Aku habis
bertemu dengan dia. Aku menyebutnya si Cantik.
Tapi aku tak tahu apakah dia pernah memanggilku si Ganteng. Meskipun
dalam hati.
Dia cantik. Aku
makan siang bersamanya di kantornya yang berada tak jauh dari pantai. Masih
berada di lingkungan Desa Tanjung Binga. Aku sengaja ke sana jauh-jauh dari
rumahku yang jaraknya dua puluh kilometer dari kantornya.
Hanya untuk
mengatakan: Aku cinta padamu.
Kata yang
sangat sederhana tapi sulit untuk diucapkan. Apalagi di hadapannya.
Sudah lama aku
mencintainya. Tapi selalu kukulum seperti permen sepanjang waktu.
Aku.
Sengaja pulang
ke kampung halamanku dengan alasan ada tugas yang sangat penting dari kantor.
Jika ibu adalah seorang detektif, dia pasti bisa mencium kemustahilan ini.
MUSTAHIL! Pekerjaanku tak pernah ada yang namanya tugas ke luar kota. Tapi ibu
selalu percaya. Karena dia ibuku.
Lalu, sebetulnya
tak ada masalah jika kubilang pada ibu bahwa kepulanganku yang sangat mendadak
ini adalah mengemban misi yang penting. Lebih penting dari sekedar pesta
pernikahan artis papan atas yang menghabiskan milyaran rupiah. Ini menyangkut
keberlanjutan hidup generasi muda yang ingin menghasilkan keturunan yang hebat
untuk membangun bangsanya.
Hanya saja
sebagai lelaki, aku malu mengakuinya.
Sebab, tadi
saja aku tetap saja masih mengulum cinta itu. Seharusnya cinta itu sudah basi
sejak dari dulu. Entah kenapa, rasanya tetap saja enak. Makanya aku kulum
meskipun ada sedikit pahit. Cinta itu telah bercampur dengan air liurku.
“Nadira.”
Dia menghirup
es kelapa dengan sedotan.
Glek. Glek.
Glek.
Aku diam.
Dia hanya
sedikit membesarkan bola matanya pertanda dia mendengarkan aku tadi
memanggilnya dan menunggu kata-kataku selanjutnya.
Pertemuan itu
menghabiskan satu mangkok mie belitong dan pempek lenggang serta dua gelas es
kelapa. Mie belitong aku yang makan karena aku sudah kangen berat dengan jenis
mie yang fenomenal ini dan dia makan pempek lenggang.
Pertemuan siang
itu diakhiri dengan kata: ENAK.
Sudah.
Tak berakhir
bahagia.
*
Aku pulang
seperti biasanya jika aku tak mampu berkata. Nafas kembali teratur dan aliran
darahku tenang.
Tapi aku selalu
menyesal tak bisa seperti ayah yang selalu membawa kemenangan saat pulang ke
rumah. Dia pulang dengan membawa uang halal untuk ibu. Sedangkan aku pulang
seperti pecundang seperti suporter bola yang membunuh apa saja termasuk nyamuk
saat tim kebanggaannya kalah. Setiap kali aku membunuh lalat yang hinggap di
ujung hidungku.
Langit masih
cerah dan aku masih tak berdaya dengan beban cinta.
Aku mengegas
sepeda motorku menelusuri jalan menuju kota berikutnya: rumahku.
Tiba-tiba, di
tengah perjalananku yang merana, sekumpulan anak-anak kecil masih SD
menyetopku.
“Bang! Bang!
Berhenti, Bang!”
Aku mengerem.
“Ada apa, Dik?”
“Bang numpang
sampai Desa Terong.”
Aku berpikir.
Mereka sudah
naik sebelum aku mengatakan ‘iya, boleh’. Dua anak yang naik di belakang. Empat
yang lainnya menunggu sepeda motor berikutnya yang tanpa boncengan lewat.
Sambil jalan
aku bertanya, “baru pulang sekolah, Dik?”
“Iya, Bang.”
Aku salut. Ini
seperti di novel yang pernah aku baca. Kisah nyata dari kampungku, Belitong.
Segerombolan anak SD berjalan kaki demi mencari ilmu.
“Kalian berdua
tinggal di Terong?”
“Tidak, Bang.”
Aku mengerutkan
kening.
Oya, kampungku
sudah modern. Setahuku. Apakah masih ada fenomena begini?
Tapi ini bukti
nyata.
“Lalu?”
…
“Itu dia!”
Entah siapa
yang berteriak itu. Anak yang duduk di tengah atau yang paling belakang.
“Bang!
Berhenti, Bang!” Yang tengah menepuk pundakku.
Aku mengerem.
Berhenti.
Satu per satu
dari mereka turun. Salah satu dari keduanya menyembunyikan setangkai mawar. Aku
tak tahu yang menyembunyikan mawar itu yang tengah atau yang belakang. Aku tersenyum.
Anak-anak jaman sekarang memang lebih cepat menapaki puber.
Aku lihat dua
anak perempuan sedang berjalan-jalan sambil bernyanyi tralala-trilili. Salah
satunya pastilah tujuan anak yang mengenggenggam setangkai mawar itu.
Aku menarik gas
sepeda motorku pelan sambil tetap memperhatikan adegan menarik siang itu dari
kaca spion. Sang pemberani!
*
“Abang pinjam
mawarmu, Dik,” aku menyambarnya dari sepeda motor.
Anak itu
melongo melihatku yang telah melaju melawan arah tujuanku sebelumnya. AKu
memberikan kode agar melanjutkan ceritanya sampai happy ending. Happy ending?
Akankah? Mawarnya sudah digenggamanku? Sudahlah. Yang jelas cerita ini harus happy ending!
Nadira! Tunggu
aku!
“Nadira!” aku
berteriak dari luar kantornya.
Ah, salah!
Seharusnya bukan begitu!
Aku turun dari
sepeda motor sambil berjalan pelan. Di situ ada seorang pegawai yang sedang
duduk-duduk.
“Pak, apa saya
bisa bertemu dengan Nadira?”
Aku menyembunyikan
setangkai mawar itu di belakang badanku.
“Baru saja
pulang bersama pacar barunya.”
Aku mengangguk.
Berbalik badan.
Melihat mawar
selama dua detik.
Detik ini,
mawar sudah di tong sampah.
-rr-
0 komentar:
Posting Komentar