“Salah! Jika
kau berpikir membunuh wanita itu!”
“Apa yang
salah?”
“Sasaran.”
“Memangnya
kenapa?”
“Seharusnya
yang kau bunuh itu dia!”
“Dia siapa?”
“Bego! Lelaki
itu! Pacarnya!”
“Aku tak ingin
berpikir seperti kebanyakan orang. Pikiranmu itu terlalu terkotak-kotak tahu
tidak? Hah!”
“Maksudmu?”
“Begini…”
*
“Kan sudah
kujelaskan waktu itu!”
“Sudah kubilang
kau itu gila!”
“Siapa?”
“Kenapa wanita
itu yang kau bunuh?”
“Ya, kau!”
“Berani-beraninya
kau bilang aku gila! Mati kau!”
Kubunuh dia.
*
Tindakanku
sudah benar. Sekarang yang bersedih adalah lelaki itu, pacarnya. Lelaki itu tak
henti-hentinya menangis setiap malam. Dia melonglong saat bulan purnama. Tapi
dia tidak berubah menjadi serigala, melainkan menjadi jelek.
Aku puas dengan
tindakanku. Itulah yang kubilang pikiran yang tak terkotak-kotak. Kita berpikir
di luar pikiran banyak orang. Kreatif! Ya, kubilang itu sangat kreatif.
Buktinya, lelaki itu sangat tersiksa. Kudengar sekarang dia masuk rumah sakit
jiwa saking sedihnya. Begitulah hidup. Roda terus berputar. Senang jadi sedih
dan sedih jadi senang.
Aku bahagia!
Sangat bahagia!
Kemenangan
ditanganku!
Kalau saja yang
kubunuh adalah lelaki itu, bisa saja dia matinya masuk surga. Kalau masuk surga
berarti dia tidak tersiksa. Dia malah bersenang-senang bersama
bidadari-bidadari di sana.
Nah! Siapa yang
akan membayar sakit hatiku. Meskipun sebetulnya lelaki itu belum tentu masuk surga,
tapi aku ingin melihat penyiksaan yang nyata. Yang bisa aku lihat dengan mata
kepalaku sendiri.
Bisa saja dia
masuk neraka. Sebab, dosanya banyak. Dia merebut wanita yang kubunuh itu
dariku. Dia pasti akan masuk neraka karena secara tidak sengaja atau bahkan
sengaja sebetulnya telah membuatku tersiksa dengan rasa cinta yang membludak.
Hatiku hampir pecah.
Sudah pecah!
Aku sempat koma gara-gara itu. Aku diopname di rumah sakit karena tifus. Semua
itu karena beban pikiran yang tak mampu kuemban lagi. Maka lelaki itu harus
membayarnya dengan bayaran yang setimpal.
Cerdas!
*
Aku sering
berkunjung ke rumah sakit jiwa di mana dia di rawat. Kulakukan untuk memastikan
bahwa dia masih menderita akibat kehilangan pacarnya. Senang rasanya kalau
melihat dia berbicara sendiri sambil tertawa-tawa tidak jelas begitu. Apalagi
saat sedang berbicara dengan pohon kamboja yang tumbuh di tengah-tengah taman
itu rumah sakit jiwa itu. Aku sering berlagak menjadi pohon. Setiap
pertanyaannya selalu kujawab dan aku balik bertanya.
Amboi!
Permainan ini lebih menyenangkan daripada Warcraft!
Setelah itu aku
selalu meng-update tweet di akun
twitterku. Menarik sekali. Aku juga rajin nge-blog. Tulisanku kubuat dalam
bentuk buku yang kujual hingga menjadi best
seller. Aku kaya raya!
Aku punya pacar
baru karenanya. Aku terkenal dan sangat gampang untuk mendapatkan wanita yang
aku inginkan. Lebih cantik dan sempurna daripada pacarnya yang kubunuh itu.
Cita-citaku tercapai. Dan sebentar lagi aku akan menikah dengan pacarku yang
tergila-gila amat sangat padaku.
Aku lelaki
sempurna memiliki segala kesempurnaan yang aku inginkan.
*
Setelah
bertahun-tahun lamanya aku menyiksa lelaki itu,
ternyata rasa yang membuat nafasku teratur dan pikiran tenangku
menghampiri juga. Aku puas sekarang.
Saatnya aku
berhenti.
Untuk itu, aku
datang kembali ke rumah sakit jiwa tempatnya dirawat dan mengikrarkan janji di
situ. Aku mengajak pacarku—calon istriku—untuk menjenguknya.
Aku berjanji
dalam hati: aku tidak akan mengulanginya lagi untuk yang kedua kali.
Pacarku
mengamininya meskipun dia tak tahu aku sedang berdoa apa. Mungkin dipikirannya
adalah aku mendoakan lelaki itu sembuh secepatnya.
Baiklah.
Kuaminkan jika calon isteriku itu berdoa seperti itu.
Amin.
Aku mengusap
kedua tanganku di muka.
Kulihat ke
samping kiri-kananku. Di mana calon isteriku?
Tidak!
Kulihat calon
isteriku sudah terbujur kaku dengan darah yang mengalir deras.
Lelaki itu
tertawa lepas sambil menjilat darah yang melekat di pisau.
-rr-
0 komentar:
Posting Komentar