Berita (7) Buku Saya (3) Cerpen (31) Download Novel (2) lain-lain (1) Musik (7) Puisi (39)

Translate

Kamis, 05 April 2012

The Raid


Seperti biasa aku lebih memilih menonton film di bioskop sendirian. Lebih bebas dan bisa nyelip, itu yang penting. Waktu itu, The Raid termasuk film yang ramai dibicarakan, termasuk aku yang membicarakannya bersama dinding-dinding yang membisu, sehingga membuat rasa penasaran ini memuncak sampai ke ubun-ubun. Hal tersebut membuat rasional menjadi hilang. Aku datang jam sepuluh tepat saat sekuriti sedang bersiap-siap bertugas—dia sedang memperbaiki sisiran rambutnya saat itu.

Nanti penontonnya pasti berjubel. Tapi semua itu tak masalah karena aku sudah datang di awal-awal—dua jam sebelum bioskop buka—dan aku datang sendiri sehingga tak perlu takut jika sewaktu-waktu aku lupa tujuanku yang sebenarnya nanti adalah nonton The Raid. Maklumlah, baju-celana-jaket-sepatu diskon 75% bisa membuat kalap siapa saja. Kalau ternyata nanti aku sampai lupa waktu dengan kekalapan yang sudah tak tertolong, dan menyebabkan aku terlambat memesan karcis, dan bangku-bangku strategis sudah terpenuhi dengan pasangan-pasangan baru jadian, datang sendiri adalah pilihan yang sangat tepat. Aku bisa nyelip di antara mereka. Namun, itulah awal mula penderitaan batin yang membuat siapa saja ingin memberi uang receh melihat wajahku yang memelas.

Tibalah saatnya aku memesan tiket. Benar saja, diskon besar-besaran yang kutemukan membuatku kalap—hanya kalap melihat-lihat harga yang murah tanpa membeli. Studio satu sudah ramai penonton. Hanya tinggal satu saja bangku yang strategis. Tepat berada di tengah-tengah. Apa aku bilang tadi. Itulah salah satu bentuk kecerdasanku dibalik kemirisan hidupku yang hanya mampu nonton film bioskop sendiri—tanpa pasangan.

Dilanjutkan ke perjalanan yang begitu berat menuju bangku-bangku berwarna merah menghadap layar seluas ratusan kertas A4. Seharusnya aku senang karena akhirnya bisa menonton The Raid yang sudah aku tunggu berbulan-bulan lamanya. Kegalauanku semakin menjadi ketika melihat sepasang kekasih yang berpegangan tangan. Gadisnya berkata:

“Sayang, ini kan film action yang katanya horor. Nanti kalau aku ketakutan gimana? Lalu tiba-tiba penjahat di film itu keluar dan mengejar-ngejar aku?”

Sang lelakinya berkata:

“Aku juga sebetulnya takut menonton film beginian sayang. Tapi, kita kan bisa saling berpelukan buat menghilangkan ketakutan kita berdua.”

“Oh, sayang. Aku jadi makin cinta sama kamu.”

Maksud lo? Terus? Aku berpelukan dengan siapa? Pegangan kursi? Angin? Please decxh tolongin gue! Aku mencakar-cakar dinding bioskop.

Tapi semua itu risiko yang harus ditanggung oleh pejantan tangguh sepertku.

Terserah mereka!

Tolong ya! Mereka semua pengecut! Beraninya menonton berduaan. Aku dong! Berani! Berani tiada tara. Hiks hiks hiks. Tapi aku juga ingin nonton berduaaaan! Please! Argh! Siapa saja bantu aku! Aku sesak nafas. Tolong beri nafas buatan. Uhuk! Uhuk!—sambil memegang leher dengan kedua tangan di depan layar.

Tepuk tangan! Prok! Prok! Prok! Tolong dibantu ya.

Sst! Sudah bercandanya. Duduk dulu sana…!

Aku duduk di tengah-tengah, di antara muda-mudi yang sedang dimabuk cinta, pamer kemesraan di depan kiri kanan belakangku. Rasanya ingin bunuh diri saja. Terus lari ke hutan kemudian teriakku, bergelantungan bersama-monyet-monyet kesepian. Atau menapaki perjalanan bersama tikus-tikus got dan mengorek-ngorek sampah bersama kucing liar. Ah, hidup ini terasa hampa. Aku terjebak di haparan orang pacaran yang menonton film action yang menyeramkan.

Film dimulai dengan adegan sholat subuh yang di lakukan oleh tokoh utama pria diiringi alunan musik latar yang damatis. Kemudian beralih ke adegan sang pria menghampiri isterinya yang sedang tidur. Isterinya terbangun. Kira-kira begini dialognya:

“Jam berapa sayang?” Tanya sang isteri.

“Sudahlah kamu tidur aja lagi.”

“Tapi aku minta dibangunin.”

Sang pria, suaminya tersebut mencium kening isterinya.

“Aku cinta kamu,” kata sang isteri kemudian.

“Aku juga cinta kamu,” kata sang suami. “Aku akan pulang hari ini.”

Lalu konsentrasiku pada adegan tersebut buyar seketika karena pasangan di sebelah kiriku.

“Sayang, mau dong adegan kayak gitu,” kata gadis di sebelah gue.

“Iya sayang. Kamu duluan deh,” kekasihnya meladeni.

“Aku cinta kamu.”

“Aku juga cinta kamu.”

“Deuh…ceneng ceneng cenengnyaaa (senang senang senangnya).”

GUBRAK! Dudukku merosot ke lantai.

“Ada apa mas?” Tanya lelaki yang duduk di sebelah kanan gue.

“Nggak apa-apa mas. Cuma syok aja.”

Adegan mulai menegang ketika di dalam mobil para pasukan khusus sedang rapat untuk menyerang apartemen yang isinya penjahat kelas kakap. Tujuan mereka adalah lantai paling atas tempat kediaman pemimpin penjahat. Pemimpin pasukan khusus tersebut memerintahkan agar anak buahnya memeriksa senjata mereka, kemudian berkata:

“Saya tidak ingin ada bangku kosong satupun saat kita pulang nanti.”

Dan tiba-tiba di depanku ada suara berisik. Mereka memperdebatkan aktornya.

“Aduh itu pemimpin pasukannya ganteng banget. Itu Daniel Mananta bukan sih? Kok mirip. Tapi yang ini lebih ganteng deh,” kata dua biji kaum hawa yang duduk di depan gue dengan suara agak keras dan menyebalkan lubuk hati.

“Masih gantengan Daniel Mananta kali.”

“Ih, ganteng apaan. Masih gantengan ini kali.”

“Daniel!”

“Ini.”

“Nggak! Daniel!”

Aku geram mendengarnya. “Sst! Di mana-mana juga masih gantengan saya Mbak!”

Giliran dua biji mbak-mbak yang duduknya merosot.

Pasukan khusus tiba di lokasi penyerangan. Di sana seorang pria berambut putih sudah menunggu. Ternyata dia adalah seorang letnan yang memiliki misi ini.

“Duh, itu siapa sih. Lupa. Main di sinetron apa ya?”

“Cinta Fitri? Iya Cinta Fitri.”

“Ih bukan deh.”

“Putri Yang Ditukar kalo nggak salah.”

“Bukan. Bukan. Panji Tengkorak!”

“Iya kali ya?”

“Apa Tutur Tinular versi 2012 ya?”

“Aduh bingung deh. Beneran lupa. Suer!”

Sebaiknya aku garuk-garuk kepala saja ah!

Kemudian tiba-tiba saja suasana menjadi nanar. Lima lelaki yang entah apa dosanya ditodong di kepala oleh pemimpin penjahat dengan pistol dari jarak dekat.

DOR! Darah muncrat. Satu mati.

“AW!” Gadis di sebelahku teriak.

DOR! Lagi. Muncrat juga dan seterusnya sampai empat. Gadis di sebelahku teriak dengan intonasi, nada, pitch control, ekspresi yang sama dengan teriakan pertama.

Lelaki yang kelima sudah pasrah. Peluru habis. Pistol diletakkan di bahu lelaki itu oleh sang pemimpin penjahat yang mencari senjata lain untuk menghabisi yang terakhir. Tanggung pikirnya. Di laci meja bukan peluru yang diambilnya, melainkan palu. Pemimpin penjahat itu memukul yang terakhir.

“AW! AW!” Aku berteriak. Gadis di sebelahku juga berteriak. Kami berteriak bersama-sama. Dia berpelukan dengan kekasihnya. Aku memejamkan mata sambil berpelukan dengan pegangan kursi. Sedih. Ingin pulang. Cuci kaki. Tarik selimut. Tidur. Mimpi di kejar anjing. Masuk got. Nangis-nangis. Bunuh diri. Modar. Masuk neraka.

Sepanjang sangat film menegangkan. Aku tak jauh-jauh dari pegangan kursi. Seharusnya aku membeli pop corn agar ketika ada adegan menyeramkan yang membuatku terkejut, ada yang bisa aku masukkan ke dalam mulut. Dengan begitu aku tidak berteriak, melainkan melampiaskan kekagetan dengan mengunyah-ngunyah pop corn. Paling tidak itu sebagai variasi selain berpegangan pada pegangan kursi.

Semua itu hanya seandainya. Seandainya saja tidak ada kata seandainya mungkin dunia ini tidak dibayang-bayangi harapan yang berlebihan. Oh lebih menyedihkan lagi dengan harapanku seandainya aku membeli pop corn. Betapa mimpi yang aku miliki itu terlalu rendah. Orang-orang bermimpi seandainya ada pacar di sampingnya. Ini? Seandainya ada pop corn menemaniku menonton bioskop. Hal tersebut sebetulnya sudah memperlihatkan betapa menyedihkannya hidupku. Seharusnya semua orang prihatin kepadaku. Aku ini makhluk Tuhan paling terkasihan, meskipun memiliki hidung yang mancung dan rambut Andy Lau. Tapi, semua itu tak ada artinya jika aku di sini menggigit jari ketika adegan film kembali tegang. Urat sarafku ikut menegang. Aku menegang sendirian tanpa ada yang peduli padaku yang sedang tersiksa dalam ketegangan. Hanya ‘itu’ ku saja yang mengkerut.

Tapi aku bersyukur karena aku tidak lebai seperti mereka. Mereka-mereka yang ada di sekelilingku ini anak alay. Aku tidak habis pikir ketika penjahat di film itu menusuk-nusuk golok ke dinding triplek saat sang tokoh utama bersembunyi di baliknya. Anak alay di belakangku bilang ini itulah.

“Duh kena deh pipinya.”

“Sakit nggak ya?”

“Kenapa sih tokoh utamanya harus kena parang?”

“Duh jahat banget sih tuh orang.”

Dan yang lebih parah lagi ketika tokoh utamanya tidak berkutik melawan kaki tangan penjahat utama yang tidak mati-mati.

“Duh gue boleh ke sana nggak ya. Kasihan tuh tokoh utamanya udah capek gitu. Sutradaranya nggak mikir lagi. Coba aja dia yang melawan penjahat kumisan itu. Gue jadi pengen cabutin tuh kumis penjahatnya. Gemes gue liatnya nggak mati-mati.”

“Duh, tokoh utamanya keringetan. Boleh nggak ya masuk ke sana buat ngelapin keringetnya.”

Di sebelah kiri:

“Sayang, genggam tanganku. Aku cinta kamu.”

“Aku juga cinta kamu.”

Apa coba hubungan dialog mereka dengan adegan di film? Di saat semua orang mengomentari dengan cara alaynya sendiri-sendiri. Orang pacaran di sebelahku bisa-bisanya berdialog yang melenceng dari tema yang seharusnya. Kucabut juga nih dua lembar bulu ketiak, terus kutempel di hidung mereka. Bonus dua biji upil segar!

Tanpa ada rasa malu lagi, orang pacaran di sebelahku main cubit-cubitan pipi. Dan gadisnya itu kegirangan seperti menang judi gaple. Padahal lelakinya itu suka main perempuan. Dia itu playboy! Aku pernah melihat dia bersama seorang gadis di pangkalan ojeg. Lelaki itu dipanggil oleh seorang gadis, ah bukan! Ibu-ibu! Katanya, Bang ke pasar Bogor ongkosnya berapa?

Cukup! Aku muak dengan semua ini! Mengapa hanya aku yang menderita begini. Mengapa hanya aku yang tak bisa menikmati kerennya film The Raid? Aku seperti dikejar-kejar oleh kawanan pembantai. Sekuat tenaga, sampai kelelahan, aku bagaikan Iko Uwais—pemeran utama film itu—yang diserang bertubi-tubi. Ya, aku diserang oleh godaan-godaan pembuat galau di kiri kanan depan belakangku. Dan tolong kalian jangan protes jikalau aku bilang diriku bagaikan Iko Uwais. Please, sekali ini saja. Lain kali aku tak akan mengulanginya lagi. Ini demi mengusir rasa rinduku padanya yang tak mau diajak nonton olehku. Tadinya rencanaku akan terhibur oleh film ini, tapi ternyata semuanya berbeda. Ketika adegan Iko Uwais teringat akan isterinya yang sedang menunggunya, aku juga ikut teringat akan dirinya. Tidak, dia tidak sedang hamil dan menungguku seperti isteri Iko Uwais di film itu. Mungkin sekarang dia sedang bersenang-senang di kostannya. Entah nonton DVD sambil makan cokelat atau nonton DVD sambil makan kwaci. Yang jelas, dia pasti sedang bersnang-senang.

Kalau ingat peristiwa kemarin, sangat memalukan. Dia menolak ajakanku mentah-mentah. Lebih menyakitkan lagi dia bilang, “apa? Nonton sama kamu? Nggak la yaw!”

Pas lagi teman-temanku sedang lewat kosannya, juga teman-teman dia. Mereka semua menertawakanku. Aku jadi malu, menutup muka dan berlari ke balik pot bunga meraung-raung.

Sedih. Hatiku sedih jika mengingat peristiwa itu. dan sebetulnya itulah sebabnya mengapa aku bisa terdampar di tengah-tengah pasangan-pasangan lebai ini. Aku terpaksa menonton sendirian karena tak ada wanita yang ingin diajak nonton. Mengajak teman laki-laki? No! Aku tidak mau dikira homo! Kecuali gratis dua kali nonton. No problem.

Beberapa saat kemudian setelah kegalauanku mulai mereda. Filmnya berakhir dengan skor seratus kosong buat Iko Uwais. Film diakhiri dengan adegan keluar gerbang rusun penjahat dan tulisan THE RAID. Lampu bioskop menyala.

“Mas kok nangis? Filmnya sedih ya?” Tanya lelaki yang duduk di sebelah kananku.

“Nangis? Nggak. Aku Nggak nangis.”

“Itu pipinya basah.”

“Apa!”

Memalukan sekali. Air mata keluar di saat yang tidak tepat. Ini film action. Mengapa air mataku bisa keluar? Oh sungguh memalukan. Sepertinya urat sarafku sudah harus diganti dengan yang baru.

Tapi kok tidak basah? Aku berkali-kali mengusap pipiku. Kering.

“April mop!” teriaknya sambil menirukan gaya Cherrybelle.

Sial. Umpatku dalam hati.

“April mop masih beberapa hari lagi Mas,” aku menggerutu.

“Hehe...” dia tertawa sambil berjalan dengan gemulai dan tangan melambai.

Jadi? Di sebelahku tadi? Makhluk hermaproditkah?

Kacau! Hari ini kacau! Aku semakin dibuat gila oleh cinta. Efeknya sedasyat tsunami di Aceh bahkan lebih parah dari badai matahari.

Aku berdiri setelah ruangan ini kosong. Hanya aku dan…

“Markonah Muslimah binti Dadang Suradang Adiwangsa Maulana Solihin? Kok ada di sini?” aku terkaget-kaget dengan apa yang kulihat. Dia cintaku, pujaan hatiku, bidadariku, ratu sejagatku!

“Kang Usep?”

“Sudahlah,” aku pergi meninggalkannya begitu saja.

“Kang! Kang! Markonah bisa jelasin ini semua.”

“Sudahlah Markonah! Aku tak butuh penjelasanmu!”

“Kang! Please Kang!”

“Pergi kau Markonah!”

“Tidak Kang!”

“Pergi!”

“Tidak!”

Mas-mas sekuriti dan Mbak-mbak penyobek karcis melongo dengan mulut membentuk huruf ‘O’ dengan mata membesar seperti kelereng ukuran besar.

Lalu tiba-tiba:

“AAA!” Markonah teriak.

Aku menoleh reflek ingin tahu mengapa dia berteriak.

“Markonah Muslimah!”

Dia terpeleset oleh kulit pisang—tolong jangan tanyakan mengapa ada kulit pisang di depan layar bioskop!

Aku langsung menyambutnya.

HAP! HAP! Langsung ditangkap!

Aku berhasil!

“Terima kasih Kang Usep. Kalau nggak ada Kang Usep mungkin hidupng Markonah bertambah pesek kena lantai.”

“Nggak perlu sungkan Markonah. Kang Usep akan selalu menjaga hidung Markonah.”

“Kang Usep.”

“Markonah.”

“Markonah cinta Kang Usep.”

“Kang Usep juga cinta Markonah.”

“Kita pelukan yuk Kang.”

“Hayu…”

Dibalik kegalauan akan datang kebahagiaan. Jadi tak perlu takut untuk menggalau. Karena galau itu menyehatkan badan.

“Mas. Mas Filmnya sudah habis Mas,” seseorang menepuk bahuku.

“Apa? Tertidur?”

“Itu air matanya keluar Mas. Habis nangis ya?”

Aku langsung memeriksa pipiku.

“April mop!”

OOO

2 komentar:

dewinta mengatakan...

kerennn abis sumpahhhhh !!!!!!!!
aku tunggu versi bukunya kak rino !!
yihaaaaa :D

Unknown mengatakan...

hoho...bener yaa...tp masih lama kayaknya versi buku...lg nyiapin novelet dlu...buku yg pertama udh keluar kok...hehe promo promoo