ADA SESUATU HAL YANG
PALING TIDAK DISUKAI oleh Vanya yaitu ada kucing di dekatnya.
Kucing itu menjijikkan. Sama halnya dengan tikus yang berlari-larian dan
bersendagurau bersama saudara-saudara tak sedarahnya kecoa, lipan,
kalajengking, ulat dan binatang kecil-kecil lainnya di selokan. Kucing termasuk
hewan kecil menurut Vanya, jadi dia jijik. Tak terkecuali ayam, bebek, tidak
untuk angsa. Sudahlah tak perlu dibahas mengenai hewan apa yang disukai Vanya
karena bukan itu intinya.
“Hai
sayang, kamu kok nggak nelpon aku dulu mau ke sini. Untung saja aku nggak jadi
pergi latihan futsal,” Riko keluar sambil mengendong kucing dan
mengelus-elusnya saat mendengar ada yang mengetuk pintu kamar kostnya. Ternyata
Vanya yang mengetuk.
Vanya
langsung teriak sambil menggoyang-goyangkan badannya—seperti
patah-patah—menahan geli (bayangkan pas kita selesai kencing tiba-tiba tubuh
kita reflek bergetar geli—kalo laki-laki, kalo perempuan nggak tahu apa seperti
ini juga). Melihat itu Riko langsung menjauhkan kucing kesayangannya dari
Vanya.
Dalam
hati si kucing, dia cemburu karena tuannya lebih memilih Vanya daripada
dirinya. Lalu dia mengeong keras. Dia marah ingin mencakar-cakar kaki Vanya
tapi tidak jadi karena tuannya mengancam akan memukul kalau dia berani
mencakarnya. Sang kucing yang bernama Bruno itu menunduk dengan kesedihan yang
mendalam. Dalam hatinya berjanji suatu saat akan membalas perbuatan Vanya.
Bruno terbakar cemburu.
Suatu
hari saat melihat Vanya berada di pintu pagar, Bruno langsung menuju ke situ
dan dengan galaknya dia mengeong. Vanya langsung melompat ke atas pagar. Riko
dari depan kamarnya melihat mereka berdua.
“Bruno!
Pus! Pus!” Panggil Riko.
SOPLAK!
Kepala Bruno kena lempar Vanya dengan sepatu hak tingginya. MIAOOO! Bruno
langsung berlari minta perlindungan ke tuannya. Dia berlari secepat mungkin
sebelum Vanya mengejarnya. Karena kelihatannya Vanya sudah mulai berani
terhadapnya. Bruno mengelus-elus kaki Riko dengan manjanya sambil menahan sakit
kepalanya. Riko pun langsung menggendong Bruno sambil menasehatinya.
“Kamu
nggak boleh begitu Bruno,” kata Riko.
Vanya
datang dengan muka cemberut. “Singkirkan kucing sialan itu! Dan bersihkan
dirimu kalau masih ingin makan siang denganku. Ini aku bawa kesukaanmu.”
Riko
langsung melepaskan Bruno. Vanya masuk ke kamar Riko dan membuka bungkusan yang
dibawanya, sementara Riko membersihkan dirinya. Setelah itu mereka makan
bersama sambil suap-suapan.
Bruno
iri melihat mereka. Dia tak pernah sekalipun disuapi seperti itu. Dia langsung
menghampiri keduanya dan mencoba merenggut gurame bakar yang terkulai manis di
piring Vanya. Vanya berteriak histeris, melompat ke atas ranjang dan melempar
apa saja yang ada di dekatnya. Guling dia lempar. Bantal tak ketinggalan dan
terakhir selimut yang kemudian menutupi makan siang mereka.
Akhirnya
Riko juga ikut marah karena gurame bakar sudah berada di gigitan Bruno. Dengan
kesal Riko menendang kucing yang imut-imut itu dengan sekuat kaki menendang.
NGIK! Bunyinya miris.
Bruno
terlempar bak bola futsal yang mantul ke dinding. Terakhir bunyinya: BUK!
Gurame bakar terlempar ke atas dan masuk kotak sampah. Bruno pingsan selama
beberapa detik. Kemudian dia bangkit kembali dan menatap keromantisan yang
kembali terjadi. Riko membelai rambut Vanya yang menangis karenanya. Bruno pun
ingin menangis saat itu. Dia benar-benar tidak dipedulikan lagi. Padahal
sebelum Riko jadian dengan Vanya, kebahagiaan itu sepenuhnya milik Bruno.
Setiap pagi, setiap siang, setiap malam kasih sayang tuannya hanya dimiliki
olehnya. Dia-lah yang menemani curhat Riko di kala sendiri meratapi pedihnya
menjadi jomblo hampir bakal seumur hidup. Ingat pada canda tawa mereka berdua saat
Riko memain-mainkan tali rafia, Bruno berusaha meraihnya. Kadang berhasil
digigitnya dan kadang tidak berhasil karena Riko lebih lihai mengecoh. Atau
saat dia sedang tidur pulas karena kelelahan mengejar tikus di atas genteng,
Riko selalu membelainya dan memuji-muji dirinya. Dan di saat dia tertidur di
ranjang Riko, Riko rela tidur sambil duduk dengan menyandarkan kepalanya di
ranjang. Tapi semua itu tinggal kenangan. Bruno berjalan gontai. Sepertinya
sudah saatnya dia pergi dari kehidupan mereka.
Bruno
lahir di kost Riko. Dia memiliki dua saudara kandung tapi keduanya tak sanggup
bertahan hidup. Rikolah yang merawatnya sejak kecil dengan penuh kasih sayang.
Bruno tak menyangka pada akhirnya akan begini.
Bruno
pergi meninggalkan kenangan-kenangan indah itu dengan keperihan yang mendalam.
Dia mulai mengadu nasib. Memasuki rumah ke rumah mengharap sesuap nasi dan tuan
yang baru. Ternyata tak semudah yang dibayangkannya. Dunia ini memang keras.
Tak ada tuan yang sebaik riko. Dua hari dia tinggal di rumah tetangga, dia
hanya mendapatkan tulang ikan selama dua hari itu. Tidurnya pun berselimut
langit malam.
0 komentar:
Posting Komentar