KEMARAHANKU KEPADA
AYAH SUDAH TAK BISA dibendung lagi. Apa
yang dia katakan dan apapun pe-rintahnya tak pernah kudengar lagi. Apalagi
nasehat-nya yang kuanggap sebagai angin lalu saja. Tentunya ada alasan kuat aku
bertindak begitu. Sekejam itu. Tentunya kalian juga akan mengecam diriku sebagai
anak yang tak tahu diri, durhaka, tak tahu malu, ku-rang ajar, bandel, jahanam
dan kata-kata buruk lain-nya. Silakan bilang saja apa pun yang ada di pikiran
kalian. Dan yakinlah padaku bahwa sesungguhnya dia mengekangku untuk maju.
Perkara itu dimulai
pada saat hujan rintik yang masih hangat. Langit yang masih biru dan sinar ma-tahari
masih silau dengan aktivitas yang masih saja monoton setiap hari. Di hari-hari
yang menurutku sa-ngat pantas jika disebut hari yang paling bahagia se-panjang
hidup. Aku baru saja di wisuda dengan pre-dikat terbaik.
Dia pendiam dan juga
pemalu. Tak banyak bicara seperti ayah-ayah lainnya yang begitu bangga kepada
anaknya yang mendapatkan predikat kedua dengan nilai kumulatif yang berbeda
jauh dariku. Aku yang terbaik saat itu dan senyum ayah hanya segelintir. Tipis,
hambar dan tak bernyawa.
Padahal kabar baik
lainnya adalah bahwa aku akan diterima bekerja oleh perusahaan perbankan
ternama di negeri ini. Hanya saja berstatus kontrak, tetapi ada kemungkinan
untuk bekerja tetap. Hal tersebut yang menjadi salah satu alasan
ketidaksetujuan ayahku. Status pekerja kontrak hanya akan membunuhmu di
kemudian hari, katanya. Lalu kubalas pernyataan itu dengan senyum manis,
awalnya, bahwa dengan ki-nerja yang terbaik dari kita malah akan sebaliknya.
“Pokoknya ayah tidak
setuju,” ini kalimat ayah yang pertama kali menusukku. Ayah yang kukenal adalah
ayah yang selalu memberiku kebebasan. Tapi kali ini entah mengapa ayah seperti
ayah yang otori-ter.
“Akan kubuktikan bahwa
aku benar!” aku sete-ngah berteriak. Padahal aroma wisuda yang menye-nangkan
itu belum juga hilang, kini dinodai dengan pertengkaran kami. Ibu hanya
menangis tanpa bisa memihak salah satu dari kami. Aku prihatin, tapi ke-ras
kepalaku lebih ingin menang. “Kalaupun aku ga-gal di dunia kerja maka aku akan
membuka usaha. Ini mimpiku ayah. Mimpiku sejak lama. Ini sudah aku rencanakan
sejak dulu sebagai jalan keluar dari ke-miskinan kita yang tak pernah berakhir.
Aku sudah bosan mendengar ayah dihina sebagai orang miskin. Lagi pula aku tidak
suka dengan kehidupan kita yang hanya begini-begini saja. Monoton.”
Sungguh menyakitkan
mendengarnya. Kalimat yang aku lontarkan membuat ayah terdiam. Dia tak bisa
berkata apa-apa lagi. Ayah bekerja sebagai seo-rang pegawai negeri sipil yang bergaji
kecil dan su-dah lupa kapan terakhir kali dia naik pangkat. Dan yang lebih
menyedihkan lagi, sebentar lagi dia pen-siun. Ibuku? Tak banyak cerita
tentangnya. Hanya ibu rumah tangga biasa yang menyayangi anak-anak-nya,
menurut, penyabar dan selalu mendahulukan uang jajan anaknya dibandingkan
dengan baju leba-ran baru untuknya.
Dia mengalah dan aku
menjadi apa yang aku inginkan. Aku bekerja dengan giat seperti apa yang aku
janjikan pada ayah bahwa aku akan menjadi yang terbaik di perusahaan dan akan kembali
memngang-katnya ke permukaan. Pada akhirnya nanti dia akan bangga padaku dan
merasa tak sia-sia telah membe-sarkanku dengan segala kebebasan yang dia
berikan.
Di waktu-waktu
berikutnya ayah masih saja mem-berikanku penawaran agar ingin menjadi seorang
pe-gawai negeri sepertinya. Seperi biasa aku menolak-nya dengan berbagai cara:
halus, mengalihkan pembi-caraan dan kasar. Dia tidak menyerah. Dia masih
menginginkanku untuk menjadi pegawai negeri di sa-na, entah untuk berapa lama
lagi keinginannya itu menggebu. Sedangkan aku sudah betah hidup di Jakarta
dengan segala kemewahan yang kudapatkan.
Seperti yang aku
rencanakan bahwa aku juga akan memulai usaha, sebagai sampingan awalnya yang ke-mudian
menjadi prioritasku di masa depan. Jakarta memang menawarkan kemewahan yang
semakin membuatku betah. Pilihanku tepat. Inilah jalan hidup-ku. Aku pun mulai
memikirkan soal percintaan, hal yang sangat tabu untuk dibahas pada episode
kehi-dupanku sebelumnya.
Mengapa aku tidak
pernah lagi ingin membahas-nya pada waktu itu? Karena masa lalu tersebut dipe-nuhi
dengan kata gagal, kata yang paling aku benci. Sehingga pada suatu waktu aku
berjanji untuk tidak mengenal cinta lagi meskipun kala itu, setelah kega-galan
yang memenuhi kehidupan cintaku, banyak se-kali berdatangan tawaran untuk
menjalin cinta. Bu-kannya aku sombong, karena kupikir hidup sukses terlebih
dahulu itu lebih penting daripada menjalin cinta yang tidak serius dengan
alih-alih agar menam-bah semangat untuk berjuang. Ah, sama sekali tidak
membantu.
Atau mungkin, setelah
kupikir benar-benar dalam perenungan malam keberhasilanku memikat kekasih-ku,
bahwa aku tidak ingin mengenal cinta karena aku sudah putus asa. Aku sakit hati
dan berniat balas den-dam kepada wanita-wanita yang menyebabkan patah hati
kronis itu, kutunjukkan dengan cara cerdas pem-balasan itu dengan membuat
mereka semua menyesal sudah mencampakkanku dan membuatku menjadi se-demikian
hinanya.
Entahlah dengan semua
itu. Yang terjelas dalam hidupku adalah menyingkirkan jurang kesederhanaan yang
menjadi bahan tertawaan semua orang di sekitarku. Kupikir tak ada yang salah
dengan apa yang aku lakukan. Toh, sejatinya aku memang mela-kukan sesuai dengan
keinginanku dan demi keluarga-ku.
Di tahun-tahun
berikutnya, ayah tidak menawariku lagi karena aku sudah mengatakan padanya
bahwa aku sudah memiliki karir yang mantap di sini. Aku sudah berpindah kerja
disebuah perusahaan dengan jabatan yang tinggi, meskipun pada akhirnya bukan
atas prestasiku terhadap meraih karir, ini karena bantuan dari kekasihku,
Diana. Dia mengelola salah satu perusahaan manufaktur milik Ayahnya. Aku?
Ditunjuk sebagai asistennya dan nyaris diangkat menjadi direkturnya. Ah,
seperti mimpi saja. Dan se-karang aku juga sedang merencanakan membangun sebuah
perusahaan, tidak besar, di bidang agribisnis di kawasan puncak Bogor. Rasa-rasanya
kehidupan-ku sedang di atas angin sekarang. Akhirnya aku berhasil meng-atas-kan
kehidupanku. Semakin ter-pandang dan diakui oleh semua orang sebagai seo-rang
yang hebat di muka bumi.
Diana, seorang wanita
yang sangat cantik—mim-piku terkabulkan—serta pintar dan membanggakan. Dia
wanita sempurna dimataku. Hanya saja aku bi-ngung bagaimana cara mengenalkannya
ke ayahku. Sudah tentu kami sesungguhnya bagaikan langit dan bumi. Tapi,
sebagai seorang anak yang baik, aku ha-rus meminta restu kepada orang tuaku dan
tentu saja saling mengenalkan kedua orang tua kami. Memang sempat terpikirkan
olehku kalau-kalau nantinya, keti-ka orang tua calon isteriku atau bahkan calon
isteriku sendiri melihat keadaan kami yang sebenarnya di kampung, mereka akan
berubah pikiran. Kegagalan dalam menjalin kasih—terutama ini lebih penting ka-rena
merupakan hal yang sangat serius—akan mam-pir lagi di kehidupanku. Ah,
sepertinya aku terlalu banyak menonton sinetron.
Sebetulnya ayahku tahu
soal ini, perihal aku ingin menikah. Hanya saja dia tidak menyuruhku untuk harus
membawa calon isteriku itu ke sana. Terserah aku saja mau dibawa atau tidak.
Dia dan ibu tetap merestui. Memang ada sedikit pertanyaan dalam hati-ku mengapa
kabar gembira ini tidak begitu mendapat respon yang antusias? Atau mungkin ayah
sadar bah-wa wanita yang akan kubawa nantinya bukanlah wanita sambarangan yang
berasal dari keluaga sam-barangan pula. Untuk itu dia tidak terlalu memaksa
untuk dikenalkan. Maklumlah, sudah kubilang sejak awal bahwa ayah adalah
seorang yang pendiam dan juga pemalu.
Pada suatu malam aku
mencoba berbincang mengenai keadaan orang tuaku agar nantinya dia tidak
terkejut.
“Aku tidak peduli kamu
berasal dari keluarga yang seperti apa Fer. Aku mencintaimu. Tulus dan bukan
karena kedudukan, harta, tak ada gunanya semua itu,” Diana mencoba
meyakinkanku. Dan memang hilang sedikit keraguan akan hal itu.
“Lalu orang tuamu?”
8 komentar:
nagis baca ini...
ah masa iy?
Rinoooo....huaaaaa sedih...ternyata gw tak cukup baik jd temen curhat lo no,, baru tau pas baca ini..SEMANGAT YAHH moga bisnisnya lancar
anonim siapa ya? hehe...iy nih jg lg semangat...wkwkwk
keep writing, bro
yoha..thanks...btw makasih udah baca...
ah masa iyah dah 10 tahun.. eta mah lagu om jhony meureun " la lebe 10 taun, dirik gi ngerantau, ninggalkan kampong alaman kenegeri urang"
didramatisir sikit hahaha....
Posting Komentar