Berita (7) Buku Saya (3) Cerpen (31) Download Novel (2) lain-lain (1) Musik (7) Puisi (39)

Translate

Kamis, 22 Desember 2011

Cerpen: Cinta Gugun


GUGUN BARU PULANG KERJA DAN TAK MENDAPATI isterinya di rumah. Sebenarnya dia ingin marah-marah sendiri di situ, tapi percuma saja. Tak ada yang mendengarnya. Dan dia ingin melimpahkan kemarahan itu pada anak-anaknya. Tetapi sudahlah, tak ada gunanya sama sekali, pikirnya.
Dia merebahkan badannya di sova sambil me-nunggu isterinya pulang sambil berpikir tentang hu-kuman yang pantas untuk isterinya itu nanti. Isteri yang tak tahu diri dan kurang ajar, pergi tanpa sepe-ngetahuan suami.
Tiga jam kemudian, hampir jam satu pagi, isterinya masuk dengan cara mengendap-endap. Lampu ruang tamu yang sengaja dimatikan oleh Gugun, dinyalakannya lagi. Isterinya terkejut bukan kepalang. Tubuhnya bergetar dan bersiap dengan tameng dalam otaknya jika terjadi serangan amarah yang akan diterimanya. Dia berpikir keras mencari kalimat untuk membalikkannya.
“Dari mana kamu?!”
Di tengah malam buta itu, Gugun berteriak.
“Tidak perlu tahu!”
“Aku wajib tahu. Isteri macam apa kamu setiap hari keluyuran tanpa memberitahu suaminya?”
“Kamu sendiri tidak pernah memberitahuku ke mana pergi! Pernahkah kamu menghitung sudah ber-apa kali kamu pergi tanpa pesan? Mematikan ponsel seenak jidatmu saja? Aku tidak pernah mengeluh. Alasan keluar kota? Bersama siapa?”
“Berani-beraninya kamu!” Gugun hampir saja me-nampar isterinya. Secepat kilat dia mengurungkan niatnya itu.
“Tampar saja sesukamu! Aku tidak akan melawan! Dasar lelaki peselingkuh! Kamu kira aku tidak tahu dengan perselingkuhan yang sering kamu lakukan?”
“Kurang ajar! Aku tidak pernah berselingkuh!”
“Tidak pernah? Sudah banyak kabar-kabar miring mengenai dirimu yang masuk ke telingaku. Aku juga pernah memergokimu berjalan bersama wanita lain. Tapi aku diam!”
“Kalau kamu pernah memergokiku berselingkuh mengapa kamu hanya diam membiarkannya saja?! Seharusnya kamu hampiri dan tampar mukaku di depan dia! Mengapa tidak kamu lakukan! Dan kamu percaya saja apa kata orang-orang yang belum tentu benar adanya. Seandainya aku memang salah, kamu bisa melakukan apa saja sesukamu termasuk menikamku dengan pisau!”
“Ah, sudahlah. Terserah kamu ingin melakukan apa saja. Aku tidak peduli. Urus saja pekerjaanmu dan wanita itu!”
“Hei! Aku tidak selingkuh!”
Gugun malah ditinggalkan begitu saja dengan emosi yang masih ditahan-tahannya. Sungguh dia ingin melakban mulut isterinya.
OOO
DI KANTORNYA GUGUN MERENUNG TENTANG kehidupan rumah tangganya yang semakin berantakan saja. Dia merasa tidak becus menjadi kepala rumah tangga. Mengutuki dirinya berkali-kali serta menyalahkan pekerjaannya yang semakin tidak terkontrol banyaknya. Semakin lama dia semakin merasa seperti robot yang selalu dikendalikan atasannya. Dalam benaknya, dia ingin sekali keluar dari peru-sahaan yang membebankan tanggung jawab yang terlalu besar padanya. Gajinya memang besar, tetapi ter-lalu banyak yang dikorbankan. Keluarga tercintanya menjadi korban kekuasaan uang. Semakin banyak uang, isterinya yang tidak bekerja itu, yang konon diberi nama ibu rumah tangga pada status pekerjaan di KTP-nya, semakin pula banyak menghabiskan untuk sesuatu hal yang tidak penting. Arisan isteri-isteri orang-orang kaya selalu digelar seminggu sekali sebagai ajang pamer tas mahal, kalung berlian, jepit rambut emas atau model rambut terbaru yang menjadikan mereka-mereka awet muda: dengan bangganya mereka mengagumi wajah tebal make up itu saat dipuji oleh seorang kasir laki-laki di restoran mahal tempat pertemuan yang mereka anggap penting itu.
Hidup menjadi hampa. Sehampa jika tidak memakai baju di gunung es. Mati. Sebentar lagi mati jika tak segera mencari perlindungan. Air mata Gugun menetes. Dia menyesal menjadi orang kaya. Dia menyesal menjadi orang yang pintar dan berbakat yang selalu dielu-elukan di koran-koran maupun tabloid ternama di negeri ini. Dia menyesal telah me-narik perhatian Bapak Presiden hingga dia menjadi salah satu calon yang akan menggantikan salah satu menteri yang akan di-reshuffle nantinya. Dengan begitu hidupnya akan semakin tambah parah. Dan penyakit yang sekian lama menggerogotinya akan semakin ganas saja menghantam tubuhnya yang semakin lemah. Anak-anaknya semakin angkuh dan tidak peduli. Entah sudah berapa kali surat cinta dari guru BK anaknya sampai ke kantornya. Bingung. Gugun benar-benar bingung tentang bagaimana cara hidup nyaman dan tentram.
Di suatu perjalanan pulang, dia melihat sebuah keluarga yang terlihat bahagia. Mereka bercanda ria di depan sebuah toko. Kedua orang tua itu sedang membelikan anak mereka yang sudah besar (kira-kira 14 tahun) sebuah sepatu. Sempat-sempatnya mereka melakukan itu. Sedangkan Gugun, dia sudah tak ingat lagi kapan terakhir kalinya mereka berlibur bersama. Paling tidak menghabiskan libur akhir pekan di ru-mah dengan kegiatan-kegiatan yang sederhana. Isteri-nya memasak, dia membantunya. Anak-anak ada yang menyapu rumah dan juga menjapu halaman ser-ta memotong rumput agar. Khusus akhir pekan, seluruh pembantu diliburkan. Sepertinya menarik! Tetapi mana mungkin isteri dan anak-anaknya mau melakukan itu. mereka sudah terbiasa dimanjakan dengan uang. Masing-masing sudah ada kesenangan yang tak boleh atau haram untuk dilewati. Tak ada waktu untuk itu. kesannya, hidup berkeluarga seperti hidup masing-masing yang tinggal dalam satu atap.
“Aku ingin makan malam di rumah dan mencoba masakanmu,” pintanya pada isterinya lewat telepon.
“Aku tak ada waktu untuk itu. Malam ini aku ada acara bersama ibu-ibu komplek sebelah. Kamu bisa meminta Mbok Jum untuk menyiapkan makan ma-lammu.”
“Tidak ingatkah kamu ini hari apa?” Gugun men-coba mengingatkan akan sesuatu. Ini hari yang pen-ting baginya. Hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke duapuluh lima. Ah, sudahlah, akhirnya dia langsung menutup telepon. Dia benar-benar tak di-hargai lagi.
OOO
SESUNGGUHNYA ISTERI GUGUN YANG BERNAMA Haryati itu adalah perempuan biasa-biasa saja, bera-sal dari keluarga yang sangat biasa saja—nyaris mis-kin. Hanya karena kecantikannya sajalah Gugun sam-pai tergila-gila seperti itu. Apa yang dapat dibang-gakan dari seorang Haryati selain kecantikan yang membuat mata pria tak bergeming dari wajah dan tu-buhnya itu? Mencuci piring saja dia tidak bisa. Sung-guh aneh. Kalau saja dia berasal dari keluarga yang kaya raya, mungkin bisa diterima di akal kalau dia tidak bisa mencuci piring. Ini tentu di luar keseha-rusan.
Haryati berpendidikan rendah, tidak pintar, tidak mengerti cara mendidik anak yang baik, tak bisa apa-apa selain membelanjakan uang sekena perutnya saja. Gugun tak mempedulikan itu semua, awalnya. Kare-na kecantikan haryati adalah kebanggaan yang tiada terkira baginya. Segala pujian dimandikan orang-orang kepadanya. Pria jelek, pendek, gemuk dan ber-kumis tidak rata mendapatkan anugerah yang tak pernah ada dalam kamus mimpinya. Memang benar kata orang-orang, dengan uang kalian bisa mendapat-kan apa saja yang kalian inginkan.
Hanya cinta yang tidak didapatkannya dengan uang. Tak ada kasih sayang, tak ada ketentraman. Dia hanya mendapatkan pelampiasan nafsu yang tak ada gunanya sama sekali. Semakin banyak uang dia se-makin terbodohi oleh keadaan. Isterinya juga sema-kin rakus, semakin banyak belanja, semakin suka bepergian ke luar negeri bersama teman-temannya. Bahkan pria lain yang tidak diketahuinya. Gugun se-makin sendiri saat anak-anaknya sudah dewasa. Satu orang anaknya pergi ke timur untuk melanjutkan pendidikan dan yang satu lagi pergi ke barat hanya untuk memuaskan hobinya. Tak ada orang lagi di ru-mah. Gugun hanya sendiri. Gugun hanya menonton televisi sendiri. Tertawa sendiri, menangis sendiri, terharu sendiri, berbicara sendiri, gelisah sendiri, ber-nafas sendiri bahkan menggaruk-garuk kepalanya sendiri.
Jangan ditanya lagi berapa kali dia menghubungi mereka—isteri dan anak-anaknya—dalam satu hari. Dia hanya ingin berbicara sepatah dua patah kata, menanyakan kabar dan mendapatkan jawaban dari pertanyaan sederhana itu. Mungkin setahun kerin-duan dalam keramaian itu akan terobati dengan sua-ra-suara lembut dari mereka semua—kasar pun tak masalah karena ternyata diam itu lebih menyakitkan daripada dimaki. Hari-harinya bertambah suram, ra-sanya ingin mati saja.
Gugun mencoba tegar. Segala cara telah dia tem-puh agar mereka bisa berkumpul lagi. Setidaknya se-kali saja sebelum dia meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Karena penyakitnya sudah semakin pa-rah. Dia juga sudah tidak dibolehkan untuk bekerja terlalu keras oleh dokter pribadinya. Mungkin itulah yang menyebabkan Gugun membutuhkan mereka se-mua untuk menyemangatinya. Umurnya sudah tidak lama lagi, itu perkiraannya saat dia memergoki dok-ter pribadinya itu menggeleng-gelengkan kepala.
Tragisnya, mereka semua tidak ada yang tahu akan penyakit Gugun. Hanya Gugun dan dokterlah yang tahu. Mau bagaimana lagi, komunikasi semakin tidak ada. Gugun semakin membeku jadi patung yang usang. Terlewati begitu saja.
Dan akhirnya Gugun pun terbaring dengan selang-selang dan jarum-jarum yang menusuk-nusuk pembu-luh darahnya tanpa tahu keluarganya, keluarga yang sangat dicintainya. Nafasnya tengah terputus-putus. Kesadarannya hilang. Ruhnya ingin keluar tetapi ma-sih tertahan dalam raganya. Ada sesuatu yang meng-halangi. Pada saat kesadarannya pulih untuk waktu yang sebentar, Gugun yang merasa ajalnya sudah se-makin dekat, menyempatkan diri untuk menulis pe-san yang dibantu dokter pribadinya.

Untuk isteriku dan anak-anakku tercinta
Entah mengapa akhir-akhir ini mata Papa sulit terbuka. Cahaya matahari juga tak pernah kutemu-kan lagi. Mungkin bumi ini akan meredup sebentar lagi. Atau mungkin malah Papa yang meredup. Tak tahulah dengan kebenaran beberapa kemungkinan itu. yang jelas, cinta Papa kepada kalian tidak akan pernah meredup.
Papa hanya sepi saja, itulah sebabnya Papa me-nulis dongeng ini untuk kalian dibantu dokter yang baik hati ini. Papa rindu kalian. Maafkan Papa yang tidak pernah peduli kepada kalian dengan alasan sibuk dengan pekerjaan. Jujur saja, Papa memang sibuk sekali. Ini sebuah tanggung jawab yang besar sekali yang dilimpahkan kepada Papa. Tadinya Papa piker hanya dengan kekayaan ini kita akan bahagia bersama. Ternyata tidak seperti dipikiran Papa. Te-tapi tenang saja, tanggung jawab yang besar itu sudah Papa tanggalkan semenjak papa sadar bahwa ada sebuah tanggung jawab yang lebih besar lagi daripada itu, yaitu kalian.
Seharusnya Papa sadar dari dulu sebelum semua-nya ini terjadi. Seharusnya Papalah yang mengantar Adi dan Fitri sekolah. Bukannya Mang Ujang. Seha-rusnya papa juga yang mengambil rapor, bukan Mang Ujang. Seharusnya Papa juga yang mengantar Mama pergi ke salon dan mall, membeli sepatu buat anak-anak, bukannya Mang Ujang dan Papa juga yang seharusnya menemani Mama tidur setiap ma-lam, bukan bantal guling yang tak dapat bicara itu.
Oh, ya Ma, wanita yang Mama tuduhkan itu ada-lah klien Papa. Ceritanya, Papa ingin membuka usa-ha kecil-kecilan saja yang dibantu oleh wanita itu. Paling tidak hasilnya akan cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan yang lebih penting lagi Papa akan bebas dari tanggung jawab pekerjaan yang memboroskan waktu Papa bersama kalian. Pe-kerjaan itulah penyebab hilangnya waktu kebersama-an dengan kalian. Papa memang tidak menceritakan pada kalian sebelumnya karena ingin memberikan kejutan, tadinya. Tetapi entah mengapa pada akhir-nya sulit sekali mencari waktu bebas kalian. Mungkin itu adalah karma buat Papa. Tetapi tidak mengapa, karena dokter yang baik ini akan membantu menyam-paikan surat sakti ini pada kalian kalau seandainya pada saatnya nanti sebelum bertemu kalian, Papa keburu pergi. Ah, sebetulnya Papa tidak ingin pergi. Tetapi rasa-rasanya seperti akan pergi tanpa bisa dihalangi oleh siapapun. Papa tidak kuat lagi. Maaf sudah merahasiakan ini dari kalian bahwa memiliki sebuah penyakit mematikan. Semua itu Papa lakukan agar kalian tidak ingin menjadikan ini beban pikiran kalian. Karena sudah cukup rasanya Papa member-kan beban batin pada kalian dengan sikap-sikap papa yang angkuh, acuh tak acuh, emosi tinggi dan sifat buruk lainnya yang memang tak akan ada yang bersedia menerimanya.
Papa merindukan kalian.
Seandainya kalian ada di sini sekarang, ingin rasanya papa memeluk Mama, Adi dan Fitri. Kalau saja nanti Papa menghembuskan nafas terakhir Pa-pa, setidaknya Papa lega karena cinta yang Papa cari selama beberapa waktu terakhir ketemu. Dan papa akan pergi dalam keadaan hangat, nyaman, tentram, damai dengan senyuman terbaik dari pada sepanjang hidup. Sayangnya tidak ada kalian saat ini.
Papa menyesal karena jarang tersenyum. Ter-nyata tersenyum itu membuat pikiran kita menjadi tanpa beban. Dokter yang mengajari papa tersenyum beberapa hari yang lalu. Ternyata memang benar adanya. Dampaknya juga terasa bagi orang-orang di sekitar kita. Itulah sebabnya mengapa senyum dika-takan sedekah. Orang yang mendapat sedekah pasti senang luar biasa.
Ah, Papa sudah tidak kuat lagi berbicara. Dokter juga kelihatannya lelah sekali menunggu papa berbi-cara yang terpatah-patah. Paling tidak, melalui surat ini Papa bisa menyampaikan maaf yang sebesar-besarnya meskipun rasanya kurang afdol jika tidak bertemu kalian. Lagi pula, jika Papa menelepon kali-an pasti kalian akan bingung dengan ucapan yang terpatah-patah. Dan itu akan menghabiskan waktu kalian dengan percuma.
Sekali lagi maafkan Papa yang tidak meninggal-kan apa-apa, terutama kasih sayang. Sungguh Papa ingin memberikannya untuk kalian. Kita akan memu-lai hidup yang baru. Tapi rasa-rasanya waktu tak akan memungkinkan lagi. Kaki Papa mulai terasa dingin. Halusinasi-halusinasi kecil sudah mulai ber-datangan, mungkin itulah malaikat maut yang da-tang menjemput. Papa juga tidak tahu pasti. Ah, Pa-pa takut sekali.
OOO

0 komentar: