Berita (7) Buku Saya (3) Cerpen (31) Download Novel (2) lain-lain (1) Musik (7) Puisi (39)

Translate

Selasa, 11 September 2012

Ternyata Baju Olahraga Tak Lantas Membuatku Tampan


Pagi itu jam setengah enam. Aku berteriak.
“Pokoknya tidak mau pakai!”
Aku membanting pintu. Padahal aku sudah memakainya: baju kaos olahragaku. Hari ini aku ada pelajaran olahraga.
Saat itu aku SMP, entah kelas berapa.
“Pakai saja dulu untuk hari ini.”
“Tidak mau!”
Aku malah melepaskan baju kaos olahragaku. Melemparkannya ke luar rumah.
Aku tahu, ayah ingin marah. Tapi sekuat tenaganya dia tahan.
“Nanti pesan yang baru,” kata ibu lagi. Dia di dapur, masih sambil memanaskan lauk pauk untuk sarapan kami. Ayah, memanaskan mesin sepeda motor.
“Kapan? Menunggu kelas tiga? Masih lama, Bu!” Seenaknya aku berteriak.
Satu menit ibu diam.
Kemudian, “mau bagaimana lagi.”
“Argh! Kenapa aku mendapat baju kaos jelek begini?”
Ibu tak berkomentar sama sekali. Aku mengusal di depan pintu. Duduk seperti anak kecil. Aku memang masih kecil.
“Nanti ibu bawa ke Bi Surti.”
“Kapan, Bu? Pagi ini juga! Hari ini Ardi ada pelajaran olahraga.”
Hening…
Pagi itu juga ibu membawa baju kaos olahragaku dibawa ke rumah Bi Surti untuk dijahit bagian kerah yang melar. Sedemikian rupa dijahit agar tak terlalu kelihatan melar.
“Ini, Nak. Sudah dijahit. Kerahnya sudah tidak terlalu lebar lagi.”
Aku tersenyum.
“Ayo sarapan,” ajaknya.
Aku menurut sambil melihat-lihat baju kaos olahragaku yang sepertinya sudah normal.
“Astagfirullah. Ibu lupa mengangkat nasi.”
Nasi kami hangus pagi itu. Kami sarapan tanpa nasi. Tidak. Bukan kami. Tapi aku. Aku tak ingin makan kerak nasi. Keras. Ayah dan ibu sarapan seperti biasa.
Pulang sekolah, aku kembali melempar baju kaos olahragaku ke luar rumah. Teriak, “Aku tidak ingin memakainya lagi!”

*


Minggu depannya.
“Pokoknya tidak mau pakai!”
Aku membanting pintu dan duduk meringkuk menghalangi ayahku yang bolak-balik keluar masuk rumah. Entah apa yang disibukkannya. Aku tak pernah tahu.
Ibu sedang memasak di dapur. Sayur bayam.
“Pakailah dulu untuk hari ini. Besok kerahnya dikecilkan lagi.”
“Tidak mau! Hari ini ada pelajaran olahraga!”
“Nanti sepulang sekolah ibu bawa ke Bi Surti lagi.”
“Harus sekarang!”
Masih jam setengah enam. Ibu pergi ke rumah Bi Surti membawa baju kaos olahragaku. Setengah jam kemudian dia datang.
“Ini baju olahragamu, Nak. Pakailah,” dia tersenyum.
Kali ini aku tak langsung memasukkannya ke dalam tasku. Aku memeriksanya setiap jengkal. Aku mengangguk. Bagus. Tidak terlalu lebar.
Aku berangkat ke sekolah dengan tenang dan gembira. Dan sarapan kami normal seperti biasa tanpa ada nasi kerak.
Tapi pulang sekolah aku kembali melemparnya keluar rumah. Teriak lagi, “aku tak ingin memakainya lagi!”

*

Dua minggu sebelumnya.
“Kamu kurus sekali Ardi,” gadis itu terkikik-kikik.
Gadis lainnya angkat suara bagai paduan suara. Sama sekali tak merdu. Mengenaskan!
“Ardi ceking.”
Prok prok prok!
“Ardi ceking.”
Prok prok prok!
Anak laki-laki juga ikut bergabung.
SEHARUSNYA OLOK-OLOKAN SEPERTI INI DILAKUKAN OLEH ANAK SD!
Aku sudah SMP!
Aku memang kurus. Kerah kaos oblong oleh raga itu membuat tulang bahuku kelihatan. Tulang rusukku juga tak mau kalah ingin unjuk rusuk. Saat aku melewati cermin. Mereka benar. Tubuhku terlihat tidak proporsional. Tak seperti lelaki lainnya yang memiliki tubuh besar dan bagus. Begitu seharusnya lelaki.
Aku baru menyadarinya setelah bertahun-tahun. Itupun saat gadis yang kusukai yang bilang. Terkikik-kikiknya itulah yang lebih menyakitkanku.
Artinya: bagaimana mungkin dia bisa suka padaku!

*

Ke mana baju kaos olahragaku? Hari ini aku ada pelajaran olahraga. Hilang ke mana? Kalau aku tidak memakai baju kaos olahraga saat pelajaran olahraga, aku akan dimarahi Pak Badrun.
“Ibu!”
Ibu tidak ada. Ayah sedang mengutak-atik sepeda motor.
“Ayah, Ibu di mana?”
“Di dapur.”
“Tidak ada Ayah.”
“Mungkin sedang mandi.”
“Tidak ada siapa-siapa di kamar mandi.”
“Di kamar.”
“Tidak ada Ayaaah.”
“Warung.”
Mungkin.
Aku duduk menunggu ibu di teras dengan melipat tangan di dada. Aku kesal. Ibu ke mana? Sudah jam tujuh kurang dua puluh menit.
Ibu datang beberapa saat kemudian.
“Ibu! Mana baju olahragaku?!”
Ibu mengatur nafas. Dia setengah berlari dai arah jalan raya.
“Ini, Nak,” ibu menyerahkan baju olahragaku.
“Ada apa dengan baju olahragaku?”
Bajuku robek dibagian kerah.
“Su… subuh tadi Ibu ke Bi Surti. Bi Surti sakit. Baju kaos olahragamu kerahnya belum dikecilkan.”
Ibu mengatur nafas. Sementara aku sungguh geram.
“Akhirnya Ibu coba untuk mengecilkannya sendiri. Tapi ibu salah menggunting karena teringat air yang ibu masak belum diangkat. Panci hangus karena airnya kering.”
“Ibu!” Aku membentak. “Bagaimana dengan pelajaran olahragaku hari ini?!”
“Barusan Ibu ke rumah guru olahragamu. Ibu meminta izin agar Ardi boleh memakai baju kaos lain khusus untuk olahraga hari ini.”
Rumah guru olahragaku memang tak jauh dari rumahku. Tapi kalau berlari, cukup melelahkan.
Aku membalikkan badan.
“Tapi Pak Badrun memberikan ibu kaos olahraga bekas anaknya. Sepertinya tak perlu lagi mengecilkan kerah.”
Aku membalikkan badan lagi, meraihnya dan memakainya.
Not bad.
Aku bergaya di depan cermin. Dan bersekolah dengan tenang selanjutnya.

*
Saat pelajaran olahraga, aku bisa dengan nyaman berolahraga. Baju kaos olahragaku sangat pas, membuatku merasa tampan. Aku semangat mengikuti pelajaran olahraga pagi itu.
Aku tak henti-hentinya memamerkannya pada gadis pujaanku itu dengan bolak-balik di depannya seraya bilang dalam hati:
Akhirnya kau terpesona padaku karena tulang belulangku tak menonjol lagi.
Tak henti-hentinya aku menebarkan pesona padanya hingga jam pelajaran olahraga berakhir. Namun…
JLEB!
Dia memberikan minum pada lelaki yang bertubuh besar dan proporsional itu sambil tertawa renyah di depanku.

*

“Ibuuuuuu!”
Aku memeluk ibu.
Dia mengusap rambutku. Aku tertidur di pangkuannya sampai pagi.

-rr-

0 komentar: