot nanti kena macet. Belum lagi ongkosnya. Aku sedang tidak punya uang,” sesampainya di parkiran dia baru ingat kunci motornya masih tergeletak di meja belajarnya. “Ah sial! Kunci motor ketinggalan. Dompetku juga. Yo tolong ambilkan dompet dan Kunci motorku di atas meja belajar.”
“Siap.”
Tidak sampai satu menit Karyo sudah kembali dengan membawa apa yang disuruh.
“Ah, aku lupa. Celanaku di dalam pakaian baja ini. Bagaimana cara menyimpan dompet? Baju baja ini ti-dak dilengkapi kantong. Desain yang buruk,” Kamno Pattan menyesalkan.
“Ribet ya, ck ck ck. Sini aku yang pegang. Dan ngomong-ngomong siapa yang bonceng? Kamu saja-lah. Aku di belakang saja,” usul Karyo.
Kamno Pattan setuju. Dia menyalakan motor be-bek keluaran tahun 2005 berwarna hitam silver itu. saat mulai jalan, motornya terasa tidak nyaman di-kendarai. Dia menghentikan sepeda motornya dan memeriksa ban belakang. Dugaannya benar. Sepeda motornya bocor.
“Benar-benar cobaan. Kita harus menambal ban dulu Yo. Aduh bagaimana ini. Jesika, semoga kamu baik-baik saja. Tunggu Abang. Abang akan segera datang menyelamatkanmu,” Kamno Pattan menuntun sepeda motornya ke bengkel tambal ban di depan kostnya.
OOO
“BANG MASIH LAMA NAMBALNYA?” TANYA KARYO.
“Ini bannya tidak bisa ditambal lagi. Harus di-ganti,” kata tukang tambal ban.
“Kenapa tidak bilang dari tadi sih Bang?”
“Situ lagi asik mengobrol dengan Ksatria Baja Hi-tam. Saya panggil-panggil tidak menyahut. Memang-nya lagi ada pesta kostum ya Mas?”
“Iya, pestanya di puncak. Agak cepat Bang. Ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Kami ingin menyelamatkan Indonesia dari alien. Langsung ganti ban dalam saja Bang. Kamno, kamu punya uang ti-dak?”
“Dasar anak muda zaman sekarang. Apalagi ma-hasiswa kerjanya main game. Ternyata bisa berefek yang tidak baik bagi otak,” ujar tukang tambal ban menggeleng-geleng kepalanya.
“Eh, Bang. Tidak menonton berita pagi ini?” Kar-yo menggerutu.
“Kalau tidak salah ada. Ambil saja di dompet.”
Lima belas menit kemudian ban selesai ditambal. Kamno Pattan dan Karyo mulai beraksi. Terutama Karyo paling semangat dengan misi dadakan ini. Be-lum apa-apa dia sudah membayangkan pakaian yang cocok untuk dirinya sebagai partner Kamno Pattan.
Astagfirullah, Kamno! Aku lupa. Tadi aku ke ka-marmu mau meminjam motor. Mau ketemu dosen pembimbing skripsiku. Aku ada janji dengannya jam sebelas. Bagaimana ini? Bisa memutar balik tidak? Kita ke rumah dosenku sebentar,” pinta Karyo agak berteriak. Pikirannya tentang pakaian partner Kamno Pattan sirna seketika karena bayangan dosen pem-bimbing yang angker itu tiba-tiba menyelinap dalam otaknya.
“Sudahlah, skripsi bisa dilanjutkan semester de-pan,” kata Kamno Pattan yang masih terus saja mela-jukan black silvernya.
“Apa?! Tidak kedengaran.
“SKRIPSINYA SEMESTER DEPAN SAJA KA-RENA MENYELAMATKAN DUNIA LEBIH PEN-TING DARI SEKEDAR SKRIPSIMU YANG TAK PERNAH ADA KATA SUDAH ITU!”
Mendekati pertigaan Ciawi Kamno Pattan meng-hentikan black silver.
“Ada apa Kamno?” Tanya karyo heran.
“Di depan ada razia. STNK-ku mati. Lagi pula kamu tidak memakai helm. Aku tidak punya uang lagi untuk membayarnya agar tidak ditilang.”
“Bilang saja kepada polisi itu kita akan menye-lamatkan dunia. Ah, seharusnya pakaian bajamu di-lengkapi menu bisa terbang.”
“Mungkin bisa. Hanya saja aku tidak tahu kode-nya. Benda ini sampai di kamarku tidak dilengkapi dengan buku petunjuk penggunaannya.”
“Kalau begitu bagaimana kalau kita mencobanya sekarang?”
 OOO
(BERSAMBUNG) 
Segera dinovelkan
Baca cerpen lengkap di PELUKIS PAGI karena ceritanya masih panjang banget loh...

0 komentar: