JIKA membunuh itu
dibenarkan, aku ingin membunuh.
Aku ingin membunuh
sebanyak-banyaknya. Sepuas-puasnya sambil menjilat-jilat pisau yang berlumuran
darah.
Kalau saja membunuh itu
dibenarkan, tak segan-segan aku akan membunuh semua lelaki. Aku tak ingin ada
lelaki di dunia ini selain aku.
*
Lelaki itu yang membuat pikiranku
untuk membunuh. Setiap malam aku berjuang dan berdoa agar membunuh itu
dibenarkan di mata hukum dan agama. Seperti membunuh nyamuk: saat melintas di
telingaku langsung kutepuk! Darah muncrat tak senonoh. Indah!
Doaku tak dikabulkan. Di perpustakaan,
aku juga tak menemukan literatur bahwa membunuh itu dibenarkan. Aku bisa di
penjara, bahkan kena hukuman mati.
Tapi, tidak membunuh saja aku
sudah terjeblos ke penjara. Bahkan, akan mati secara perlahan.
“Mati sajalah!” Kata sebuah suara
dari luar jendela kamarku.
“Siapa?! Siapa yang berani berkata
seperti itu padaku?!”
Enak saja!
Aku mendongak ke luar jendela. Tak
ada siapa-siapa. Mati kau!
“Bukan kau! Aku tak berbicara padamu!”
Suara itu tak ada wujudnya.
Pohonkah itu? Awan? Angin? Pasir?
Tanah? Aku tak tahu.
“Enyah kau!”
Mungkinkah lelaki itu? Aku benci
dia! Aku juga membenci dia—gadisku—jadinya.
*
Cintalah yang membenarkanku untuk
membunuh, akhirnya. Semalam aku mendapatkan mimpi yang indah, bahwa membunuh
itu sungguh indah dan dibenarkan.
Mimpinya:
Aku bertapa di bawah air terjun di
sebuah gunung di Jawa Barat.
Rambutku panjang. Daguku ditumbuhi
jenggot yang panjang berwarna putih. Mukaku sedikit hitam, mungkin karena
terlalu lama bertapa. Menurut ingatanku, aku bertapa selama empat puluh hari
dan berpuasa selama itu.
Lelaki yang mengganggu gadisku
berdiri di depanku.
CUSS!
Akhirnya dia mati tertusuk
pisauku.
Membunuh itu dibenarkan saat itu.
Malamnya: gelap!
Kulihat aku yang tergantung kaku
di seutas tali tambang.
-rr-
0 komentar:
Posting Komentar