Mengambil
keputusan ini tidak mudah. Keputusan yang akan aku ambil adalah keputusan untuk
mengis-timewakan sesuatu. Sesuatu itu…
Baiklah, aku
sedang menimbang-nimbang apakah akan merubah nada deringnya dengan nada dering
spesial, mi-salnya sebuah lagu yang kesukaanku. Sumpah! Aku sudah pernah
melakukan ini sebelumnya, tapi justru salah besar. Aku salah memilih yang spesial.
Alhasil aku membenci lagu itu!
Bagiku, jika
sudah kuputuskan merubah nada dering seseorang menjadi nada dering spesial maka
dia memang benar-benar spesial. Agar kebencianku nanti tak merem-bet ke hal
yang lainnya. Dalam hidupku hanya ayah, ibu dan adik-adikku saja yang layak
mendapatkan predikat spesial itu, karena mereka tak pantas kubenci. Nah, di
luar mereka aku akan berhati-hati.
Kenapa ini
penting?
Ini menyangkut
hati. Menspesialkan sesuatu diperbo-lehkan jika suatu hal tersebut memang
pantas dispesial-kan. Jika tidak, maka sakitlah hatimu nanti.
Kenapa begitu?
Jika yang kau
nobatkan nada dering spesial itu melaku-kan hal yang tidak seperti yang kau
harapkan, maka kau akan menderita sepanjang waktu. Terutama jika nada de-ring
tersebut tak henti-hentinya berdering. Bahkan jika kau memasang lagu kesukaanmu
dan lagu kesukaanmu itu selalu diputar di televisi dan radio. Bahkan jika lagu
terse-but sedang hits! Bayangkan jika tadinya kau ingin melupa-kannya setelah
dia menyakitimu, kau tak akan bisa. Ya, karena lagu itu selalu mengingatkanmu
padanya. Kau akan stress berat atas perubahan yang tiba-tiba. Biasanya lagu
tersebut kau tunggu-tunggu, maka setelah kejadian tak mengenakkan itu kau
dipaksa hatimu untuk melupa-kannya, sedangkan lagu tersebbut mengalun di
mana-ma-na sepanjang waktu. Kau akan teringat terus! Alhasil kau membenci lagu
tersebut demi melupakannya. Sekuat tena-ga kau membenci lagu tersebut agar
kenangan indah ten-tang pemilik nada spesial lenyap di telan bumi.
Dan yang paling
kasihan adalah orang yang mencipta-kan lagu tersebut. Sesungguhnya dia sudah
bersusah pa-yah membuat nada-nada yang indah, malah akhirnya kau benci.
Akhirnya, untuk mengurangi kemungkinan lagu itu kau dengar, kau hapus dari handphone-mu. Bayangkan jika semua orang
berpikiran seperti itu—tak menutup kemung-kinan sindrom seperti itu dimiliki
semua orang—maka setiap orang ada kemungkinan untuk menghapusnya kare-na benci.
Yang terjadi selanjutnya akan lebih parah: pen-cipta lagu tersebut akan
kehilangan pendapatannya yang berupa royalti
itu. Ada kemungkinan juga malah bukan karyanya yang dibenci, melainkan
penciptanya.
“Tidak. Aku
tidak suka lagunya si A karena meng-ingatkanku pada lagu yang berjudul A. Lagu
yang berjudul A itu mengingatkanku padanya. Aku benci padanya!”
Begitulah
kira-kira. Sama halnya dengan kebencianku pada lagu Mbah Surip yang berjudul
‘Bangun Tidur’. Lagu itu bertahun-tahun menjadi alarm pagiku. Tapi khusus lagu
itu, bukan penciptanya yang kasihan, melainkan blackberry-ku. Terkilir setiap
pagi kena pukulanku.
*
Aku masih
menimbang-nimbang. Kutekan tombol me-nu bertanda lambang blackberry, kemudian
mengarahkan kursor ke file kontak. Tekan. Tertera ratusan kontak. Aku mencari
nama ‘Manis Manja’, bukan manis manja grup. Dia memang manis dan manja. Menurut
hatiku yang terdalam, dia sangat pantas untuk dispesialkan. Hanya saja dan
selalu saja ada yang mengganjal sehingga aku butuh untuk
menimbang-nimbangkannya.
Semalam dia
menangis di telepon. Seolah-olah mena-ngis di bahuku. Rasanya memang seperti
itu, damai dan tentram. Aku merasa lelaki seutuhnya.
Dia bilang
merasa nyaman setelah curhat denganku. Katanya aku dewasa. Dia juga sudah
pernah bilang padaku bahwa dia ingin menjadi adikku.
Tidak apa-apa.
Adik dulu.
Aku juga merasa
nyaman setelah menampung curhatnya. Aku memang pantas menjadi kakaknya. Bahkan
lebih. Tapi belum waktunya.
Seharusnya dia
sudah menjadi seseorang yang spesial di luar keluargaku.
Belum.
Aku harus
sabar. Dalam setiap kisah yang diceritakannya masih terucap kata yang tidak
kusuka. Kata itu kuanggap sebagai pecikan api. Sewaktu-waktu bisa mengancam
keberlanjutan hidup kalau terbakar. Aku bisa mati!
Kata yang
kubenci itu: pacarku—dia menyebutnya.
Sekarang
meskipun sudah berubah menjadi ‘mantan pacarku’—dia menyebutnya, tak lantas
secepat kilat aku menobatkan nada dering spesial untuknya. Kata baru ter-sebut
baru kudengar satu hari ini. Lima menit lagi satu hari penuh. 24 jam! Mungkin
saat penuh itulah waktunya.
Sebelumnya,
seharian ini aku telepon-teleponan de-ngannya. BBM, entah sudah berapa. Hari
ini tak ada yang lain yang menghubungiku atau yang kuhubungi. Hanya dia dan dia
saja. Tak ada kegiatan yang kami lakukan se-lain kedua jenis kegiatan
membuang-buang waktu terse-but.
Mengasyikan
seharian ini. Aku tak peduli dengan tugas kuliahku yang bertumpuk-tumpuk. Dia
yang penting. Dia!
Tapi, sejam
yang lalu telepon-teleponan itu berakhir. BBM-an juga sama halnya. Padahal dia
sedang menjadi trending topic di
hatiku.
Sebal!
Sejam ini aku
menunggu balasan sepuluh BBM-ku.
Getir!
Ke mana dia
sejam ini?
Aku galau…
Atau inikah
pertanda bahwa dia memang spesial. Dia memang pantas untuk dispesialkan! Ya!
Dan…
Ada BBM masuk.
Tak tahu dari siapa. Temanku atau diakah? Aku berharap dari dia. Bukan. Dari
temanku yang menanyakan tugas Bussiness
Plan.
Kriiing!
Kriiing!
Telepon.
Yeah!
Manis Manja!
“Rayeeeeen!”
Suara itu
menggemaskan! Aku suka saat dia memanggilku seperti ini. Aku ingin segera
merekamnya dan men-jadikannya nada dering. Bukan nada dering spesial, me-lainkan
nada dering untuk seluruh kontak. Itu spesial di atas spesial!
“Tadi Agus
minta maaf. Dan apa yang terjadi selanjutnya? Kami balikaaan…Senangnyaaaa.”
Lupakan soal
nada dering.
Aku langsung ke
WC. Berak sepuas-puasnya sampai ususku keluar. Lega…
-rr-
0 komentar:
Posting Komentar