Ini sudah yang kesembilan. Semoga aku kembali menyukai hujan.
Hujan. Aku tak tahu apa yang ada dipikiran
orang-orang yang menyukai hujan. Seperti dulunya aku—pikiranku yang selalu
menjunjung hujan.
Aku tak lagi menyukai dan
menyayangi hujan. Namun, aku tak selalu mengungkapkannya dengan ucapan sadis
atau tingkahku yang menunjukkan aku tak menyukai hujan. Yang jelas, hujan itu dingin dan selalu
membawa suasana tak nyaman. Kala hujan, aku tak bisa nyaman mengungkapkan
kerinduan pada kaca-kaca jendela yang berembun. Yang hanya bisa aku lakukan
untuk nyaman hanya memejamkan mata agar sepi
terbunuh dengan keramaian yang aku ciptakan dalam pikiran. Agar nyaman pula aku
menghirup teh hangat yang selalu menyerang ubun-ubunku menjadi himpunan tenang.
Duduk tenang di situ, di sebuah sudut favorit mendamba keberduaan. Senang yang
semu, dan tak lebih menang.
Hujan kali ini, akan kucoba pastikan
riaknya lebih menenangkan dan menyenangkan. Tak lain karena dia yang sedang
senang menerawang dan menengadahkan tangan. Tatkala cahaya terang yang semakin
benderang menembus butir-butir hujan, dia riang. Indah bukan kepalang dan
menyeruak segala ketakjuban. Tak salah jika aku kembali menyukai dan menyayangi
hujan. Hujan menghadirkan aroma-aroma menyegarkan. Seperti bidadari yang paling
menawan menerangkan mataku yang tadinya buram. Ini pertemuan hari kedua kami di
bawah cahaya bulan. Namun hujan ini adalah hujan pertama di pertemuan tak
sengaja kami yang bagiku sungguh menyenangkan. Hujan kali ini sangat rupawan. Bagai
berlian kecil yang berjatuhan. Di langit hitam meski bintang tertutup awan,
tetap saja tak membuat suasana jadi mencekam. Mungkin karena ada dia yang jagad
raya selalu hebohkan. Senyumannya tak pelak membuat dunia menjadi sungkan untuk
menjelekkan. Karena memang dia adalah bintang indah yang selalu orang-orang
elukan.
Dia berdiri di lobi dan menarik
nafas sedalam-dalamnya. Dua detik kemudian dia bersiap untuk melangkah. Tentu
saja aku juga.
“Bukankah masih hujan?” Tanyaku
menghentikan langkahnya yang baru pelan.
“Tapi ini sudah larut malam. Aku
harus segera pulang,” dia tersenyum.
Aku membuka jaketku, hendak
memberikan padanya agar hujan tak senantiasa membasahi kepalanya. Entah kenapa
kemudian pipiku memerah, mungkin karena terlalu gugup sempurna. Ini sungguh tak
biasa. Pipiku bagai merahnya delima atau tak ubahnya ditempeli dua buah biji
saga. Ini sungguh bahagia.
“Aku membawa payung.”
Aku diam. Tersipu bahagia tadi
berubah menjadi muram. Aku malu karena modusku ternyata sudah sangat
ketinggalan zaman. Tapi, malu itu aku tahan.
Aku mengangguk.
“Apa kau mau ikut denganku? Kita
berpayung bersama,” dia menawariku. Tentu saja aku tak menyia-nyiakannya.
Berada di sampingnya tak pernah aku
bayangkan sebelumnya. Bagaikan sebuah mimpi yang selalu terjebak menjadi
khayalan saat kembali ke dunia nyata. Seketika itu ingin aku genggam tangannya
yang lembut saat bersentuhan tak sengaja. Tapi aku takut dosa. Aku juga takut
berupa-rupa cinta yang aneh menghinggapi. Jika nanti cinta itu pergi aku pasti
sepi. Aku tak ingin ditinggali jika cinta sudah merasuk padat ke hati. Ah, aneh
sekali, kenapa aku berbicara soal hati? Masih terlalu dini berpikir seperti
ini.
Kami bercerita sepanjang perjalanan
menuju pintu gerbang. Inilah untuk pertamakalinya aku tak suka terbang.
Meskipun biasanya aku selalu ingin mengangkasa bagaikan layang-layang. Dengan
begitu aku bisa melihat dan mengikuti ke manapun yang tercintaku pergi dan
pulang. Tapi, begini lebih menyenangkan. Berjalan beriringan, bercerita tentang
kami sepanjang jalan. Sampai hujan menjadi segan. Berhenti, meninggalkan
genangan. Hatiku tergenang. Tergenang cinta yang semakin bermunculan. Dan bulan
datang. Mengintip kami dari balik awan.
Waktu berjalan terlalu sebentar.
Kami telah tiba di tepi jalan yang datar. Kalau bisa, aku ingin memutar waktu.
Saat perjalanan dari lobi ke tempat yang sudah kami tuju. Tapi semua itu tak
mungkin karena aku hanya seorang manusia pemimpi. Sebentar-sebentar berkata
‘barangkali’. Setiap hari berandai-andai indah. Merasa bahagia meski selalu
hilang arah. Tapi itulah aku. Selalu saja terpaku oleh tatapan lucu.
Sebuah angkot berhenti. Menghampiri
kami berdua yang terpatri. Ah, aku saja yang merasa seperti itu. Tak ubahnya
manusia yang membatu ketika melihat hantu.
Dia melambaikan tangan pertanda
tidak.
“Kenapa tidak naik?” Tanyaku
padanya.
“Kamu juga tidak naik,” balasnya.
Kami berdua tertawa layaknya dua
jiwa yang mendapatkan jiwa. Padahal kalimat percakapan yang kami lontarkan sama
sekali tidak lucu. Tapi, ingin saja kami tertawa. Melemaskan segala otot yang
tadinya kaku.
“Aku akan menunggu,” kataku.
“Menunggu siapa?” tanyanya.
“Tentu saja kamu. Aku tak ingin
meninggalkan kamu sendiri di sini menunggu.”
“Aku sudah biasa.”
“Tapi ini terlalu malam.”
“Tapi masih terang.”
“Tentu saja karena lampu di
mana-mana.”
“Itulah sebabnya aku bilang biasa
saja.”
Sebuah angkot berhenti lagi. Dia
masih berdiri.
“Masih belum ingin naik?” Tanyaku
lagi.
Dia menggeleng.
“Kenapa? Masih ingin menikmati
jahatnya angin malam?”
Dia menggeleng.
“Angin malam memang jahat. Apalagi
setelah hujan. Tapi bukan berarti kebencian padanya harus kita pahat. Suasana
yang ditemani angin malam bisa juga menentramkan.”
“Kamu pintar berpuisi.”
“Aku tidak sedang berpuisi.”
“Tapi secara tak sadar kamu berpuisi.”
“Mungkin semuanya karena suasana
malam ini begitu indah. Sehingga kata-kata indahpun berlomba-lomba ingin
tumpah.”
“Kamu pintar menebar pesona.”
“Apakah saat ini aku terlihat
sedang menebar pesona? Untuk apa?”
“Jelas.”
Aku diam. Menarik nafas dalam.
Bersiap mengeluarkan apa yang kupendam.
“Apakah kamu terpesona?”
“Tidak.”
Aku diam lagi. Menyesali.
“Hampir saja, tepatnya,” katanya
lagi.
Hatiku mengembang. Satu lagi
keindahan itu datang.
“Sepertinya aku harus lebih giat
lagi berpuisi.”
“Tidak perlu.”
Senyumku melebar. Hatiku memunculkan
sayap seperti kelelawar.
“Tapi aku ingin.”
“Silakan saja kalau berani,” dia
tertawa.
“Berani!” Aku tertawa tak kalah
kerasnya.
“Aku tak akan menanggung
akibatnya.”
“Apapun itu akan kuterima dengan
lapang dada.”
“Baiklah…”
Aku mulai mengangkat tangan untuk
bergaya. Tapi, urung tiba-tiba.
*
Hujan datang lagi. Puisi-puisi
malampun terhenti. Dari langit, yang berjatuhan bukan lagi butiran berlian
kecil. Yang berjatuhan adalah air mata bulan labil. Hujan gahar. Hatiku memar.
Cahaya terpendar. Tubuhku terbakar. Aku panas namun menggigil. Kubiarkan saja
tubuhku dipukul hujan bagai tembakan dari berjuta peluru bedil.
Sebuah mobil sedan datang. Rasanya
aku ingin buta saja tertusuk pedang. Aku tak sanggup melihat adegan romantis di
depanku. Seorang pria keluar dari mobil tersebut dan membukakan pintu. Aku baru
tahu, ternyata dia menunggu dia. Itulah sebabnya dia tak menghiraukan supir
angkot yang menawarinya.
“Kamu sudah lama menunggu, sayang?”
“Baru saja sampai di sini.”
“Terimakasih ya, Mas, sudah
menemani isteri saya,” kata pria itu, suaminya.
Aku tersenyum, “sama-sama, Mas.”
Hujan semakin deras. Aku seperti
orang yang tidak waras. Berdiri sendiri kemudian sambil melindungi kepala
dengan jaket dari pukulan hujan. Ternyata kali ini tetap saja berakhir pada
kekecewaan.
“Mas, ini payung saya. Bawa saja,”
wanita itu menyerahkan payungnya padaku.
“Terimakasih.”
*
Ternyata hujan ini masih sama.
Aku masih tak menyukai hujan. Ini
tak seperti hujan pertama yang kurindukan. Hujan selanjutnya sudah tak nyaman.
~rr~
0 komentar:
Posting Komentar