Isteriku marah-marah melulu kerjaannya. Hari
ini saja sudah tiga gelas dan dua piring ia pecahkan. Mana anakku satu-satunya
itu yang baru berumur 3 tahun menangis sejadi-jadinya karena lupa dikasih
makan. Sebetulnya karena acara Sponge Bob
aku ganti menjadi acara gosip. Masalahnya Aura Kasih sedang menjadi topik
hangat baru-baru ini. Ia baru saja putus dengan pacarnya. Aku senang sekali.
Nah, karena aku menonton Aura Kasih itulah isteriku marah-marah. Ia cemburu.
Sangat cemburu. Padahal siapalah Aura Kasih? Hanya seorang artis pujaan, bukan
selingkuh-an. Tapi bisa juga dibilang pacar imajiner.
Kupingku sudah kusumpal dengan
kapas, namun suaranya masih saja terdengar jelas seperti radio rusak, bahkan
seperti suara mobil pick-up tabrakan
yang sedang memuat panci dan kuali beserta piring dan perabotan lainnya. Pecah.
Tumpah ruah di jalan aspal. Sebetulnya aku ingin menyumpal mulutnya, tapi aku
tak berani. Bunuh diri namanya. Malam ini aku siap-siap tidak mendapat jatah
batin. Aku sangat membutuhkan itu agar aku semangat bekerja keesokan harinya.
Aku buru-buru keluar rumah
mencari sesuatu untuk mendiamkan isteriku. Anakku sudah agak surut suara
tangisnya karena Aura Kasih sudah kuganti dengan Sponge Bob lagi. Gampang sekali mendiam-kannya. Kalau mendiamkan
speaker butut itu mesti pakai taktik. Aku memutar otak, yang kiri jadi kanan
dan kanan jadi kiri. Depan jadi belakang dan belakang jadi depan. Tak lama
kemudian, bohlam di atas kepa-laku pecah menghasilkan suara ‘TING!’. Sebuah
ide.
Aku memetik setangkai bunga mawar
yang baru saja disiram isteriku dua jam yang lalu. Kalau tidak salah ia
menyiramnya dengan pupuk. Ia sangat senang sekali dengan bunga. Maka teras
rumah kami yang kecil ini dipenuhi dengan bunga. Rumah kami tampak indah dan
harum mewangi sepanjang hari. Tak hanya mawar. Ada juga melati dan bunga
matahari. Bunga pukul empat dan bunga kamboja kerdil. Mau tak mau aku juga
harus menyukai dan mendukung hobi isteriku ini. Aku sering membelikannya bunga
saat aku memiliki uang lebih atau uang yang sengaja aku sembunyikan jika
mendapat uang lebih. Aku beli de-ngan potnya biar dia puas dan aku juga puas.
Dunia ini memang tak lepas dari sogok menyogok. Luma-yanlah buat semangatku
kerja esok harinya.
“Ini bunga untukmu, Sayang,” aku
memberikannya dengan senyumku yang paling manis.
Ajaib! Ia langsung berhenti
marah-marah. Waktu terhenti. Semuanya tak bergerak. Kecuali aku, bisa bergerak
dengan seenaknya. Aku tertawa kecil. Ber-joget-joget sedikit sambil mengambil
air putih di kulkas. Aku berkeringat. Energiku banyak terbuang gara-gara radio,
speaker, tivi atau apalah yang
butut-butut tersebut. Setelah itu aku duduk-duduk sambil mengambil bulu ayam
dari kemoceng dan mengoles-kan ke hidungnya. Aku juga membuka kancing bajunya
yang paling atas dan mendongak ke balik bajunya. Ia memakai kutang berwarna
putih. Kemarin juga berwarna putih kalau tidak salah. Atau mungkin ini
kutangnya yang kemarin belum diganti? Lalu aku mengendus-endus keteknya, ada
bau keringat sedikit. Kuselidik di keteknya ada bulu halus seperti baru
dicukur. Tapi dia tetap isteriku yang cantik dan yang kusayang. Aku langsung memeluknya
dan mencium keningnya.
Khayalan tingkat tinggi. Pada
kenyataannya dia malah tambah marah setelah khayalan satu detikku itu.
“Ini bungaku baru mekar hari ini!
Kenapa dicabut, Ayah?!”
Sebetulnya yang kuharapkan,
“Ayah. Terimakasih. Ternyata keromantisanmu tak berubah sedari dulu. Aku
mencintaimu Ayah.”
Nah, ia mengecup bibirku.
Sebelumnya, aku lang-sung mengambil serbet yang ada di pundak isteriku dan
melemparkannya ke muka anakku agar ia tak melihat adegan syur ini. Kemudian kami langsung ke kamar melaksanakan sunnah
Rasul. Indahnya.
“Jawab!” Ia merebut bunga mawar
merah nan can-tik itu dari tanganku. Aku hanya melongo tanpa bisa berkata
apa-apa. Aku suami teraniaya. Butuh perlin-dungan Kak Seto.
Tak lama kemudian ia merintih.
Jarinya terkena duri mawar. Itulah jeleknya mawar, meskipun indah, durinya
menyakitkan. Aku langsung mengambil jari-nya yang tertusuk duri mawar,
memasukkan ke mulut-ku dan menghisapnya seperti yang dilakukan di film-film romantis.
Isteriku terdiam. Ia benar-benar terdi-am. Aku sambil mendesah. Tuhan memang
Maha Adil. Setelah keburukan pasti ada kebaikan. Setiap pertengkaran pasti ada
senyuman. Isteriku tersenyum manis sekali. Ini baru isteriku seperti yang
kukenal dulu di pengkolan dekat sekolah SMA-ku.
Waktu itu hujan rintik-rintik
namun matahari ma-sih menampakkan batang hidungnya kalau ia punya hidung. Aku
berjalan pelan. Sangat pelan. Seperti siput yang sedang berlari. Aku sangat
gugup. Gugup sekali. Seperti melihat pocong. Aku berjalan dari warung Wak Amit
menuju seorang gadis ayu bak bidadari baru jatuh dari khayangan. Bibirnya merah
merekah seperti mawar. Merahnya alami bukan karena lipstik. Rambutnya panjang
lurus dan tidak keriting. Ada poni menutupi sebagian matanya. Tu-buhnya
langsing tipeku. Wajahnya tirus juga sangat tipeku. Ia memakai seragam putih
abu-abu. Ia terlihat sangat seksi jika memakai seragam putih abu-abu tersebut.
Padahal roknya dibawah lutut. Tapi betisnya yang putih mulus itu memang selalu
membuyarkan hafalan rumus fisika dan kimiaku. Apalagi matemati-ka. Hanya
biologi saja yang aku ingat mengenai organ reproduksi manusia yang paling jorok
itu.
Semakin dekat. Jantungku semakin
mau copot. Aliran darahku semakin cepat. Waktu itu aku tak sempat mengukurnya.
Yang jelas aku gugup. Di bela-kang badanku yang kurus aku menyembunyikan sesu-atu
yang sangat spesial. Tebak apa yang aku sembu-nyikan? Bunga mawar merah yang
warnanya semerah bibirnya. Tinggal sepuluh langkah lagi aku dengan-nya. Saat
itu bukan hanya jantungku yang semakin bergerak cepat memacu darah. Tanganku
juga ikut bergerak-gerak. Getarannya seperti gempa bumi yang sebentar lagi akan
terjadi tsunami.
“Aisha,” panggilku. Ia tersenyum.
Senyum itu me-nyihirku. Membuat aku mabuk kepayang.
“Iya,” jawabnya. Suara itu. suara
yang sangat mer-du, indah dan membuai asmara.
“Tidak apa-apa. Sedang menunggu
angkot ya?”
“Iya.”
“Sama. Angkotnya lama sekali.”
“Iya.”
“Seharusnya angkotnya tidak boleh
lama.”
“Kenapa?” Aisha mengerutkan
keningnya.
“Karena gerimis semakin lama
semakin membasa-hi pakaianmu.”
Aisha tesenyum. Ia hanya
mengomentari dengan senyum.
“Ini untuk kau Aisha. Kau bisa
berteduh di bawah-nya agar kau tidak kehujanan,” aku memberikan se-tangkai mawar
merah itu pada Aisha. Kata-kata ko-nyol tersebut keluar juga dari mulutku.
Aisha tersenyum menerima mawar
itu. Senyumnya lebar selebar jalan jendral sudirman. “Terima kasih.” Aisha mencium
bunga itu dengan penuh perasaan.
“Sama-sama.”
“Aduh!” Aisha mengaduh. Tangannya
tertusuk du-ri mawar. Aku langsung mengambil jarinya yang ter-tusuk itu dan
memasukkan ke dalam mulutku. Ia tersenyum malu-malu seperti saat ini.
“Cong! Acong! Belanja! Wahai
penjaga warung! Aku mau belanja!”
Sial. Ada pembeli. Ia merusak
adegan romantis yang jarang-jarang terjadi ini.
“Ayah. Itu layanin pembeli. Aisha
mau melanjut-kan masak buat makan siang Ayah. Nanti kalau Aisha udah selesai
masak, baru Aisha gantiin jaga warung,” ujar Aisha lembut.
Aku melayang-layang dibuatnya.
Suaranya lembut. Selembut sutera.”Iya Aisha. Masak yang enak ya,” aku
mengedipkan sebelah mataku.
“Iya Ayah. Terimakasih mawarnya.
Aisha suka,” kata Aisha menunduk malu.
OOO
1 komentar:
Seger & bikin nyengir
Lanjutkan !!!
#pro
Posting Komentar