Menulusuri kota kala pagi mengingatkan pada kepedihan semalam di sebuah gang kecil menghadap kota mati, sebelah kaki-kaki pencakar langit
Di sana tak ada lagi tumbuhan yang menjalar pada pagar beton rumah orang termasyur, dia sudah mati kemarin tergigit malam bertaring jingga, tak layak kau lihat
Semua karena dia berlari terlalu cepat, serobot sana-sini menikam segalanya sampai mati. Akhirnya dia cepat mati disumpahi rumput yang tak tertoleransi.
Sejuk tinggal kata, dan panas menggagaskan pasir-pasir yang beterbangan. Luas. Tak terpandang lagi: aromanya seperti bau rumput yang kering—padahal sudah lama hilang
Di sini aku berdiri menyibakkan rambut untuk melihat lebih jelas, kalau bisa aku memancarkan sinar dan menerangi kota hidup yang tak bernyawa; semakin tak ada suara karena dingin, dingin dan beku: semuanya beku—orang-orang dan hewan seperti tak ada bedanya dengan pohon beringin yang renta, terbakar bakaran sampah dengan sedikit saja hijau
Ada angin kecil yang menyapu kakiku, suaranya sendu dan sedikit berair;seperti menangisi tanah di bawah berton-ton beton dan air comberan yang menjijikkan
Sekarang masih sepi, sedetik kemudian kuda besi tampakkan taring. Menakutkan dan suram. Di dalamnya hampir setan
Dalam setiap tapak, adalah kata-kata yang menggerogoti. Sebentar-sebentar berhenti, lalu berjalan. Sebentar ke depan, lalu menoleh ke belakang dan teringat corak masa lalu berkali-kali. diam. Kembali berjalan.
Meski tak berjalan, kuda besi tetap berjalan sampai malam kembali tiba. Pun awan berceceran setelahnya pada kilometer ratusan di ujung sana
Dan kita kembali berhenti menunggu pagi, jika tak ingin kelelawar bertaring merobek leher kita
Dan kau mesti waspada kalau-kalau beton-benton ini sampai pada waktu rubuhnya
Jangan sampai terhanyut jika tak ingin menelusuri kota kala pagi dengan senyum durja dan tak seorangpun mengindahkan
Jangan tergegas terlampau jauh
0 komentar:
Posting Komentar