Berita (7) Buku Saya (3) Cerpen (31) Download Novel (2) lain-lain (1) Musik (7) Puisi (39)

Translate

Kamis, 22 Desember 2011

Cerpen: Kutukan Sebuah Halte


 

AKU MEMANG SEDANG RAJIN DAN INI AKAN berlangsung setiap hari dalam jangka waktu tak ter-batas, sepertinya. Itu semua karena seorang bidadari yang kutemui waktu itu pada jam yang tak biasa-nya—bukan jadwal berangkat kerjaku yang biasa. Ini lebih pagi dan lebih segar dari yang biasa. Semerbak harum parfumnya seringkali membuat aku terlena dan membayangkan yang aneh-aneh. Harum-nya membekas dalam hidungku sepanjang waktu, tak pe-duli sudah berganti hari, aku masih mengingatnya persis.
Dia selalu berdiri di ujung sebelah kiri halte sam-bil sesekali melihat arloji yang membalut indah ta-ngannya yang putih bersih. Angin di pagi hari yang membelai rambutnya, tak pelak membuatku terka-gum-kagum, apalagi saat dia menyibakkan rambut yang menutupi wajahnya. Dia tepat sekali waktu itu, karena dengan begitu aku bisa menikmati kecantik-annya sepuas-puas hatiku. Lagi-lagi aku mengingat detail wajahnya, tak terkecuali tahi lalat yang ada di pelipis kanannya yang setiap kali ditutupi lembar-lembar rambut.
Matanya yang besar dan bulu mata yang indah tebal dan lentik, itu sangat alami, menyiratkan bahwa dia sangat mudah sekali menggoda lelaki yang meli-hatnya. Ya, aku sangat tergoda olehnya. Dengan apa-pun yang ada pada dirinya. Saat dia berjalan di depanku, memperlihatkan kaki jenjangnya dan tubuh-nya yang molek, cara dia tertawa, cara dia melihat, cemberut, kesal bahkan kebingungan saat ketinggalan bus yang biasa ditumpanginya—meskipun sebenar-nya aku tak tahu dia sedang menunggu bus, angkot atau taksi dan segala macamnyalah. Kupikir dia ber-diri di halte paling tidak menunggu ketiga jenis kendaraan itu.
Dan sesungguhnya hati ini ingin berkenalan de-ngannya, sekedar mengetahui namanya saja. Berkali-kali saat dia duduk di sampingku, di antara orang-orang yang sedang menunggu lainnya, aku melirik mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa membuatku tahu namanya seperti, meliriknya saat dia sedang ber-sms yang selalu membuatku penasaran sedang ber-sms dengan siapakah? Perihalnya dia sering kupegok sedang tersenyum sendiri baik memperlihatkan gigi-nya yang teratur dan putih ataupun hanya meleng-kungkan bibirnya yang sangat proporsional dan basah itu. dalam pencarian itu, aku tak pernah sekalipun menemukan tanda-tanda yang mengindikasikan na-manya, sekalipun hanya sekedar inisial yang nantinya bisa menjadi pekerjaanku di rumah: menebak-nebak namanya dengan referensi nama pasaran yang sudah berlaku di negeri ini.
Aku akui dia sangat pintar menyembunyikan iden-titasnya. Beberapa kali dia duduk di sampingku, yang kesemuanya selalu saja membuatku gemetar dan ke-hilangan gaya, kaku dan kebingungan harus bergerak seperti apa: sungguh aneh mengapa hanya aku yang menjadi salah tingkah seperti ini? yang lainnya tidak. Oh, atau aku tidak tahu saja dengan pikiran semua lelaki yang berada di halte ini. Mungkin saja mereka semua terinfeksi penyakit yang sama sepertiku. Kalau tidak, berarti mereka TIDAK NORMAL! Kalau me-mang benar adanya, bahwa hanya aku saja yang nor-mal, artinya aku tidak ada saingan dan ini benar-be-nar keterlaluan! Wajahnya terlalu cantik untuk ku-pandangi selama tiga detik. Aku tak sanggup berla-ma-lama. Rasanya virus itu menyebar secara brutal ke dalam hatiku. Tuhan, tolong aku!
Sudah satu bulan sejak kuputuskan untuk berang-kat pagi, masih dalam keadaan yang sama, tanpa ha-sil dan aku hanya bisa curhat dengan sahabatku sam-pai dia bosan dan memutuskan untuk pindah kerja ke luar kota. Hanya demi menghindariku dari curhatan yang tak berkesudahan. Virus ini benar-benar konyol dan membuat orang bertindak konyol, tak terkecuali bagi orang-orang sekitar yang terjangkit.
Berkali-kali aku berjanji pada diriku sendiri agar berubah menjadi lelaki pemberani. Berkali-kali pula aku mengingkarinya. Dulu aku memang lelaki pem-berani! Aku berani bersumpah! Sudah berapa gadis yang terjerat oleh cinta bohongku. Namun ini berbe-da. Pesona Cleopatranya terlalu kuat bersemayam da-lam dirinya. Ataukah ini sebuah kutukan dari mere-ka-mereka yang pernah aku sakiti sehingga perihal yang buruk akhirnya terjadi juga padaku. Jika mereka mengetahuinya, aku yakin mereka akan tertawa puas dan berpesta kemenangan atas kepecundanganku saat ini. atau mungkin, ini kutukan halte yang tak kuketa-hui sebelumnya, karena waktu itu aku menunggu di halte ini untuk pertama kalinya dan saat itulah aku bertemu dengannya.
OOO
WAKTU ITU HUJAN LEBAT. MASIH PAGI, DAN SEPERTI biasa aku dengan segala tekad yang bulat masih men-cari siapa namanya. Deasykah? Monakah? Andien-kah? Atau siapa pun dia aku benar-benar ingin mengetahui namanya. Entah untuk apa. Mungkin agar aku senang dan terobati kerinduanku setiap ma-lam yang digeluti rasa penasaran. Paling tidak, di su-atu saat nanti, jika aku bertemu dengannya di sebuah mall, pinggir jalan, atau di kantorku—ini benar-benar mukjizat, aku akan menyapanya! Memanggil nama-nya! Bukankah itu luar biasa?
Dia berdiri cemas di depanku, kemudian duduk di sampingku untuk mengurangi cemas yang berle-bihan itu. Ingin rasanya aku bertanya ada apakah ge-rangan yang terjadi pada dirinya sehingga membuat-nya secemas itu. Namun, lidahku kelu. Aku tak sang-gup bekata. Dan lagi, aku kembali dihinggapi grogi yang luar biasa, pasalnya aroma parfumnya begitu menyengat dan membuaiku. Buru-buru aku mengelu-arkan sesuatu dari tas kerjaku, apa pun itu yang pen-ting bisa mengobati salah tingkah akut yang tak kun-jung sembuh.
Aku mengeluarkan sebuah novel yang kubeli ke-marin sore di toko buku langgananku, sebab aku bo-san dengan caraku memencet tombol hape yang ku-anggap cara yang basi untuk menghilangkan salah tingkah. Aku membaca halaman pertama, berlang-sung selama satu menit dengan pandangan pada ali-nia pertama. Tak selesai karena pikiranku tertuju pada gadis di sampingku. Sesekali aku tetap melirik-nya, ingin tahu apa yang sedang dilakukannya. Seper-ti biasa, ber-sms dan tersenyum-senyum tanpa mem-pedulikan sekitarnya.
Aku berdehem. Ini bukan kesengajaan. Ada gatal di tenggorokanku. Dia menoleh ke arahku dan ter-senyum untuk yang pertama kalinya. Senyum itu un-tukku! Rasa percaya diriku mulai tumbuh, ada ke-mungkinan di detik-detik berikutnya aku berubah menjadi aku yang dulu, pemberani dan tangguh serta tak terkalahkan dalam mendekati seorang gadis. Ah, tetap saja pada detik berikutnya lidahku kelu. Ya Tuhan, aku mohon kuatkan lidahku untuk mengucap-kan sepatah kata pembuka untuk selanjutnya menjadi sebuah perkenalan. Aku mohon.
“Kamu suka baca Tere-Liye juga?”
Aku terkaget-kaget oleh suara itu, suara yang sangat merdu dan baru pertama kali ini aku dengar. Gadis itu mengajakku bicara! Oh, mimpi apa aku semalam. Ini sebuah mukjizat yang tak akan pernah aku lupakan. Ini hari bersejarah yang akan tercatat dalam buku kehidupanku.
“Suka. Favoritku malah,” jawabku berbohong. Se-ingatku, aku membeli karena judulnya bagus dan se-pertinya menarik untuk dibaca dalam kesendirian. ‘Daun yang Jatuh tak Pernah Membenci Angin” begi-tulah kira-kira judul novelnya. Entah bagaimana kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa aku sadari, ter-nyata naluri playboy-ku memang tak pernah padam.
“Novel itu menceritakan tentang cinta yang tak sampai,” lanjutnya.
DUG DUG DUG. Jantungku berdetak kencang. Dia seperti sedang menebak apa yang terjadi padaku. Cintaku memang tak tersampaikan saat ini. Untuk mengetahui namanya saja butuh waktu yang sangat panjang.
“Iya,” aku hanya bisa mengatakan kata itu. kata terbodoh yang pernah kuucapkan. Seharusnya aku bilang saja dengan kalimat yang agak panjang seper-ti: Oh ya? Aku jadi semakin penasaran isi novel ini. dari awal saja sudah membuatku tak ingin berhenti membacanya.
“Oh ya, namaku Leonita.”
Bodohnya aku. Ternyata gadis ini lebih jantan da-ripada aku. Dia mengenalkan namanya terlebih dulu. Ah, aku bingung harus diletakkan di mana mukaku ini?
“Dirra,” aku berusaha menguasai diri dengan la-gak dingin. Konon hal seperti ini dapat membuat wa-nita menjadi penasaran. Aduh! Ngelunjak sekali aku ini.
“Kerja di mana? Aku sering melihatmu menunggu di sini. Dan kita selalu duduk bersebelahan,” katanya tersenyum.
Oh, Tuhan. Betapa bahagia dan ge-er aku saat ini. dia ternyata memperhatikanku. Ternyata dia sadar akan keberadaanku di dunia ini. Terima kasih Tuhan, Kau telah memberikan jalan. Akhirnya kesempatan itu datang juga padaku.
“Aku kerja di sebuah bank di daerah Thamrin,” ja-wabku tanpa melanjutkan kalimat itu dengan perta-nyaan. Benar-benar lelaki bodoh yang menyia-nyia-kan bertanya sebanyak-banyaknya.
“Aku juga sama. Aku bekerja di dekat situ,” kata-nya antusias.
“Benarkan? Tapi aku tidak pernah bertemu den-ganmu? Dan kita juga tidak pernah satu bus.”
“Tentu saja pernah. Aku melihatmu sedang berja-lan menuju halte sewaktu pulang kerja. Juga di se-buah pusat perbelanjaan di Mangga Dua. Kalau tidak salah, kamu sedang memilih laptop. Tidak tahu kamu jadi beli atau tidak. Sepertinya tidak.”
Aku tak menyangka dia sedetail itu memperhati-kan. Oh, ini benar-benar hari yang sangat indah.
“Benar sekali. Aku tidak jadi beli, sebab harganya tidak sesuai dengan yang aku inginkan.”
“Terlihat jelas dari raut wajahmu.”
“Tetapi mengapa aku tidak pernah melihatmu?”
“Tentu saja tidak akan pernah. Karena kamu tidak memperhatikan apa yang ada di sekitarmu.”
Bahkan dia tahu bagaimana dengan kebiasanku. Dia sangat tepat sekali menebaknya. Aku tersenyum lebar. Tak ada lagi rasa kecamuk yang membelenggu. Pokoknya aku benar-benar sedang dibuai oleh Leo-nita! Apakah dia sedang menggodaku? Cinta oh cin-ta, akhirnya malaikat pemanah cinta itu datang juga. Aku ingin dipanah!
Hujan pun berhenti. Aku melihat arlojiku, masih pagi tapi rencana ini harus kujalankan. Tak lama ke-mudian bus yang biasa kunaiki tiba di halte dan orang-orangpun bergegas berebutan kursi. Kecuali dia, seperti biasa tetap duduk di sana.
Aku sengaja meninggalkan novel itu yang sebe-lumnya dan memang sudah ada nomor telepon serta alamatku pada lembar akhir—kebiasaan saat membe-li buku baru—dengan maksud agar dia mengambil-nya dan kemudian menghubungiku dengan nomor teleponnya atau langsung mengantar ke rumahku. Se-tidaknya nanti aku akan memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya jika adegan yang kuinginkan itu terjadi.
Aku mengikuti kerumunan orang yang sedang berebut naik ke bus. Leonita memanggilku namun tak kugubris seolah-olah tak mendengarnya. padahal teri-akannya begitu jelas di telingaku. Ini sebuah taktik!
Tapi apa yang terjadi kemudian? Seorang lelaki berpakaian rapi turun dari sebuah mobil sedan disam-but Leonita. Lelaki itu mencium keningnya yang di-sambut lengkung senyum yang manis itu. Mereka masuk ke dalam mobil kemudian melaju mening-galkan bus yang kutumpangi yang tak kunjung jalan.
Di kursi halte, masih tergeletak manis novel yang berjasa menjawab rasa penasaranku. Tak lama dari-pada itu, diambil oleh seorang pemulung yang lewat. Dan bus kemudian melaju mengantarku ke kantor. Sama seperti biasa. Seperti hari-hari lainnya.
OOO

0 komentar: