Berita (7) Buku Saya (3) Cerpen (31) Download Novel (2) lain-lain (1) Musik (7) Puisi (39)

Translate

Jumat, 23 Desember 2011

Bolu Bantat untuk Aisha


Meskipun aku tak tahu cara mebuat kue bolu, tapi aku berusaha membuatnya dengan segenap jiwa dan ragaku. Zaman sekarang teknologi sudah canggih sehingga tak ada alasan untuk tidak bisa. Manfaatkan internet untuk mendapatkan resep terbaik dan mudah diterapkan. Isteriku sebetulnya piawai membuat bolu dan segala macam jenis kue. Ibu-ibu tetangga bahkan teman kantornya dulu selalu memesan dengannya. Biasanya pas lebaran pesanan membludak dan ia selalu membatasi pesanan paling lambat empat hari sebelum hari H. Kalau pemesanan untuk acara ulang tahun dan kawinan dua hari sebelumnya.
Toko kelontong kami kututup untuk sementara. Isteriku kutitipkan di rumah mertuaku. Bukan pilihan tepat sebetulnya menitipkan isteriku di rumah mertua. Ada masalah serius yang tak pernah kunjung padam. Terutama Ibu Aisha yang galak dan materialistis itu. Ayah mertuaku hanya pion yang dikendalikan oleh Nyonya besar mata duitan. Setiap malam aku selalu berdoa untuknya agar diberikan kesembuhan matanya agar tak hijau lagi. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Tak mungkin aku menceramahinya agar tak boleh ini dan itu. Celakalah aku jika aku melakukannya. Malah berbalik aku yang akan diceramahinya. Bisa satu hari penuh sampai terbawa mimpi.
Tak mengapa. Hanya untuk hari ini. Hari yang akan selalu diingat oleh isteriku nantinya. Tapi cukup gamang juga aku dibuatnya. Aku takut nanti isteriku dihasut oleh ibu mertuaku. Ah, pikiran buruk ini membuat aku lupa berapa takaran tepung yang harus kumasukkan. Aku menghentikan pekerjaanku sejenak. Kembali membuka internet dan sekarang aku men-cetak resep bolu agar aku tak bolak-balik membuka komputer.
Aku bersiul-siul sambil membawa cetakan resep ke dapur. Di sana sudah dikuasai dua ekor kucing yang masuk dari pintu belakang yang terbuka lebar. Mereka mengacaukannya. Adonan itu mereka jilat-jilat de-ngan wajah innocent. Melihat mataku melotot seperti mau lepas, mereka langsung kabur sambil mengibas-ngibaskan ekor mereka yang pendek itu, memamerkan pantat mereka yang digoyang-goyangkan. Aku naik pitam. Ku lempar mereka dengan garpu. Aku berharap mengenai pantat mereka, ternyata meleset. Ya su-dahlah aku harus mengulang dari awal. Pengorbanan dan perjuangan itu harus berkali-kali agar berkesan Bung!
Aku kembali mengocok telur dan campuran bahan lainnya sambil bersiul-siul menghibur diri dari keke-salan tadi. Cukup membantu. Tak terasa akhirnya pekerjaan itu selesai. Aku tinggal memanggangnya saja. Setelah itu barulah menghiasnya dengan segenap rasa cinta. Aku akan mengubahnya menjadi replika sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga di pinggirnya. Di tengah-tengahnya akan kuletakkan dua buah lilin sebagai tugu di tengah-tengah taman itu. Aku membayangkannya saja sudah tersenyum. Apa-lagi isteriku menghadiahiku dengan senyumannya, pasti aku tak akan bisa tidur semalaman. Ingin terus memeluknya sepanjang malam.
Aku menunggu bolu tersebut matang sambil membaca koran hari ini di ruang tamuku yang sempit. Isteriku meng-sms-ku menanyakan apa yang sebenar-nya terjadi. Tak kubalas.
Hari ini Aisha ulang tahun. Wanita itu memang pikun. Selalu lupa hari ulang tahunnya. Setiap tahun. Ia memang bukan tipe orang pengingat tanggal. Tapi jangan tanya soal resep masakan. Ia jagonya meng-hafal sampai seberapa takaran bumbu-bumbunya. Tak heran rasa masakannya selalu sama dan menunya selalu berbeda setiap harinya dengan tetap menganut hidup hemat.
Menunggu itu memang membosankan. Koran yang kubaca tergeletak begitu saja di sova. Aku dalam keadaan bersandar seperti orang pingsan. Aku kelelahan dan mengantuk. Akhirnya tertidur selama setengah jam. Aroma aneh membangunkan lelapku. Aku langsung berhambur ke dapur untuk memeriksa bolu ulang tahun. Hasil identifikasiku, bolu kunyata-kan hangus. Untuk membuatnya kembali tak mung-kin. Aku tak punya banyak waktu lagi. Isteriku mulai rewel ingin pulang ke rumah. Kemudian aku mem-buang bagiannya yang hangus. Untunglah masih bisa diselamatkan. Namun, masalah lain menghampiri. Bolunya bantat! Keras dan aku sendiri sudah tak selera memakannya.
Aku memandangi bolu gagal tersebut dengan sa-ngat iba. Kalau kalian melihat wajahku, itulah wajah terkasihan di dunia. Mataku berkaca-kaca, mulut melengkung ke bawah seperti memelas dan hampir menangis dan hidung tiba-tiba mengeluarkan cairan lendir bercampur keringat yang keluar dari pelipis yang mengalir berkelok-kelok melewati bibir. Sebagi-an masuk ke mulut dan rasanya asin.
Aku sudah yakin seyakin-yakinnya bahwa aku tak mungkin memberikan hadiah bolu bantat ini kepada isteriku. Selain ia akan menertawakanku mungkin sedikit omelannya membuat kupingku bengkak nan-tinya. Dapur ini hancur berantakan. Kulit telur, te-pung, mentega, dan perabotan kotor ada di manamana. Aku sendiri bingung, terutama dengan perabotan. Untuk membuat satu bolu aku memerlukan banyak perabotan. Seingatku, isteriku menggunakan perabot-an tak sebanyak ini.
Akhirnya aku bertindak dengan plan B. pergi ke toko cina di jalan Sriwijaya. Kalau tidak salah di sana ada toko kue yang menjual segala macam jenis kue ulang tahun dan perlengkapan lainnya. Dengan kecepatan penuh aku melajukan sepeda motorku. Sesampainya aku pilih yang mana saja sebab bentuk dan harga buka masalah lagi dalam hal ini. memang akhirnya aku menyesal juga. Harga kuenya mahal.
Aku tak peduli. Yang penting aku sudah mendapat-kan apa yang kuperlukan. Tak lupa juga aku membeli kertas krep untuk menghias ruang tamu yang akan kugunakan untuk membuat kejutan. Tadinya aku tak terpikir untuk menghias ruangan tersebut dengan hal yang macam-macam. Toko kue tersebut memberiku inspirasi. Sesampainya di rumah aku langsung menyu-lap ruang tamu menjadi indah dengan balon-balon yang kutiup sendiri dan kugantungkan di setiap sudut ruangan ini.
Setelah semuanya beres, aku berkali-kali meman-dangi indahnya ruang tamu ini. Dan berkali-kali juga aku berdecak kagum memuji diriku sendiri. Tapi kalau dipikir-pikir, ini lebih cocok untuk ulang tahun Tiara. Ah, sudahlah.
Aku menjemput isteriku di rumah mertua. Ia sudah berkacak pinggang dan bersiap untuk menjewer kupingku. Matanya melotot tapi aku suka, karena matanya sungguh indah kawan. Bulu matanya lentik, hitam dan menegaskan karakternya. Syukurlah ibu mertuaku sedang tak ada di rumah. Ia sedang arisan di rumah Bu RT. Begitu keterangan dari ayah mertuaku.
“Ayah bohong! Tadi katanya ibu sedang ada hajat-an. Hayo sekarang mengaku di rumah Ayah melaku-kan apa?”
“Tidak melakukan apa-apa.”
Sepanjang perjalanan ia mengomel di belakang tanpa kehabisan bahan omelan. Di depan, aku terse-nyum-senyum simpul dan tak banyak bicara. Sampai di rumah nanti ia tahu sendiri apa yang kulakukan sejak siang tadi.
“Ayah! Tiara ketinggalan di rumah ibuku.”
Astagfirullah. Kenapa baru ingat sekarang?”
Tinggal sepuluh meter lagi kami sampai rumah. Ini benar-benar konyol. Aku memutar balik sambil meng-garuk-garuk kepala yang terhalang helm.
“Tiara maafkan ibu melupakanmu,” Aisha meng-gendong Tiara dan langsung kembali naik ke sepeda motor. Ayah mertuaku terheran-heran dibuatnya.
Sesampainya di rumah, aku membiarkannya masuk rumah duluan. Ia akan terkejut, terpana, terpesona dan tak mampu mengucapkan sepatah kata pun nanti. Aku bisa memastikan meskipun dugaanku ini belum sepenuhnya pasti. Kepastian hanya milik Allah.
Aku pura-pura saja sedang mengencangkan rantai sepeda motor dengan mengendor dan mengencangkan mur dan baut. Setelah itu aku mengelap jok motor yang sebetulnya sangat tak perlu. Namanya berpura-pura kawan.
Isteriku terdiam saat membuka pintu. Dari tempatnya berdiri memang sudah kelihatan balon-balon, hiasan kertas krep dan tulisan selamat ulang tahun Aisha di sisi yang berseberangan dengan pintu. Tak lupa aku menyelipkan bunga mawar di huruf A akhir kalimat tempelan selamat ulang tahun Aisha tersebut. Ia langsung mengambil setangkai mawar tersebut kemudian melihat kue ulang tahun yang kubeli dari toko cina tadi siang. Ia mencoleknya sedikit dan menyicipinya.
“Selamat ulang tahun, Aisha,” ucapku.
Ia terkejut karena tiba-tiba aku sudah di belakang-nya. Aisha langsung memelukku dengan erat. Sambil menangis tersedu-sedu. Bajuku basah dengan air matanya. Ia sangat terharu dengan apa yang telah aku lakukan. Melihat ibunya menangis kecil juga ikut-ikutan menangis. Tiara memeluk kakiku. Ia memang belum mengerti apa-apa.
“Ayah terima kasih untuk semuanya,” Aisha mele-paskan pelukannya. Ia mengusap air matanya dengan punggung telapak tangannya.
“Memangnya Ayah melakukan apa? Ayah hanya mencoba membahagiakan ibu dengan cara yang berbeda. Hmm…meskipun agak sedikit kekanak-ka-nakan,” aku tersenyum dengan gaya yang biasa kulakukan jika sedang tersipu-sipu: menggaruk-garuk kepala.
“Ayah tuh lucu kalau sedang menggaruk-garuk kepala. Sama seperti Tiara ya Nak? Bedanya Ayah kayak monyet. Kalau Tiara kayak tuan putri,” Aisha mencubit pipi Tiara dengan gemas sebagai pelampias-annya. Setelah itu ia mencubit pipiku yang kempot ini. Ia hanya menarik kulit saja karena tak ada daging di pipiku.
“Ayo kita potong kuenya. Maaf akhirnya Ayah beli juga kuenya di toko cina,” aku menunduk jujur. “Tadi Ayah mencoba membuatnya. Tapi tetap Ibu yang ter-hebat.”
Aisha langsung curiga dengan dapur. Aku menepuk keningku. Aku baru ingat bahwa aku belum membereskan dapur dengan segala jenis sampah dan perabotan kotor. Sementara aku memotong kue, Aisha memeriksa dapur. Aku sudah pasrah dengan pelototan mata indahnya itu. aku memberikan potongan pertama kepada Tiara.
“Enak Nak?”
“Enak.”
“Ayah. Ini apa?”
Sudah kuduga ia pasti menemukannya.
“Itu buatan Ayah. Kalau di resep yang Ayah dapat, benda itu namanya bolu bantat,” aku berusaha mena-han geli.
“Tak seperti bolu.”
“Tapi rasanya seperti bolu.”
“Sini Ibu pinjam  pisaunya,” Aisha mengiris bolu bantat dan memakannya. “Enak.”
Hidungku mengembang.
“Tapi lebih enak lagi jangan dimakan,” Aisha tertawa. Kemudian ia memelukku lagi. Menangis lagi. Terharu lagi. Tak terasa ternyata aku juga mengeluar-kan air mata dengan senyum super bahagia.
Tahukah kau kawan? Bolu bantat buatanku itu habis dimakan isteriku sendirian. Sambil masak, sambil memandikan Tiara, sambil menjaga toko, sambil membaca, dan sambil menonton televisi ia memakannya.
Aku mencintainya Kawan.
OOO

0 komentar: