Pagi itu jam
setengah enam. Aku berteriak.
“Pokoknya tidak
mau pakai!”
Aku membanting
pintu. Padahal aku sudah memakainya: baju kaos olahragaku. Hari ini aku ada
pelajaran olahraga.
Saat itu aku
SMP, entah kelas berapa.
“Pakai saja
dulu untuk hari ini.”
“Tidak mau!”
Aku malah
melepaskan baju kaos olahragaku. Melemparkannya ke luar rumah.
Aku tahu, ayah
ingin marah. Tapi sekuat tenaganya dia tahan.
“Nanti pesan
yang baru,” kata ibu lagi. Dia di dapur, masih sambil memanaskan lauk pauk
untuk sarapan kami. Ayah, memanaskan mesin sepeda motor.
“Kapan?
Menunggu kelas tiga? Masih lama, Bu!” Seenaknya aku berteriak.
Satu menit ibu
diam.
Kemudian, “mau
bagaimana lagi.”
“Argh! Kenapa aku
mendapat baju kaos jelek begini?”
Ibu tak
berkomentar sama sekali. Aku mengusal di depan pintu. Duduk seperti anak kecil.
Aku memang masih kecil.
“Nanti ibu bawa
ke Bi Surti.”
“Kapan, Bu?
Pagi ini juga! Hari ini Ardi ada pelajaran olahraga.”
Hening…
Pagi itu juga
ibu membawa baju kaos olahragaku dibawa ke rumah Bi Surti untuk dijahit bagian
kerah yang melar. Sedemikian rupa dijahit agar tak terlalu kelihatan melar.
“Ini, Nak.
Sudah dijahit. Kerahnya sudah tidak terlalu lebar lagi.”
Aku tersenyum.
“Ayo sarapan,”
ajaknya.
Aku menurut
sambil melihat-lihat baju kaos olahragaku yang sepertinya sudah normal.
“Astagfirullah.
Ibu lupa mengangkat nasi.”
Nasi kami
hangus pagi itu. Kami sarapan tanpa nasi. Tidak. Bukan kami. Tapi aku. Aku tak
ingin makan kerak nasi. Keras. Ayah dan ibu sarapan seperti biasa.
Pulang sekolah,
aku kembali melempar baju kaos olahragaku ke luar rumah. Teriak, “Aku tidak
ingin memakainya lagi!”
*
Minggu
depannya.
“Pokoknya tidak
mau pakai!”
Aku membanting
pintu dan duduk meringkuk menghalangi ayahku yang bolak-balik keluar masuk
rumah. Entah apa yang disibukkannya. Aku tak pernah tahu.
Ibu sedang
memasak di dapur. Sayur bayam.
“Pakailah dulu
untuk hari ini. Besok kerahnya dikecilkan lagi.”
“Tidak mau!
Hari ini ada pelajaran olahraga!”
“Nanti sepulang
sekolah ibu bawa ke Bi Surti lagi.”
“Harus
sekarang!”
Masih jam
setengah enam. Ibu pergi ke rumah Bi Surti membawa baju kaos olahragaku.
Setengah jam kemudian dia datang.
“Ini baju
olahragamu, Nak. Pakailah,” dia tersenyum.
Kali ini aku
tak langsung memasukkannya ke dalam tasku. Aku memeriksanya setiap jengkal. Aku
mengangguk. Bagus. Tidak terlalu lebar.
Aku berangkat
ke sekolah dengan tenang dan gembira. Dan sarapan kami normal seperti biasa
tanpa ada nasi kerak.
Tapi pulang
sekolah aku kembali melemparnya keluar rumah. Teriak lagi, “aku tak ingin
memakainya lagi!”
*
Dua minggu
sebelumnya.
“Kamu kurus
sekali Ardi,” gadis itu terkikik-kikik.
Gadis lainnya
angkat suara bagai paduan suara. Sama sekali tak merdu. Mengenaskan!
“Ardi ceking.”
Prok prok prok!
“Ardi ceking.”
Prok prok prok!
Anak laki-laki
juga ikut bergabung.
SEHARUSNYA
OLOK-OLOKAN SEPERTI INI DILAKUKAN OLEH ANAK SD!
Aku sudah SMP!
Aku memang
kurus. Kerah kaos oblong oleh raga itu membuat tulang bahuku kelihatan. Tulang
rusukku juga tak mau kalah ingin unjuk rusuk. Saat aku melewati cermin. Mereka
benar. Tubuhku terlihat tidak proporsional. Tak seperti lelaki lainnya yang
memiliki tubuh besar dan bagus. Begitu seharusnya lelaki.
Aku baru
menyadarinya setelah bertahun-tahun. Itupun saat gadis yang kusukai yang
bilang. Terkikik-kikiknya itulah yang lebih menyakitkanku.
Artinya:
bagaimana mungkin dia bisa suka padaku!
*
Ke mana baju
kaos olahragaku? Hari ini aku ada pelajaran olahraga. Hilang ke mana? Kalau aku
tidak memakai baju kaos olahraga saat pelajaran olahraga, aku akan dimarahi Pak
Badrun.
“Ibu!”
Ibu tidak ada.
Ayah sedang mengutak-atik sepeda motor.
“Ayah, Ibu di
mana?”
“Di dapur.”
“Tidak ada
Ayah.”
“Mungkin sedang
mandi.”
“Tidak ada
siapa-siapa di kamar mandi.”
“Di kamar.”
“Tidak ada
Ayaaah.”
“Warung.”
Mungkin.
Aku duduk
menunggu ibu di teras dengan melipat tangan di dada. Aku kesal. Ibu ke mana?
Sudah jam tujuh kurang dua puluh menit.
Ibu datang
beberapa saat kemudian.
“Ibu! Mana baju
olahragaku?!”
Ibu mengatur
nafas. Dia setengah berlari dai arah jalan raya.
“Ini, Nak,” ibu
menyerahkan baju olahragaku.
“Ada apa dengan
baju olahragaku?”
Bajuku robek
dibagian kerah.
“Su… subuh tadi
Ibu ke Bi Surti. Bi Surti sakit. Baju kaos olahragamu kerahnya belum
dikecilkan.”
Ibu mengatur
nafas. Sementara aku sungguh geram.
“Akhirnya Ibu
coba untuk mengecilkannya sendiri. Tapi ibu salah menggunting karena teringat
air yang ibu masak belum diangkat. Panci hangus karena airnya kering.”
“Ibu!” Aku
membentak. “Bagaimana dengan pelajaran olahragaku hari ini?!”
“Barusan Ibu ke
rumah guru olahragamu. Ibu meminta izin agar Ardi boleh memakai baju kaos lain
khusus untuk olahraga hari ini.”
Rumah guru
olahragaku memang tak jauh dari rumahku. Tapi kalau berlari, cukup melelahkan.
Aku membalikkan
badan.
“Tapi Pak
Badrun memberikan ibu kaos olahraga bekas anaknya. Sepertinya tak perlu lagi
mengecilkan kerah.”
Aku membalikkan
badan lagi, meraihnya dan memakainya.
Not bad.
Aku bergaya di
depan cermin. Dan bersekolah dengan tenang selanjutnya.
*
Saat pelajaran
olahraga, aku bisa dengan nyaman berolahraga. Baju kaos olahragaku sangat pas,
membuatku merasa tampan. Aku semangat mengikuti pelajaran olahraga pagi itu.
Aku tak
henti-hentinya memamerkannya pada gadis pujaanku itu dengan bolak-balik di
depannya seraya bilang dalam hati:
Akhirnya kau terpesona padaku karena tulang belulangku tak
menonjol lagi.
Tak
henti-hentinya aku menebarkan pesona padanya hingga jam pelajaran olahraga
berakhir. Namun…
JLEB!
Dia memberikan
minum pada lelaki yang bertubuh besar dan proporsional itu sambil tertawa renyah
di depanku.
*
“Ibuuuuuu!”
Aku memeluk
ibu.
Dia mengusap
rambutku. Aku tertidur di pangkuannya sampai pagi.
-rr-
0 komentar:
Posting Komentar