Berita (7) Buku Saya (3) Cerpen (31) Download Novel (2) lain-lain (1) Musik (7) Puisi (39)

Translate

Sabtu, 25 Februari 2012

tenang Saja


Tenang saja
Aku sudah terbiasa mencium bantal dan guling
Memeluknya dengan mesra hingga memadu keduanya

Tak perlu risaukan
Dinding kamar sudah bukan lagi orang lain, ku anggap saudara dekat
Langit-langit kamar juga semakin enggan mengawasiku, dia sudah bosan

Tak mengapa
Jika lantai tak ingin aku memijaknya, aku akan terbang dengan pesawat
Atau, aku bisa menaiki permadani

Aku sadar
Lemari pakaianku memang selalu menyodorkan cermin setiap menjelang tidur
Setiap malam aku berkaca, mengoreksi wajah dan selain itu
Lalu tersenyum…

Minggu, 12 Februari 2012

INFO PROYEK FASTER

Assalamualaikum Wr Wb

Ok. Slow aja yah...bahasanya rileks...Pakabar teman-teman semua mahasiswa AGB? Gimana liburannya? Semoga oleh-oleh yang dibawa ke kampusnya banyak ya hahaha...piss! Ok ok serius....jadi gini....(sambil ngebeneri posisi duduk n berdehem-dehem) duh ada yang nyangkut nih di tenggorokan. Jadi gini....(ngebenerin posisi duduk lagi)...halah....

Faster memiliki divisi yang namanya Divisi Kreativitas yang terdiri dari tiga sub divisi yaitu, subdivisi olah raga, divisi kesenian dan budaya, dan subdivisi kewirausahaan. Nah, yang subdivisi kesenian dan budaya ini yang ngurusinnya Saya. Sub divisi ini memiliki 3 program:

Sabtu, 11 Februari 2012

Tentang Penulis buku Jasi-Juka


Bu-bul, Bulek, Bula begitulah panggilan akrab oleh teman-temannya yang saat ini bekerja di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Belitung Timur lahir di Dendang, 4 Januari 1986. Pria lulusan Institut Pertanian Bogor jurusan Teknik Usaha Ternak Ung-gas pada tahun 2007 ini menyukai hal-hal yang ber-bau seni dan sastra. Tak mengherankan jika dia se-ring tampil di panggung di tengah kesibukannya yang luar biasa padatnya. Dalam hidupnya dipenuhi de-ngan karya yang berceceran di mana-mana. Sering-nya tampil di panggung teater membuat pria ini sangat piawai dalam berekspresi, menyerukan sema-ngat, membangkitkan gelora emosi yang terendap. Tak ada lagi lara tak ada lagi duka.

Jumat, 10 Februari 2012

Pengamen Tua di Tepi Kampus


Tadi siang, saat saya mengunjungi warteg langgananku di tepian kampus IPB, ada pengalaman menarik. Mungkin dapat disebut sebagai gambaran negeri kita yang sangat kita cintai ini, yang selalu sakit, terpuruk dan semoga saja bangkit.


Pengap, panas, bau keringat bercampur menjadi satu. Suara hingar bingar musik yang di putar sebetulnya tidak tepat dengan suasana seperti itu. Musik keras yang memekakkan telinga sebetulnya membuat aku tidak betah untuk bertahan lama-lama di situ. Makanya aku makan secepat mungkin. Tak biasanya warteg tersebut menyajikan suasana yang sangat tidak nyaman seperti itu. Apa boleh buat, kalau kita sudah merasa cocok dengan makanan dan harganya, terkadang suasana menjadi nomor ke dua puluh.

Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan. Pada pertengahan saat saya sedang menikmati hidangan, datanglah seorang bapak-bapak membawa gitar kecil. Wajahnya kusut, bertopi kumal, memakai kemeja yang kancing atasnya tebuka dua sehingga memperlihatkan bulu dadanya yang tipis, bercelana pendek berwarna putih yang sudah melekat kotoran tanah di beberapa sisi, serta sendal jepit snowman berwarna hijau yang sudah putus tapi di permak dengan tali rafia agar bisa dijepit. Pertama-tama dia permisi kepada seluruh pengunjung warteg tersebut.

Kamis, 09 Februari 2012

Bruno

ADA SESUATU HAL YANG PALING TIDAK DISUKAI  oleh Vanya yaitu ada kucing di dekatnya. Kucing itu menjijikkan. Sama halnya dengan tikus yang berlari-larian dan bersendagurau bersama saudara-saudara tak sedarahnya kecoa, lipan, kalajengking, ulat dan binatang kecil-kecil lainnya di selokan. Kucing termasuk hewan kecil menurut Vanya, jadi dia jijik. Tak terkecuali ayam, bebek, tidak untuk angsa. Sudahlah tak perlu dibahas mengenai hewan apa yang disukai Vanya karena bukan itu intinya.

Rabu, 08 Februari 2012

Pecinta! Pecinta!


Pada hamparan halaman toko, adrenalin tuan-tuan nyonya-nyonya membeku di matahari merah. Toh, anaknya kegelian
Sayup-sayup gelisah menghantarkan janji para pecinta
Bahwasanya titik terang sedang berkabar sambil menunggu ruang pasti,
Tak ada waktunya berleha-leha dengan ilalang, pada siang yang mengharukan

Siluet


secangkir kopi dalam tidurku, melelahkan
seperti kerongkongan yang berdarah, lalu keluarlah dari gelap
picisan seumpama malaikat yang menjamuku pada khayalan kedua
dua hari sebelum aku masuk ke dalam selimut hangat Sang Permaisuri bintang kejora,
dia bukan kejora

Di Suatu Pagi


Aku menciptakan kau dalam khayalanku, untuk menemaniku
Ternyata ruang kerjaku tetap kosong, aku lupa yang kutulis
Pada hari berikutnya, aku mencoba mengartikan sebuah perkara
Ternyata itu prahara pada pagi-pagi buta, aku ingin mengucapkan
Beberapa kata-kata manis di sela-sela embun yang miris

Ketika Lelaki Menangis


Disimpannya rapat-rapat tanpa bisa kau lihat
Ditutupnya sekuat hati rapuhnya
Agar tak setetespun keluar dari matanya

Ia meringkuk dengan mata terpejam dan dada sesak
Hampir mati layu bersama desir keinginannya

Jika tak Ada Kau!


Potongan asmara masih tergeletak di sudut kota
Tertata tak rapi, sesekali riuh membaca angka pada arloji
Aku disekap!
Hidungku mengeluarkan asap,
Memperlihatkan wajah yang sekelebat ada, kemudian berpurapura bukan dia
Menahan nafas, lalu lepas!

DUAR!


Kau tak ubahnya pesawat tempur yang siap menghantamku dengan rudal
Mengunci sasaran
Tembak

Tanjong Pendam, Sore Hari


Menapaki jejak di pasir putih Tanjong Pendam[1]
Nelangsa, mencipta bait puisi
Menangisi karamnya tongkang waktu itu
Sekarang jasadnya telah hilang, dasawarsa lebih
Hanya sisa bangkai tidur di bawah laut, tepi Kalamoa[2]

Pelukis Pagi


KUTATAP LAMAT-LAMAT HINGGA BENAR-BENAR melekat dalam ingatanku. Aku ingin mengingatnya sama seperti dahulu, kala mataku dan matanya segaris dalam sinar yang bergelora. Aku benar-benar yakin pada keindahan itu, pada suatu saat yang tak menentu, benar-benar nyata adanya.

Tiket


ADIKKU YANG TENGAH SUDAH PULANG KE KAMPUNG, katanya mengambil data yang kurang untuk skripsinya. Beruntung jika mendapatkan tiket murah menjelang Imlek. Banyak orang Cina yang pulang kampung ke sana membuat harga tiket melambung tinggi. Katanya mulai tiga hari ke depan.
Aku tak ambil pusing, sebetulnya. Memang liburan ini lumayan panjang dan aku sudah lama tidak pulang. Dalam hati kecilku, tetap ada pikiran ingin pulang. Tapi aku sudah terlanjur janji untuk tidak pulang sebelum aku lulus kuliah pada ayah. Janji itu kupegang terus sehingga membuatku terus bersemangat untuk kuliah, meskipun di kala bosan, aku hampir mati dibuatnya.
Seharusnya, setua aku ini, seperempat abad ini, seperti yang lain-lainnya, teman-teman seangkatanku yang sudah tersenyum di setiap hari-harinya, sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Memang, aku sudah pernah menghasilkan uang sendiri dan itu semua aku nikmati sendiri. Untuk mereka yang membesarkanku? Hanya sesekali saja kubelikan pakaian saat lebaran dua dan tiga tahun yang lalu. Ayah juga sering bilang padaku bahwa gajimu adalah milikmu seutuhnya. Ya, dan aku pun bebas menggunakannya sesukaku.

Keistimewaan Bintang


Malam ini mari kita coba untuk menatap bintang
Meresapi indahnya sedalam-dalamnya perasaan kita

Muara Sungai Linggang


Sungai Linggang[1] yang kutelusuri, adalah sepanjang rasaku ingin mengetahui di manakah muaranya
Apakah raut wajahmu berubah ketika itu, saat raja-raja masa lalu tiba-tiba datang menghantarkan sejuta bunga keremunting[2] yang sedang mekar? Warnanya merah jambu menawan. Dan aku berdiri tepat di atas pintu air, memandangmu berharap

Abang di sini Membawa Cinta


Wahai seroja di taman hati
Kumbang haus nelangsa di tepi
Adalah rona yang menjentik sepi
Biar kutemani sepanjang hari

Melalui Baris Kata


Melalui baris kata, kuselipkan namamu
Di situ beratus-ratus rindu berkelana mengiringi nafas-nafas yang berserakan
Segalanya aku ingin tahu, pukul berapa bidadari mengetuk pintu
Bahwasanya hujan sore tadi, aku belum menemukan air tergenang
Mungkin gayung yang menadahnya besar segajah

Melalui baris kata, cinta menyelinap sendiri
Aroma mawar yang kau cium pada halaman rumahmu, adalah tubuhku yang tadi hendak kau kesampingkan di pelupuk mata jangkrik samping rumah, di bawah pohon Filicium
Bayanganku masih melekat di tanah pada pukul empat, dan semakin panjang, kemudian dipeluk malam
Aku tak asal bicara, meratap, atau bergumam
Memang sampai sekarang masih tak tahu, sudah sampaikah cinta yang sudah dua belas jam yang lalu?
Tentu belum basi dan kuperkirakan sampai tahun depan dan berikut-berikutnya
Di malam yang seluas otak kita ingin berpikir,
Kamu duduk manis di tepi jendela, di bawah wajah bulan
Tak menyangka, ternyata cinta yang menyelinap itu kau genggam
Pada saat aku lewat dan aku menoleh, kau buka hatimu
Lalu memasukkan cinta itu
Lalu dikunci rapat
Kuncinya kau telan lewat baris kata puitis