“Ibu.”
“Iya, Nak.”
Ibu tersenyum.
“Aku ingin nenen.”
PLAK!
“Ibu!”
“Apa?!”
“Aku ingin nenen.”
PLAK!
“Kenapa, Bu? Aku hanya ingin
nenen.”
PLAK! PLAK!
“Kenapa ibu menamparku?”
PLAK!
“Kenapa Bu?”
PLAK!
“Jangan tanyakan itu lagi!”
“Kenapa, Bu?”
“Karena tidak boleh!”
“Kenapa tidak boleh?”
“Kamu sudah besar.”
“Aku masih kecil, Bu.”
“Kamu sudah besar.”
“Adik lebih besar dariku.”
“Umurmu lebih tua dari adikmu.
Makanya dipanggil adik.”
“Jadi aku sudah tua, Bu?”
“Iya.”
“Ibu tega.”
“???”
*
“Ibu.”
“Iya, Nak.”
“Aku ingin nenen.”
PLAK!
“Kenapa, Bu?”
“Kamu sudah besar.”
“Adik boleh. Aku tidak. Kenapa,
Bu?”
“Adikmu butuh asi. Jatahmu sudah
ibu berikan.”
“Tapi aku ingin minta sedikit
jatah punya adik.”
PLAK!
“Kenapa, Bu? Kenapa menamparku?”
“Karena pertanyaanmu bodoh.”
“Aku tidak bodoh, Bu. Matematikaku
nilainya selalu bagus.”
“Kau tak menggunakan ilmu
matematikamu untuk bertanya pertanyaan yang benar.”
“Aku sudah menghitung berapa kali
aku sudah bertanya, Bu. Artinya aku sudah menggunakan ilmu matematikaku, Bu.”
“Nenen saja sama ayahmu!”
*
“Ibu.”
“Iya, Nak.”
“Ayah tidak mau.”
“Tidak mau apa?”
“Ayah tidak mau aku nenen
padanya.”
“Jelas saja karena tugas ayahmu
bukan itu.”
“Berarti ibu bohong.”
“Bohong apa?”
“Itu tadi.”
“Itu karena pertanyaanmu yang
aneh-aneh.”
“Aku aneh ya, Bu?”
“Pertanyaanmu.”
“Aku masih kecil, Bu. Aku hanya
ingin tahu.”
“Ingin tahu apa?”
“Ingin tahu apakah aku boleh
nenen.”
PLAK!
“Sakit, Bu.”
“Diam biar tidak sakit.”
“Iya, Bu.”
*
“Ibu.”
PLAK!
0 komentar:
Posting Komentar