ADIKKU YANG TENGAH
SUDAH PULANG KE KAMPUNG, katanya mengambil data yang
kurang untuk skripsinya. Beruntung jika mendapatkan tiket murah menjelang
Imlek. Banyak orang Cina yang pulang kampung ke sana membuat harga tiket
melambung tinggi. Katanya mulai tiga hari ke depan.
Aku
tak ambil pusing, sebetulnya. Memang liburan ini lumayan panjang dan aku sudah
lama tidak pulang. Dalam hati kecilku, tetap ada pikiran ingin pulang. Tapi aku
sudah terlanjur janji untuk tidak pulang sebelum aku lulus kuliah pada ayah.
Janji itu kupegang terus sehingga membuatku terus bersemangat untuk kuliah, meskipun
di kala bosan, aku hampir mati dibuatnya.
Seharusnya,
setua aku ini, seperempat abad ini, seperti yang lain-lainnya, teman-teman
seangkatanku yang sudah tersenyum di setiap hari-harinya, sudah bisa
menghasilkan uang sendiri. Memang, aku sudah pernah menghasilkan uang sendiri
dan itu semua aku nikmati sendiri. Untuk mereka yang membesarkanku? Hanya
sesekali saja kubelikan pakaian saat lebaran dua dan tiga tahun yang lalu. Ayah
juga sering bilang padaku bahwa gajimu adalah milikmu seutuhnya. Ya, dan aku pun
bebas menggunakannya sesukaku.
Itu
dua tahun yang lalu, saat aku masih berjaya. Lulus D3 langsung diterima kerja
di bank. Kemudian, karena kerakusanku dan memang manusia itu sudah dianugerahi
sifat rakus dan tidak puas, aku menggunakannya untuk usaha yang kupikir akan
menambah pundi-pundi rupiah. Kenyataannya, sekarang aku melanjutkan kuliah ke
jenjang S1. Tak ada perbedaan yang berarti diriku yang sekarang dengan diriku
empat tahun sampai tujuh tahun yang lalu, seperti mahasiswa biasa yang tidak
bekerja, dibiayai kuliah, dan setiap bulan aku menikmati uang saku hampir tiga kali
lipat dari uang saku terdahulu. Bukan uang sendiri, paling tidak tabungan yang
kukumpulkan sewaktu masih bekerja. Tolong jangan tanyakan itu, karena aku tidak
punya. Semuanya habis untuk membayar hutang-hutangku pada masa kejayaan:
bekerja sambil berwirausaha.
Menjadi
pengangguran dan berstatus mahasiswa yang belum tamat S1 di usia begini memang
batin abis. Seringkali kuteringat—dan tulisan ini kubuat pada saat kangenku
memang sedang meluber ke mana-mana—tentang ibu. Setiap tahun, pulang lebaran,
inilah derita perantau—jangan salahkan
aku karena ayahku juga perantau—melihat ada yang sama atau ada yang berbeda
dari rumah, lingkungan dan sadarkah kita bahwa kerutan di kening ayah dan ibu
bertambah sepuluh bahkan lebih setiap tahunnya? Dan sadarkah bahwa senyuman
mereka itu masih tetap sama sejak kita lahir ke dunia?
Dia
ibuku. Seorang ibu yang sangat sabar, penurut dan murah senyum. Pernah aku
melihat foto ibu sewaktu baru lulus SPG, wajar jika ayah tak melihat ada pohon
cemara di kiri kanan saat naik-naik ke puncak gunung, dalam kehidupannya. Dan
dia adalah penampungan segala derita yang tak pernah penuh. Termasuk deritaku
di dalamnya yang belum ada apa-apanya. Asam yang kurasakan sekarang ini belum
bercampur garam. Sedangkan dia, asam garamnya sudah pekat.
Pagi
itu, aku lupa sholat subuh, dan ini bukan yang pertama atau khilaf, tapi sudah
menjadi kebiasaan. Paling berat aku lakukan. Tapi dia mengingatkanku sambil
bercanda. Meskipun tidak pernah kuturuti, tapi dia tak pernah bosan
menyampaikannya.
“Syerli
katanya mau pulang. Lumayan harga tiket sedang turun. Nanti kamu antarkan ke
bandara,” kata ibu padaku. Aku sambil menarik selimut dan berkonsentrasi
mendengarkan kata-kata ibu agar tidak ketahuan bangun kesiangan.
“Ya nanti Galang antar ke DAMRI.”
“Sebaiknya
sampai bandara.”
“Iya.
Memangnya Syerli kapan pulangnya?”
“Tanggal
17 hari selasa. Kalau tanggal 18 harga tiket sudah naik.”
“Kalau
selasa bisa, tapi kalau senin pagi nggak bisa. Galang ada bimbingan KRS.
Rencananya Galang pengen ngambil skripsi semester depan. Mata kuliah Galang kan
tinggal empat. Katanya bisa langsung sekalian skripsi. Tapi ada juga sebagian
yang bilang tidak boleh.”
“Jangan
lupa solat subuh.”
“Iya.”
Telepon
ditutup.
Setelah
telepon pagi itu, aku jadi kepikiran untuk pulang. Tapi aku bingung mencari
alasannya. Tidak enak jika aku pulang, di sana aku tidak melakukan apa-apa
selain makan tidur. Apa lagi ayahku beberapa hari yang lalu meneleponku agar
buru-buru lulus. Kalau bisa tahun ini sudah lulus. Lalu aku meyakinkan ayahku
bahwa tahun ini aku pasti lulus meskipun sebenarnya aku ragu dengan
kata-kataku. Aku jadi menyesal dengan masa laluku. Tak mendengarkan nasihatnya.
Ayah
ingin naik haji. Dan kalau salah satu dari kami, lebih baik dua-duanya, aku dan
adikku yang sedang skripsi sudah lulus barulah dia akan mendaftar haji. Ayahku
memang perhitungan soal biaya tapi dia tidak pelit. Sebetulnya ibu menyarankan
agar ayah mendaftar dulu saja, biar ibu belakangan hajinya. Ayah tidak mau, dia
hanya ingin pergi bersama ibu. Harus berdua. Itulah yang membuatku semakin
berpikir untuk pulang, di samping biayanya cukup besar jika kami bertiga
pulang, juga karena aku malu dan merasa bersalah dengan langkahku menempuh
perjalanan hidup ini yang salah. Bukan salah, lebih tepatnya memilih jalan yang
terlalu berputar-putar.
Di
lain hal, aku sangat merindukan mereka. Sampai-sampai aku pernah menulis sebuah
surat yang cukup panjang yang tak pernah aku sampaikan pada mereka dalam note di akun facebook-ku. Begini suratnya:
Assalamu’alaikum
wa Rahmatullah wa barakatuh
Pak, Bu. bagaimana kabar
kalian di sana, di Lembah Cinta yang begitu dasyatnya? Cinta kalian tak pernah
ada habisnya memburuku di manapun berada. Semoga cinta yang kutembakkan untuk
kalian juga sampai ke sana. Sungguh aku merindukan kalian dalam setiap nafasku.
Ini bukan gombal, ini sungguh! Semoga kalian baik-baik saja. Selalu sehat, kuat
dan tegar. Begitu juga anakmu di sini, di tengah ladang perjuangan, dalam
keadaan sehat dan tanpa kekurangan sesuatu apapun. Itu karena kalian yang
setiap malam selalu menyiramiku dengan doa sehingga aku selalu segar saat
terbangun di keesokan harinya.
Pak, Bu, maafkan anakmu
yang kurang menanggapi kemauan kalian. Dosakah? Ini bukan karena anakmu
membantah nasehat kalian. Tetapi anakmu sedang mencoba berjuang demi
kehidupannya, untuk adik-adiknya, juga mempersembahkan semuanya untuk kalian.
Pak, Bu, maafkan anakmu
yang selalu bersantai dengan umurnya. Namun anakmu tetap memikirkannya. Mungkin
bapak ibu tidak tahu dengan jalan pikiran anakmu yang selalu ingkar terhadap
nasehatmu. Tapi sesungguhnya anakmu mencoba membuat Bapak dan Ibu bahagia, yang
mungkin sedikitpun tak bisa diterima oleh akal. Begitu rumitnya jalan pikiran
anakmu sehingga sering kali membuat hati kalian terluka. Sesungguhnya tak ada
maksud hati anakmu berbuat demikian. Celakalah seorang anak yang selalu
membantah nasehat orang tuanya. Maafkan anakmu.
Pak, Bu, entah ini mungkin
belum saatnya atau bagaimana, tapi anakmu tidak akan menyerah sampai
benar-benar tak bisa berbuat apa-apa lagi. Begitu kerasnya hatiku untuk mencari
sesuatu di kehidupan ini, terkadang membuat air mata kalian jatuh tanpa ada
peduli sedikitpun dari anakmu. Sesungguhnya anakmu sebetulnya malu dengan
janji-janjinya, yang kenyataannya tak pernah terpenuhi, selalu jatuh dan jauh
berbeda dengan apa yang Bapak Ibu harapkan. Tapi roda anakmu mamang masih
dibawah dan baru saja melangkah. Itu bukan kegagalan, ini sebuah awal.
Pak Bu, memang terkadang
ada terbesit dalam benakku bahwa seandainya anakmu memilih untuk mendengarkan
nasihat dari kalian, mungkin jalan setapak yang kulewati tak akan sekecil ini,
semakin mengecil sehingga aku harus bersusah payah melewatinya. Tapi, hanya doa
kalian yang membawaku berada dalam keyakinan yang kuat. Doa kalian yang
membuatku tegar dalam kesepian dan kerinduan. Doa kalian yang membuat sedihku
menjadi keceriaan. Doa kalian yang memberiku ketenangan dalam menempuh perjalanan
hidup. Doa kalian yang membangkitkan semangatku yang terpuruk. Doa kalian yang
membuatku merasakan cinta yang dalam kepada kalian. Dan membuatku berada dalam
kesadaran. Pada akhirnya kembali melangkah.
Pak, Bu, Anakmu sungguh
merindukan kalian. Rindu pada kecupan yang kalian berikan pada saat hari raya.
Rindu pada pelukan yang kalian berikan saat aku tiba di kampung halaman. Rindu
pada cerita kalian yang antusias serta tawa ceria kalian. Senyum ibu manis
sekali. Pantas saja Bapak tergila-gila pada Ibu. Kesabarannya,
kebijaksanaannya, kelembutannya, membuat Bapak jadi sempurna sebagai seorang
Bapak. Bapak juga begitu gagah dan sekarang tinggiku melebihi Bapak. Aku sudah
besar dan saat pulang nanti, aku akan membantu Bapak mencangkul, mencabuti
rumput di kebun kita yang tak pernah sekalipun aku tempuh, dan kau tak pernah
memaksaku untuk ikut denganmu, padahal keringat yang kau sirami ke tanamanmu
itulah masa depanku. Aku bangga pada kalian yang berhasil membesarkanku dengan
penuh kasih sayang, hingga aku tak tahu lagi membalasnya dengan apa? Karena
memang tak akan pernah terbalas sampai kapanpun. Ketulusan kalian adalah surga
yang kunikmati.
Pak, Bu, maaf anakmu belum
sempat pulang menjenguk kalian. Insyaallah tahun ini anakmu akan mengukir suatu
mimpi yang tak lagi mimpi. Semua ini semata-mata kupersembahkan sebagai
kesungguhan baktiku terhadap kalian. Aku juga memikirkan kejelasan kehidupanku,
sekarang anakmu sedang berusaha sekuat tenaga meski beberapa kali jatuh dan
hampir terpuruk lagi. Namun anakmu selalu ingat kalian yang dengan sabar
menungguku datang dan melemparkan senyum terbaik kalian, akan membuatku semakin
kuat dan aku tak akan patah hati lagi, apalagi patah semangat.
Pak, Bu, ini adalah
masa-masa tersulit anakmu. Tapi juga kebangkitan semangat anakmu, dan maafkan
aku yang selalu meminta doa kalian.
Harapanku, semoga kalian
selalu dirahmati Allah SWT dalam setiap nafas dan setiap jengkal langkah
kalian. Kupersembahkan setetes air mata cinta ini untuk kalian yang sangat
kucintai.
Wassalam,
I
love u Mom, Dad
Anakmu
Saat
menulis surat itu aku menangis. Cengeng sekali bukan? Kalian pasti ilfil jika
melihatku. Sudahlah aku rasa normal-normal saja karena lelaki juga seorang
manusia yang mempunyai perasaan. Aku hanya kangen dengan mereka.
Tidak
ambil pusingku ternyata membuat aku pusing. Aku memikirkan tiket murah yang
dibilang oleh ibu. Rasanya aku ingin bilang bahwa aku ingin satu tiket yang
harganya murah tersebut. Tapi jika aku memintanya berarti menambah satu beban
ibu: mengeluarkan uang lebih yang seharusnya untuk mereka naik haji. Lagi pula
libur panjang dan semester baru berarti pengeluaran lagi. Dan aku ingin skripsi
yang artinya juga ada tambahan pengeluaran lagi.
Ibu
meneleponku lagi, malamnya.
“Mas,
kamu mau pulang? Mumpung harganya masih dua ratus delapan puluh lima ribu,” kata
ibu.
Senangnya
bukan main aku ditawari pulang. Seketika itu aku ingin bilang iya, tapi
kuurungkan.
“Lihat
besok saja Bu. Besok Galang ingin bertemu dengan dosen pembimbing dulu,”
jawabku belum mengiyakan.
“Ya
sudah beri tahu ibu secepatnya besok. Takutnya nanti harganya naik lagi. Tapi
sejauh ini masih sama dengan harga kemarin dan sekarang.”
Besoknya
aku menemui dosenku. Mata kuliahku tinggal 4 dan beliau mengizinkan aku
mengambil skripsi semester depan meskipun dia berkali-kali meyakinkanku sanggup
atau tidak. Berkali-kali juga aku jawab bahwa aku sanggup. Hanya saja biaya
yang dikeluarkan tidak seperti yang aku perkirakan. Itulah salah satu alasan
mengapa aku tidak langsung mengiyakan untuk menerima tawaran ibu. Aku belum
tahu pengeluaran yang menanti. Ah, seandainya aku punya tabungan sisa banting
tulangku kemarin mungkin aku tak terlalu memikirkan.
“Bu,
barusan Galang sudah bertemu dosen. Dia mengizinkan Galang untuk mengambil
skripsi semester depan. Hanya saja biayanya lumayan. Meleset dari yang Galang
perkirakan,” kataku pada Ibu di luar ruang sekretariat.
“Kamu
jadi pulang?” Ibu bukannya menanggapi kata-kataku malah membahas hal lain.
“Biayanya
12 sks ditambah spp dan skripsi. Satu sks skripsi tiga kali lipat dari sks mata
kuliah biasa. Tapi itu untuk setahun,” aku juga tak menjawab pertanyaannya.
“Berapa
totalnya?” Tanya ibu tanpa berbasa-basi lagi.
“Empat
juta delapan ratus ribu. Tapi untuk skripsi untuk setahun loh Bu, bukan untuk
satu semester,” aku menkankan perihal skripsi.
Ibu
diam. Mungkin sedang berpikir. Ya aku sangat mengerti posisinya.
“Bisa
dicicil?” tanyanya kemudian.
Aku
ingin tertawa tapi aku tahan. Tawaku juga bukan tawa mengejek tapi tawa yang
miris membayangkan posisi kami.
“Mungkin nggak bisa. Karena pengalaman teman-teman kemarin
nggak ada yang mencicil,” kataku tanpa ada rasa ingin mencoba terlebih dahulu
bisa atau tidak.
Ibuku
diam lagi. Aku jadi merasa bersalah lagi. Jika tidak diizinkan pulang aku pun
pasrah saja. Aku juga sudah membayangkan apa yang akan aku lakukan selama libur
panjang ini. Banyak juga teman-temanku yang tak pulang kampong. Nanti aku bisa
bergabung dengan mereka, menghabiskan hari-hari di kost datau nongkrong di
warung kopi di dekat kampus untuk membunuh rasa sepi. Aku juga akan
menyelesaikan tulisan-tulisanku yang sudah lama tak kusentuh. Ini sudah
kurencanakan jauh-jauh hari dan kuanggap sebagai hal utama yang akan kulakukan
pada liburan ini. Pulang kampung hanya sebagai alternatif saja, jika ada
seratus alternatif, Sembilan puluh sembilannya digabung menjadi satu dan
dinamakan hal utama, selebihnya itulah yang kusebut alternatif.
“Ya
sudah, mudah-mudahan adik kamu semester depan tidak ada bayaran SPP lagi,”
katanya tersenyum—senyum yang aku bayangkan. Aku tahu dia hanya menenangkanku
saja agar tidak merasa ini itu, mana mungkin semester depan adikku tidak bayar
SPP. Ibuku paling hebat menenangkan hati anaknya meskipun anaknya tahu bahwa
dia sedang berbohong.
“Mudah-mudahan,”
kataku tertunduk menyesali persetujuan pengharapan mudah-mudahan itu.
“Kamu
jadi pulang besok?” Tanya ibu lagi.
“Kalau
tiketnya masih murah. Tapi nggak juga nggak apa-apa,” jawabku tidak menujukkan
jawaban.
“Pulang
atau nggak?” dia memastikan.
Aku
diam seraya berpikir, menimbang-nimbang dan memutuskan dalam hatiku ingn
pulang. Tapi bibir ini kelu.
“Ya
sudah ibu pesankan tiket sama bibimu. Nanti ibu telepon lagi nomor booking-nya.”
“Ya
Bu,” hanya itu yang mampu aku katakan.
Aku
lega. Bayangan tentang kampong halaman semakin jelas di otakku. Ada kegembiraan
yang tak terkira melesat-lesat. Setengah jam kemudian ibu menelepon lagi.
“Asslamualaikum Mas. Harga tiket sudah
naik. Harganya hampir empat kali lipat dari harga yang tadi,” kata ibu sebelum
aku sempat menjawab salamnya.
“Waalaikumsalam. Iya sih pasti naiknya
cepat Bu. Musim imlek. Lagi pula sehari sebelum keberangkatan biasanya memang
mahal,” kataku mengiyakan dan mencoba tersenyum.
“Iya
tadi ibu kira harganya masih murah.”
“Kalau
begitu Galang nggak apa-apa nggak pulang. Lagi pula Galang ingin mempersiapkan
topik skripsi di sini. Terus kebetulan teman kemarin menawari kerjaan.
Lumayanlah untuk nabung,” kataku berbohong sambil tertawa kecil agar terkesan
senang dan memang tidak ada apa-apa denganku.
“Kamu
nggak apa-apa? Bukannya katanya kamu ingin skripsinya di sini?”
“Nggak
apa-apa Bu. Memang rencananya kemarin mau skripsi di sana tapi di sini nanti
galang mau mengambil topik cadangannya. Kalau topik yang di sana nanti saja
kalau tiket sudah murah. Lagi pula menunggu dibagikannya dosen pembimbing
skripsi dulu. Galang juga memang tidak ada rencana pulang sekarang ini,” kataku
lagi.
“Oh,
begitu? Ya sudah. Memang lebih baik begitu,” kata ibu kemudian.
“Iya
Bu.”
Percakapan
kami ditutup dan aku menyesal telah berbohong. Entah mengapa mendengar
keputusan itu, dadaku langsung sesak. Pikiranku muncul bermacam-macam
prasangka. Ingat tentang adikku yang sering pulang bolak-balik dengan santai
tanpa memikirkan tentang mereka bahkan dengan gampangnya meminta berbagai macam
benda yang sebetulnya tak perlu tapi diperlu-perlukan. Memang pikiranku ini tak
relevan dengan masalah tiket kepulangan, tapi dasarnya pikiran manusia
terkadang tidak bisa dikendalikan.
Aku
duduk di bangku yang ada di samping sekretariat sambil melamun. Ingin kembali
ke kost tapi malas sekali. Aku ingin hiburan. Benar-benar ingin hiburan yang
bisa membuat aku tertawa dan melupakan masalah sepele ini. Masalah tiket yang
sebetulnya tak perlu dipikirkan. Terlalu sederhana untuk dibuat rumit.
Agar
tidak terlalu berlarut-larut, aku mencari hiburan ke mall di sebelah kampusku. Kalau ada film bagus di XXI, aku akan
nonton. Setibanya di sana, melihat daftar film yang sedang diputar hari itu saja
aku tak berminat. Aku kehilangan nafsu untuk dihibur. Sesukanya tubuhku saja
berjalan-jalan turun naik di dalam mall
tersebut tanpa tujuan. Masuk ke toko buku hanya melihat-judul-judul buku saja,
tak ada yang menarik. Tak sampai sepuluh menit aku langsung keluar. Padahal
biasanya aku bisa berjam-jam di sana.
Tak
lama kemudian, sesampainya aku di pintu luar mall tersebut, ibuku menelepon
lagi. Entah ada apa lagi dia menelepon.
“Iya
Bu?”
“Nanti
bibimu meng-sms nomor booking pesawatmu. Tapi pesawat kamu
berbeda dengan Sherly. Tapi jam keberangkatannya sama,” kata ibu tanpa
berbasa-basi lagi.
Begitulah
ibuku, meskipun keputusan sudah didapat, masih saja dia melakukan hal-hal yang
di luar pikiranku. Dia masih berusaha mencari tiket murah agar aku bisa pulang.
Senangnya aku bukan kepalang. Akhirnya aku bisa pulang melepas segala
kerinduan. Tak terasa air mata menetes, terlebih saat aku sudah pulang, bibiku
mengomeliku saat aku berkunjung ke rumahnya
“Kalian
ini musim-musim begini pada pulang semua, nggak tahu tiket mahal? Kasihan ibu
kalian?”
“Bukannya
lagi murah?”
“Sembilan
ratus ribu katamu murah?”
OOO
1 komentar:
keep writing
Posting Komentar