Meskipun aku tak tahu cara mebuat kue bolu, tapi aku berusaha membuatnya dengan segenap jiwa dan ragaku. Zaman sekarang teknologi sudah canggih sehingga tak ada alasan untuk tidak bisa. Manfaatkan internet untuk mendapatkan resep terbaik dan mudah diterapkan. Isteriku sebetulnya piawai membuat bolu dan segala macam jenis kue. Ibu-ibu tetangga bahkan teman kantornya dulu selalu memesan dengannya. Biasanya pas lebaran pesanan membludak dan ia selalu membatasi pesanan paling lambat empat hari sebelum hari H. Kalau pemesanan untuk acara ulang tahun dan kawinan dua hari sebelumnya.
Toko kelontong kami kututup untuk
sementara. Isteriku kutitipkan di rumah mertuaku. Bukan pilihan tepat
sebetulnya menitipkan isteriku di rumah mertua. Ada masalah serius yang tak
pernah kunjung padam. Terutama Ibu Aisha yang galak dan materialistis itu. Ayah
mertuaku hanya pion yang dikendalikan oleh Nyonya besar mata duitan. Setiap
malam aku selalu berdoa untuknya agar diberikan kesembuhan matanya agar tak
hijau lagi. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Tak mungkin aku menceramahinya
agar tak boleh ini dan itu. Celakalah aku jika aku melakukannya. Malah berbalik
aku yang akan diceramahinya. Bisa satu hari penuh sampai terbawa mimpi.
Tak mengapa. Hanya untuk hari
ini. Hari yang akan selalu diingat oleh isteriku nantinya. Tapi cukup gamang
juga aku dibuatnya. Aku takut nanti isteriku dihasut oleh ibu mertuaku. Ah,
pikiran buruk ini membuat aku lupa berapa takaran tepung yang harus kumasukkan.
Aku menghentikan pekerjaanku sejenak. Kembali membuka internet dan sekarang aku
men-cetak resep bolu agar aku tak bolak-balik membuka komputer.
Aku bersiul-siul sambil membawa
cetakan resep ke dapur. Di sana sudah dikuasai dua ekor kucing yang masuk dari
pintu belakang yang terbuka lebar. Mereka mengacaukannya. Adonan itu mereka
jilat-jilat de-ngan wajah innocent.
Melihat mataku melotot seperti mau lepas, mereka langsung kabur sambil
mengibas-ngibaskan ekor mereka yang pendek itu, memamerkan pantat mereka yang
digoyang-goyangkan. Aku naik pitam. Ku lempar mereka dengan garpu. Aku berharap
mengenai pantat mereka, ternyata meleset. Ya su-dahlah aku harus mengulang dari
awal. Pengorbanan dan perjuangan itu harus berkali-kali agar berkesan Bung!
Aku kembali mengocok telur dan
campuran bahan lainnya sambil bersiul-siul menghibur diri dari keke-salan tadi.
Cukup membantu. Tak terasa akhirnya pekerjaan itu selesai. Aku tinggal
memanggangnya saja. Setelah itu barulah menghiasnya dengan segenap rasa cinta.
Aku akan mengubahnya menjadi replika sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga di
pinggirnya. Di tengah-tengahnya akan kuletakkan dua buah lilin sebagai tugu di
tengah-tengah taman itu. Aku membayangkannya saja sudah tersenyum. Apa-lagi
isteriku menghadiahiku dengan senyumannya, pasti aku tak akan bisa tidur
semalaman. Ingin terus memeluknya sepanjang malam.
Aku menunggu bolu tersebut matang
sambil membaca koran hari ini di ruang tamuku yang sempit. Isteriku meng-sms-ku menanyakan apa yang sebenar-nya
terjadi. Tak kubalas.
Hari ini Aisha ulang tahun.
Wanita itu memang pikun. Selalu lupa hari ulang tahunnya. Setiap tahun. Ia
memang bukan tipe orang pengingat tanggal. Tapi jangan tanya soal resep
masakan. Ia jagonya meng-hafal sampai seberapa takaran bumbu-bumbunya. Tak
heran rasa masakannya selalu sama dan menunya selalu berbeda setiap harinya
dengan tetap menganut hidup hemat.
Menunggu itu memang membosankan.
Koran yang kubaca tergeletak begitu saja di sova. Aku dalam keadaan bersandar
seperti orang pingsan. Aku kelelahan dan mengantuk. Akhirnya tertidur selama
setengah jam. Aroma aneh membangunkan lelapku. Aku langsung berhambur ke dapur
untuk memeriksa bolu ulang tahun. Hasil identifikasiku, bolu kunyata-kan
hangus. Untuk membuatnya kembali tak mung-kin. Aku tak punya banyak waktu lagi.
Isteriku mulai rewel ingin pulang ke rumah. Kemudian aku mem-buang bagiannya
yang hangus. Untunglah masih bisa diselamatkan. Namun, masalah lain
menghampiri. Bolunya bantat! Keras dan aku sendiri sudah tak selera memakannya.
Aku memandangi bolu gagal
tersebut dengan sa-ngat iba. Kalau kalian melihat wajahku, itulah wajah
terkasihan di dunia. Mataku berkaca-kaca, mulut melengkung ke bawah seperti
memelas dan hampir menangis dan hidung tiba-tiba mengeluarkan cairan lendir
bercampur keringat yang keluar dari pelipis yang mengalir berkelok-kelok melewati
bibir. Sebagi-an masuk ke mulut dan rasanya asin.
Aku sudah yakin seyakin-yakinnya
bahwa aku tak mungkin memberikan hadiah bolu bantat ini kepada isteriku. Selain
ia akan menertawakanku mungkin sedikit omelannya membuat kupingku bengkak
nan-tinya. Dapur ini hancur berantakan. Kulit telur, te-pung, mentega, dan
perabotan kotor ada di manamana. Aku sendiri bingung, terutama dengan
perabotan. Untuk membuat satu bolu aku memerlukan banyak perabotan. Seingatku,
isteriku menggunakan perabot-an tak sebanyak ini.
Akhirnya aku bertindak dengan
plan B. pergi ke toko cina di jalan Sriwijaya. Kalau tidak salah di sana ada
toko kue yang menjual segala macam jenis kue ulang tahun dan perlengkapan
lainnya. Dengan kecepatan penuh aku melajukan sepeda motorku. Sesampainya aku
pilih yang mana saja sebab bentuk dan harga buka masalah lagi dalam hal ini.
memang akhirnya aku menyesal juga. Harga kuenya mahal.
Aku tak peduli. Yang penting aku
sudah mendapat-kan apa yang kuperlukan. Tak lupa juga aku membeli kertas krep
untuk menghias ruang tamu yang akan kugunakan untuk membuat kejutan. Tadinya
aku tak terpikir untuk menghias ruangan tersebut dengan hal yang macam-macam.
Toko kue tersebut memberiku inspirasi. Sesampainya di rumah aku langsung
menyu-lap ruang tamu menjadi indah dengan balon-balon yang kutiup sendiri dan
kugantungkan di setiap sudut ruangan ini.
Setelah semuanya beres, aku
berkali-kali meman-dangi indahnya ruang tamu ini. Dan berkali-kali juga aku
berdecak kagum memuji diriku sendiri. Tapi kalau dipikir-pikir, ini lebih cocok
untuk ulang tahun Tiara. Ah, sudahlah.
Aku menjemput isteriku di rumah
mertua. Ia sudah berkacak pinggang dan bersiap untuk menjewer kupingku. Matanya
melotot tapi aku suka, karena matanya sungguh indah kawan. Bulu matanya lentik,
hitam dan menegaskan karakternya. Syukurlah ibu mertuaku sedang tak ada di
rumah. Ia sedang arisan di rumah Bu RT. Begitu keterangan dari ayah mertuaku.
“Ayah bohong! Tadi katanya ibu
sedang ada hajat-an. Hayo sekarang mengaku di rumah Ayah melaku-kan apa?”
“Tidak melakukan apa-apa.”
Sepanjang perjalanan ia mengomel
di belakang tanpa kehabisan bahan omelan. Di depan, aku terse-nyum-senyum
simpul dan tak banyak bicara. Sampai di rumah nanti ia tahu sendiri apa yang
kulakukan sejak siang tadi.
“Ayah! Tiara ketinggalan di rumah
ibuku.”
“Astagfirullah. Kenapa baru ingat sekarang?”
Tinggal sepuluh meter lagi kami
sampai rumah. Ini benar-benar konyol. Aku memutar balik sambil meng-garuk-garuk
kepala yang terhalang helm.
“Tiara maafkan ibu melupakanmu,”
Aisha meng-gendong Tiara dan langsung kembali naik ke sepeda motor. Ayah
mertuaku terheran-heran dibuatnya.
Sesampainya di rumah, aku
membiarkannya masuk rumah duluan. Ia akan terkejut, terpana, terpesona dan tak
mampu mengucapkan sepatah kata pun nanti. Aku bisa memastikan meskipun dugaanku
ini belum sepenuhnya pasti. Kepastian hanya milik Allah.
Aku pura-pura saja sedang
mengencangkan rantai sepeda motor dengan mengendor dan mengencangkan mur dan
baut. Setelah itu aku mengelap jok motor yang sebetulnya sangat tak perlu. Namanya
berpura-pura kawan.
Isteriku terdiam saat membuka
pintu. Dari tempatnya berdiri memang sudah kelihatan balon-balon, hiasan kertas
krep dan tulisan selamat ulang tahun
Aisha di sisi yang berseberangan dengan pintu. Tak lupa aku menyelipkan
bunga mawar di huruf A akhir kalimat tempelan selamat ulang tahun Aisha tersebut. Ia langsung mengambil setangkai
mawar tersebut kemudian melihat kue ulang tahun yang kubeli dari toko cina tadi
siang. Ia mencoleknya sedikit dan menyicipinya.
“Selamat ulang tahun, Aisha,”
ucapku.
Ia terkejut karena tiba-tiba aku
sudah di belakang-nya. Aisha langsung memelukku dengan erat. Sambil menangis
tersedu-sedu. Bajuku basah dengan air matanya. Ia sangat terharu dengan apa
yang telah aku lakukan. Melihat ibunya menangis kecil juga ikut-ikutan
menangis. Tiara memeluk kakiku. Ia memang belum mengerti apa-apa.
“Ayah terima kasih untuk
semuanya,” Aisha mele-paskan pelukannya. Ia mengusap air matanya dengan
punggung telapak tangannya.
“Memangnya Ayah melakukan apa?
Ayah hanya mencoba membahagiakan ibu dengan cara yang berbeda. Hmm…meskipun
agak sedikit kekanak-ka-nakan,” aku tersenyum dengan gaya yang biasa kulakukan
jika sedang tersipu-sipu: menggaruk-garuk kepala.
“Ayah tuh lucu kalau sedang
menggaruk-garuk kepala. Sama seperti Tiara ya Nak? Bedanya Ayah kayak monyet.
Kalau Tiara kayak tuan putri,” Aisha mencubit pipi Tiara dengan gemas sebagai
pelampias-annya. Setelah itu ia mencubit pipiku yang kempot ini. Ia hanya
menarik kulit saja karena tak ada daging di pipiku.
“Ayo kita potong kuenya. Maaf
akhirnya Ayah beli juga kuenya di toko cina,” aku menunduk jujur. “Tadi Ayah
mencoba membuatnya. Tapi tetap Ibu yang ter-hebat.”
Aisha langsung curiga dengan
dapur. Aku menepuk keningku. Aku baru ingat bahwa aku belum membereskan dapur
dengan segala jenis sampah dan perabotan kotor. Sementara aku memotong kue,
Aisha memeriksa dapur. Aku sudah pasrah dengan pelototan mata indahnya itu. aku
memberikan potongan pertama kepada Tiara.
“Enak Nak?”
“Enak.”
“Ayah. Ini apa?”
Sudah kuduga ia pasti menemukannya.
“Itu buatan Ayah. Kalau di resep
yang Ayah dapat, benda itu namanya bolu bantat,” aku berusaha mena-han geli.
“Tak seperti bolu.”
“Tapi rasanya seperti bolu.”
“Sini Ibu pinjam pisaunya,” Aisha mengiris bolu bantat dan
memakannya. “Enak.”
Hidungku mengembang.
“Tapi lebih enak lagi jangan
dimakan,” Aisha tertawa. Kemudian ia memelukku lagi. Menangis lagi. Terharu
lagi. Tak terasa ternyata aku juga mengeluar-kan air mata dengan senyum super
bahagia.
Tahukah kau kawan? Bolu bantat
buatanku itu habis dimakan isteriku sendirian. Sambil masak, sambil memandikan
Tiara, sambil menjaga toko, sambil membaca, dan sambil menonton televisi ia
memakannya.
Aku mencintainya Kawan.
OOO
0 komentar:
Posting Komentar