KUTATAP LAMAT-LAMAT
HINGGA BENAR-BENAR melekat
dalam ingatanku. Aku ingin mengingatnya sama seperti dahulu, kala mataku dan
matanya segaris dalam sinar yang bergelora. Aku benar-benar yakin pada
keindahan itu, pada suatu saat yang tak menentu, benar-benar nyata adanya.
Aku
menarik nafas panjang sekali dan mendapati diriku yang lucu. Masih tak
bergeming seperti dahulu, pemalu dan tersenyum getir menunggu. Berdiri seorang
diri di sebelah bayangan panjang, kemudian berharap dia mengembalikan hati yang
sempat berjalan-jalan tanpa pernah kuperintah. Sudah berkali-kali aku
mencegahnya, tapi rasa itu tetap saja tumpah dan menimbulkan bunyi gemercik
yang tak biasa. Dia benar-benar lihai membuat pria kurus ini seperti
melayang-layang oleh angin karena terlalu ringannya, sebab otaknya tak berisi
lagi selain dirinya. Hampir seluruh bagian sengaja dikosongkan dan menurut
rencana, semoga tak meleset dan tak ada gaduh, sepenuhnya akan terisi olehnya
seorang. Dan itu pun tergantung kehendak-Nya, jika diizinkan.
Ini
adalah pagi yang cerah, diciptakan secara sengaja oleh Sang Pencipta Pagi. Lalu
aku memohon agar diizinkan untuk mengklaimnya sebagai milikku. Pagi ini adalah
pagiku karena terdapat senyum dua insan yang sedang bertatap mata di sini
dengan kemolekan sang alam. Bermunculanlah puisi-puisi pagi, kala itu. Pipiku
merona, tak seharusnya begini tapi apapun hal, semua karena pagi perlahan-lahan
membelaiku dan membawa pada keceriaan. Cinta oh cinta, dia hampir saja
membunuhku dengan sangat kejam. Tapi dia juga yang mempertemukanku pada
bidadari di batas khayal sembilan tahun silam, saat sejarah bergemuruh pada
jalan-jalan setapak yang berbelok-belok. Untunglah aku tak salah arah. Aku
dituntun cinta untuk kembali ke jalan pulang dan bertemu lagi pada dua kuntum
mata yang sedang mekar. Lentik sekali.
Aku
menunduk malu, ternyata perjalanan yang panjang tak lantas membuatku menjadi
ksatria yang hebat. Nyaliku masih sayu. Padahal binar-binar yang dipancarkan
olehnya mengisyaratkan kemegahan selanjutnya, bahwa ada ruang kosong yang
pantas dipenuhi gelak tawa yang saling beradu. Memadu.
“Hai,”
bukan dia yang menyapaku sembilan tahun yang lalu. Sebut saja seorang sahabat.
Sahabat yang sangat setia yang menunjukkan harapan untuk mendapatkan sambutan
di hatinya. Tapi aku tidak bisa mengabulkannya karena hatiku sudah terpaut pada
satu nama: dia.
0 komentar:
Posting Komentar