GUGUN BARU PULANG
KERJA DAN TAK MENDAPATI isterinya di rumah. Sebenarnya dia
ingin marah-marah sendiri di situ, tapi percuma saja. Tak ada yang
mendengarnya. Dan dia ingin melimpahkan kemarahan itu pada anak-anaknya. Tetapi
sudahlah, tak ada gunanya sama sekali, pikirnya.
Dia merebahkan badannya
di sova sambil me-nunggu isterinya pulang sambil berpikir tentang hu-kuman yang
pantas untuk isterinya itu nanti. Isteri yang tak tahu diri dan kurang ajar,
pergi tanpa sepe-ngetahuan suami.
Tiga jam kemudian,
hampir jam satu pagi, isterinya masuk dengan cara mengendap-endap. Lampu ruang
tamu yang sengaja dimatikan oleh Gugun, dinyalakannya lagi. Isterinya terkejut bukan kepalang. Tubuhnya bergetar dan bersiap dengan tameng dalam
otaknya jika terjadi serangan amarah yang akan diterimanya. Dia berpikir keras
mencari kalimat untuk membalikkannya.
“Dari mana kamu?!”
Di tengah malam buta
itu, Gugun berteriak.
“Tidak perlu tahu!”
“Aku wajib tahu. Isteri
macam apa kamu setiap hari keluyuran tanpa memberitahu suaminya?”
“Kamu sendiri tidak
pernah memberitahuku ke mana pergi! Pernahkah kamu menghitung sudah ber-apa kali
kamu pergi tanpa pesan? Mematikan ponsel seenak jidatmu saja? Aku tidak pernah
mengeluh. Alasan keluar kota? Bersama siapa?”
“Berani-beraninya
kamu!” Gugun hampir saja me-nampar isterinya. Secepat kilat dia mengurungkan
niatnya itu.
“Tampar saja sesukamu!
Aku tidak akan melawan! Dasar lelaki peselingkuh! Kamu kira aku tidak tahu
dengan perselingkuhan yang sering kamu lakukan?”
“Kurang ajar! Aku tidak
pernah berselingkuh!”
“Tidak pernah? Sudah
banyak kabar-kabar miring mengenai dirimu yang masuk ke telingaku. Aku juga
pernah memergokimu berjalan bersama wanita lain. Tapi aku diam!”
“Kalau kamu pernah
memergokiku berselingkuh mengapa kamu hanya diam membiarkannya saja?!
Seharusnya kamu hampiri dan tampar mukaku di depan dia! Mengapa tidak kamu
lakukan! Dan kamu percaya saja apa kata orang-orang yang belum tentu benar
adanya. Seandainya aku memang salah, kamu bisa melakukan apa saja sesukamu
termasuk menikamku dengan pisau!”
“Ah, sudahlah. Terserah
kamu ingin melakukan apa saja. Aku tidak peduli. Urus saja pekerjaanmu dan
wanita itu!”
“Hei! Aku tidak
selingkuh!”
Gugun malah
ditinggalkan begitu saja dengan emosi yang masih ditahan-tahannya. Sungguh dia
ingin melakban mulut isterinya.
OOO
DI KANTORNYA GUGUN MERENUNG TENTANG
kehidupan rumah tangganya yang semakin berantakan saja. Dia merasa tidak becus
menjadi kepala rumah tangga. Mengutuki dirinya berkali-kali serta menyalahkan
pekerjaannya yang semakin tidak terkontrol banyaknya. Semakin lama dia semakin
merasa seperti robot yang selalu dikendalikan atasannya. Dalam benaknya, dia
ingin sekali keluar dari peru-sahaan yang membebankan tanggung jawab yang terlalu
besar padanya. Gajinya memang besar, tetapi ter-lalu banyak yang dikorbankan.
Keluarga tercintanya menjadi korban kekuasaan uang. Semakin banyak uang,
isterinya yang tidak bekerja itu, yang konon diberi nama ibu rumah tangga pada
status pekerjaan di KTP-nya, semakin pula banyak menghabiskan untuk sesuatu
hal yang tidak penting. Arisan isteri-isteri orang-orang kaya selalu digelar
seminggu sekali sebagai ajang pamer tas mahal, kalung berlian, jepit rambut
emas atau model rambut terbaru yang menjadikan mereka-mereka awet muda: dengan
bangganya mereka mengagumi wajah tebal make
up itu saat dipuji oleh seorang kasir laki-laki di restoran mahal tempat pertemuan
yang mereka anggap penting itu.
Hidup menjadi hampa.
Sehampa jika tidak memakai baju di gunung es. Mati. Sebentar lagi mati jika
tak segera mencari perlindungan. Air mata Gugun menetes. Dia menyesal menjadi
orang kaya. Dia menyesal menjadi orang yang pintar dan berbakat yang selalu
dielu-elukan di koran-koran maupun tabloid ternama di negeri ini. Dia menyesal
telah me-narik perhatian Bapak Presiden hingga dia menjadi salah satu calon
yang akan menggantikan salah satu menteri yang akan di-reshuffle nantinya. Dengan begitu hidupnya akan semakin tambah
parah. Dan penyakit yang sekian lama menggerogotinya akan semakin ganas saja
menghantam tubuhnya yang semakin lemah. Anak-anaknya semakin angkuh dan tidak
peduli. Entah sudah berapa kali surat cinta dari guru BK anaknya sampai ke
kantornya. Bingung. Gugun benar-benar bingung tentang bagaimana cara hidup
nyaman dan tentram.
Di suatu perjalanan
pulang, dia melihat sebuah keluarga yang terlihat bahagia. Mereka bercanda ria
di depan sebuah toko. Kedua orang tua itu sedang membelikan anak mereka yang
sudah besar (kira-kira 14 tahun) sebuah sepatu. Sempat-sempatnya mereka melakukan
itu. Sedangkan Gugun, dia sudah tak ingat lagi kapan terakhir kalinya mereka
berlibur bersama. Paling tidak menghabiskan libur akhir pekan di ru-mah dengan
kegiatan-kegiatan yang sederhana. Isteri-nya memasak, dia membantunya.
Anak-anak ada yang menyapu rumah dan juga menjapu halaman ser-ta memotong
rumput agar. Khusus akhir pekan, seluruh pembantu diliburkan. Sepertinya menarik!
Tetapi mana mungkin isteri dan anak-anaknya mau melakukan itu. mereka sudah
terbiasa dimanjakan dengan uang. Masing-masing sudah ada kesenangan yang tak
boleh atau haram untuk dilewati. Tak ada waktu untuk itu. kesannya, hidup
berkeluarga seperti hidup masing-masing yang tinggal dalam satu atap.
“Aku ingin makan malam
di rumah dan mencoba masakanmu,” pintanya pada isterinya lewat telepon.
“Aku tak ada waktu
untuk itu. Malam ini aku ada acara bersama ibu-ibu komplek sebelah. Kamu bisa
meminta Mbok Jum untuk menyiapkan makan ma-lammu.”
“Tidak ingatkah kamu
ini hari apa?” Gugun men-coba mengingatkan akan sesuatu. Ini hari yang pen-ting
baginya. Hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke duapuluh lima. Ah,
sudahlah, akhirnya dia langsung menutup telepon. Dia benar-benar tak di-hargai
lagi.
OOO
SESUNGGUHNYA ISTERI GUGUN YANG
BERNAMA
Haryati itu adalah perempuan biasa-biasa saja, bera-sal dari keluarga yang
sangat biasa saja—nyaris mis-kin. Hanya karena kecantikannya sajalah Gugun sam-pai
tergila-gila seperti itu. Apa yang dapat dibang-gakan dari seorang Haryati
selain kecantikan yang membuat mata pria tak bergeming dari wajah dan tu-buhnya
itu? Mencuci piring saja dia tidak bisa. Sung-guh aneh. Kalau saja dia berasal
dari keluarga yang kaya raya, mungkin bisa diterima di akal kalau dia tidak
bisa mencuci piring. Ini tentu di luar keseha-rusan.
Haryati berpendidikan
rendah, tidak pintar, tidak mengerti cara mendidik anak yang baik, tak bisa
apa-apa selain membelanjakan uang sekena perutnya saja. Gugun tak mempedulikan
itu semua, awalnya. Kare-na kecantikan haryati adalah kebanggaan yang tiada
terkira baginya. Segala pujian dimandikan orang-orang kepadanya. Pria jelek,
pendek, gemuk dan ber-kumis tidak rata mendapatkan anugerah yang tak pernah ada
dalam kamus mimpinya. Memang benar kata orang-orang, dengan uang kalian bisa
mendapat-kan apa saja yang kalian inginkan.
Hanya cinta yang tidak
didapatkannya dengan uang. Tak ada kasih sayang, tak ada ketentraman. Dia hanya
mendapatkan pelampiasan nafsu yang tak ada gunanya sama sekali. Semakin banyak
uang dia se-makin terbodohi oleh keadaan. Isterinya juga sema-kin rakus,
semakin banyak belanja, semakin suka bepergian ke luar negeri bersama
teman-temannya. Bahkan pria lain yang tidak diketahuinya. Gugun se-makin
sendiri saat anak-anaknya sudah dewasa. Satu orang anaknya pergi ke timur untuk
melanjutkan pendidikan dan yang satu lagi pergi ke barat hanya untuk memuaskan
hobinya. Tak ada orang lagi di ru-mah. Gugun hanya sendiri. Gugun hanya
menonton televisi sendiri. Tertawa sendiri, menangis sendiri, terharu sendiri, berbicara
sendiri, gelisah sendiri, ber-nafas sendiri bahkan menggaruk-garuk kepalanya
sendiri.
Jangan ditanya lagi
berapa kali dia menghubungi mereka—isteri dan anak-anaknya—dalam satu hari. Dia
hanya ingin berbicara sepatah dua patah kata, menanyakan kabar dan mendapatkan
jawaban dari pertanyaan sederhana itu. Mungkin setahun kerin-duan dalam
keramaian itu akan terobati dengan sua-ra-suara lembut dari mereka semua—kasar
pun tak masalah karena ternyata diam itu lebih menyakitkan daripada dimaki.
Hari-harinya bertambah suram, ra-sanya ingin mati saja.
Gugun mencoba tegar. Segala
cara telah dia tem-puh agar mereka bisa berkumpul lagi. Setidaknya se-kali saja
sebelum dia meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Karena penyakitnya sudah
semakin pa-rah. Dia juga sudah tidak dibolehkan untuk bekerja terlalu keras
oleh dokter pribadinya. Mungkin itulah yang menyebabkan Gugun membutuhkan
mereka se-mua untuk menyemangatinya. Umurnya sudah tidak lama lagi, itu
perkiraannya saat dia memergoki dok-ter pribadinya itu menggeleng-gelengkan
kepala.
Tragisnya, mereka semua
tidak ada yang tahu akan penyakit Gugun. Hanya Gugun dan dokterlah yang tahu.
Mau bagaimana lagi, komunikasi semakin tidak ada. Gugun semakin membeku jadi
patung yang usang. Terlewati begitu saja.
Dan akhirnya Gugun pun
terbaring dengan selang-selang dan jarum-jarum yang menusuk-nusuk pembu-luh
darahnya tanpa tahu keluarganya, keluarga yang sangat dicintainya. Nafasnya
tengah terputus-putus. Kesadarannya hilang. Ruhnya ingin keluar tetapi ma-sih
tertahan dalam raganya. Ada sesuatu yang meng-halangi. Pada saat kesadarannya
pulih untuk waktu yang sebentar, Gugun yang merasa ajalnya sudah se-makin
dekat, menyempatkan diri untuk menulis pe-san yang dibantu dokter pribadinya.
Untuk
isteriku dan anak-anakku tercinta
Entah
mengapa akhir-akhir ini mata Papa sulit terbuka. Cahaya matahari juga tak
pernah kutemu-kan lagi. Mungkin bumi ini akan meredup sebentar lagi. Atau mungkin
malah Papa yang meredup. Tak tahulah dengan kebenaran beberapa kemungkinan itu.
yang jelas, cinta Papa kepada kalian tidak akan pernah meredup.
Papa
hanya sepi saja, itulah sebabnya Papa me-nulis dongeng ini untuk kalian dibantu
dokter yang baik hati ini. Papa rindu kalian. Maafkan Papa yang tidak pernah
peduli kepada kalian dengan alasan sibuk dengan pekerjaan. Jujur saja, Papa
memang sibuk sekali. Ini sebuah tanggung jawab yang besar sekali yang
dilimpahkan kepada Papa. Tadinya Papa piker hanya dengan kekayaan ini kita akan
bahagia bersama. Ternyata tidak seperti dipikiran Papa. Te-tapi tenang saja,
tanggung jawab yang besar itu sudah Papa tanggalkan semenjak papa sadar bahwa
ada sebuah tanggung jawab yang lebih besar lagi daripada itu, yaitu kalian.
Seharusnya
Papa sadar dari dulu sebelum semua-nya ini terjadi. Seharusnya Papalah yang
mengantar Adi dan Fitri sekolah. Bukannya Mang Ujang. Seha-rusnya papa juga
yang mengambil rapor, bukan Mang Ujang. Seharusnya Papa juga yang mengantar Mama
pergi ke salon dan mall, membeli sepatu buat anak-anak, bukannya Mang Ujang dan
Papa juga yang seharusnya menemani Mama tidur setiap ma-lam, bukan bantal
guling yang tak dapat bicara itu.
Oh,
ya Ma, wanita yang Mama tuduhkan itu ada-lah klien Papa. Ceritanya, Papa ingin
membuka usa-ha kecil-kecilan saja yang dibantu oleh wanita itu. Paling tidak
hasilnya akan cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan yang lebih
penting lagi Papa akan bebas dari tanggung jawab pekerjaan yang memboroskan
waktu Papa bersama kalian. Pe-kerjaan itulah penyebab hilangnya waktu kebersama-an
dengan kalian. Papa memang tidak menceritakan pada kalian sebelumnya karena
ingin memberikan kejutan, tadinya. Tetapi entah mengapa pada akhir-nya sulit
sekali mencari waktu bebas kalian. Mungkin itu adalah karma buat Papa. Tetapi
tidak mengapa, karena dokter yang baik ini akan membantu menyam-paikan surat
sakti ini pada kalian kalau seandainya pada saatnya nanti sebelum bertemu
kalian, Papa keburu pergi. Ah, sebetulnya Papa tidak ingin pergi. Tetapi
rasa-rasanya seperti akan pergi tanpa bisa dihalangi oleh siapapun. Papa tidak
kuat lagi. Maaf sudah merahasiakan ini dari kalian bahwa memiliki sebuah
penyakit mematikan. Semua itu Papa lakukan agar kalian tidak ingin menjadikan
ini beban pikiran kalian. Karena sudah cukup rasanya Papa member-kan beban batin
pada kalian dengan sikap-sikap papa yang angkuh, acuh tak acuh, emosi tinggi
dan sifat buruk lainnya yang memang tak akan ada yang bersedia menerimanya.
Papa
merindukan kalian.
Seandainya
kalian ada di sini sekarang, ingin rasanya papa memeluk Mama, Adi dan Fitri.
Kalau saja nanti Papa menghembuskan nafas terakhir Pa-pa, setidaknya Papa lega
karena cinta yang Papa cari selama beberapa waktu terakhir ketemu. Dan papa
akan pergi dalam keadaan hangat, nyaman, tentram, damai dengan senyuman terbaik
dari pada sepanjang hidup. Sayangnya tidak ada kalian saat ini.
Papa
menyesal karena jarang tersenyum. Ter-nyata tersenyum itu membuat pikiran kita
menjadi tanpa beban. Dokter yang mengajari papa tersenyum beberapa hari yang
lalu. Ternyata memang benar adanya. Dampaknya juga terasa bagi orang-orang di
sekitar kita. Itulah sebabnya mengapa senyum dika-takan sedekah. Orang yang
mendapat sedekah pasti senang luar biasa.
Ah,
Papa sudah tidak kuat lagi berbicara. Dokter juga kelihatannya lelah sekali
menunggu papa berbi-cara yang terpatah-patah. Paling tidak, melalui surat ini
Papa bisa menyampaikan maaf yang sebesar-besarnya meskipun rasanya kurang afdol
jika tidak bertemu kalian. Lagi pula, jika Papa menelepon kali-an pasti kalian
akan bingung dengan ucapan yang terpatah-patah. Dan itu akan menghabiskan waktu
kalian dengan percuma.
Sekali
lagi maafkan Papa yang tidak meninggal-kan apa-apa, terutama kasih sayang.
Sungguh Papa ingin memberikannya untuk kalian. Kita akan memu-lai hidup yang
baru. Tapi rasa-rasanya waktu tak akan memungkinkan lagi. Kaki Papa mulai
terasa dingin. Halusinasi-halusinasi kecil sudah mulai ber-datangan, mungkin
itulah malaikat maut yang da-tang menjemput. Papa juga tidak tahu pasti. Ah, Pa-pa
takut sekali.
OOO
0 komentar:
Posting Komentar