Berita (7) Buku Saya (3) Cerpen (31) Download Novel (2) lain-lain (1) Musik (7) Puisi (39)

Translate

Senin, 04 Juni 2012

Kamno Pattan (End)

Sebelum kita memulai cerita ini, marilah kita dengan segenap hati menyanyikan lagu pembukanya terlebih dahulu. Terserah kalian nadanya ingin seperti apa.


Kamno! Kamno!
Kamno Sang Pahlawan
Membela kebenaran dan keadilan

Kamno! Kamno!
Kamno Sang Pahlawan
Membela perawan dan perempuan

Reff:
Berlarilah Kamno, kejar penjahat
Berlarilah Kamno, bela ibu dosen
Jangan lupa belajar yang rajin
Agar menjadi pintar dan cerdas
Karena ayahmu di sana
Menunggumu pulang untuk mencangkul sawah

Lagu itu masih terngiang-ngiang di dalam otaknya. Namanya Udin. Hanya empat huruf yang sederhana dan terlahir dari keluarga yang sederhana pula. Tak ada yang istimewa kecuali kebaikannya yang tiada tara.

Hanya saja nasibnya yang selalu naas, dianggap pecundang dan tersingkirkan. Padahal apa salahnya dia? Dia seorang yang sangat biasa dan apakah itu salah? Terkadang hidup itu memang tak adil. Terutama soal percintaan. Tak ada keberuntungan soal cinta dalam kamus hidupnya. Tragis, naas, sadis, miris atau apalah untuk menggambrkan kesialan yang selalu saja menghampiri tiada henti.

Udin menyukai seorang gadis bernama Jesika Ismaura. Dari segi nama saja sudah bagai langit dan bumi. Apa lagi bentuknya, bagaikan cacing dan burung cendrawasih. Padahal segala kebaikan yang diberikan kepada Jesika adalah sebuah ketulusan. Tetapi jesika menganggapnya ada udang dibalik bakwan. Untunglah Udin seorang yang tegar sehingga dia tidak akan menangis sepanjang malam setelah ditolak mentah-mentah oleh Jesika. Padahal waktu itu, Udin hanya mengambilkan pulpen Jesika yang terjatuh dari meja saat kuliah Kalkulus. Tega-teganya Jesika langsung keluar mencari pasir, kemudian membasuh pulpennya dengan pasir lalu disiramnya dengan air tujuh kali. Udin hanya mengelus-elus dadanya. Teman lain menatap Udin prihatin. Apalagi melihat Udin yang tidak diundang pada acara ulang tahun Jesika yang rencananya akan di adakan di puncak hari minggu besok.

Udin selalu berlapang dada. Dia malah selalu berdoa untuk keselamatan gadis yang dicintainya itu. Selalu setiap malam. Dalam doanya:

Ya Allah, aku ingin selalu menjadi pahlawan baginya meskipun dia tidak tahu bahwa akulah pahlawannya yang selalu melindunginya dibantu Engkau. Maksudnya Engkau pelindungnya dan aku sebagai perantara melindungi dia. Gitu Ya Allah.

Agak aneh memang doa si Udin ini. Maklum saja dia bukanlah seorang pujangga yang bisa merangkai kata-kata yang indah. Mungkin itu salah satu kelemahannya sebagai lelaki. Tak bisa merangkai kata-kata berarti tidak bisa pula menggombal.

OOO

Hari minggu pagi kira-kira pukul enam. bumi bergetar. Ada gempa dasyat selama lima detik. Alhamdulillah tempat kost Udin tidak rubuh. Hanya sedikit retak di dinding kamarnya. Tapi Udin ketakutan setengah mati. Dia menyembunyikan kepalanya di balik bantal. Mengerikan sekali melihat raut wajahnya yang semakin jelek saja. Apalagi posisinya yang nungging membelakangi jendela itu.

Di angkasa sebuah benda meledak dan menghasilkan suara yang menggelegar seperti gemuruh halilintar. Puing-puingnya menyebar ke segala arah. Kamar Udin pun ikut kena getahnya. Benda seukuran kepal tangan melesat deras memecah kaca jendela kamar kost Udin, terakhir menampar pantat Udin. Dia langsung salto dan menempel di dinding dengan posisi seperti katak yang lengket di dinding. Lalu perlahan merosot ke bawah dan terlentang di kasurnya. Dia pingsan. Tapi tak berlangsung lama.

Di ujung sana, di kawasan Gunung Mas Puncak, sebuah benda—sejenis pesawat tetapi tidak seperti pesawat biasanya—jatuh. Menghasilkan gempa lagi, namun tidak sedasyat tadi.

Dua jam kemudian setelah kejadian, di lokasi sekitar benda yang jatuh tersebut, dihebohkan dengan kejar-kejaran. Ketakutan melanda. Orang-orang mencari perlindungan, sebagian lagi ada yang pasrah. Bagi yang sedang putus cinta karena malam minggu tidak dikunjungi pacar atau yang cintanya ditolak dan merencanakan bunuh diri tak perlu repot mempersiapkan segala keperluan untuk bunuh diri. Mereka langsung dihantam oleh makhluk-makhluk yang keluar dari jatuhnya benda tadi pagi. Benda itu ternyata berasal dari luar angkasa. UFO yang dikejar oleh Stealth Aircraft buatan Amerika yang dilengkapi persenjataan lengkap dengan armada khusus. Pesawat itu belum pernah dilihat oleh masyarakat dunia sebelumnya karena memang khusus di desain mirip dengan pesawat alien dan bertugas untuk mengejar UFO yang melintasi bumi. Pesawat yang canggih luar biasa yang melebihi Stealth Aircraft biasa itu akhirnya kalah juga. Amerika pasti nangis darah karena tak ada stok pesawat seperti itu lagi. Itu pesawat Stealth Aircraft luar biasa satu-satunya di dunia ini yang berhasil diciptakan, yang rencananya di desain untuk persiapan perang dunia ketiga.

Lalu benda yang menampar pantat Udin sebetulnya adalah sebuah gelang yang dipakai oleh armada khusus dari Amerika itu. Seharusnya armada yang ditugaskan tersebut memakainya agar tidak mempan terhadap benturan seperti itu. Namanya juga sudah takdir, tak bisa dielak lagi. Sekali lagi, gelang tersebut juga merupakan alat mutakhir yang rencananya untuk persiapan perang dunia ketiga.

“Dimana aku?” Tanya Udin yang baru sadar dari pingsannya menirukan adegan dan dialog di sinetron.

Untuk beberapa saat ingatan Udin hilang. Setelah melihat kaca jendelanya yang pecah, dia baru sadar bahwa telah terjadi peristiwa mengerikan menimpa dirinya. Dia juga langsung teringat benda sialan yang tidak senonoh itu. Dicari-carinya hingga kolong ranjang, kolong meja belajar, hingga kolong lemari pakaian. Tidak ditemukan. Tatkala dia mendongak ke atas, dia langsung berteriak. “HAA! Ketemu!” Benda tersebut nyempil di langit-langit.

Udin mengambilnya. Betapa girangnya dia setelah mengetahui bahwa benda tersebut adalah sebuah gelang yang terbuat dari adonan baja berlapis emas. Dipakainya gelang tersebut, lalu digosok-gosoknya agar mengkilap. Kalau dijual pasti mahal pikir Udin. Dia sudah membayangkan makanan-makanan enak, juga pakaian muslim untuk ibu dan ayahnya di kampung. Tidak lupa pula dia telah memikirkan akan pergi ke salon untuk sekedar memoles-moles wajahnya agar kelihatan lebih tampan dari wajahnya yang sekarang. Dengan begitu mungkin Jesika akan jatuh cinta padanya.

Namun tiba-tiba saat dia menggosok-gosokkan gelang tersebut, ada yang bergeser. Ternyata di dalam gelang tersebut terdapat banyak tombol-tombol aneh. Berarti itu bukanlah gelang biasa melainkan sebuah jam tangan yang berfungsi lain sebagai kalkulator, tebak Udin. Udin pun mencari merek jam tangan kalkulator aneh tersebut. Tidak ditemukan. Timbul penyesalan yang mendalam bahwa ternyata benda tersebut hanyalah barang murahan biasa karena tidak memiliki merek.

Udin duduk di tepi ranjang. Mimpi-mimpinya untuk pergi ke pizza hut sirna. Terlebih memperbaiki potongan rambutnya ke Johny Andrean semakin menjauh dari kenyataan. Akhirnya dia mengutuki dirinya sendiri, mengapa saat mendapatkan sesuatu yang terlihat berharga, dipikiranya hanya bersenang-senang saja. Seharusnya dia ingat sudah berapa hutangnya di warung nasi Teh Siti. Sudah seminggu ini dia makan menangguhkan pembayaran. Kadang sengaja mampir ke warung nasi Teh Siti saat akan tutup. Biasanya masih ada makanan yang tersisa. Dengan tidak tahu malu Udin memintanya, padahal dipikiran Teh Siti, makanan tersebut masih layak untuk dijual keesokan harinya.

Udin iseng menghitung hutangnya yang ada di mana-mana itu dengan jam tangan gelang kalkulator yang baru saja ditemukannya itu. Dia memencet tombol nominal hutangnya yang pertama.

Tiba-tiba keluar cahaya yang begitu terang dari jam tangan kalkulator tersebut. Udin terkaget-kaget. Peristiwa mengagetkan itu berlangsung hanya sekitar tiga detik. Kemudian Udin merasakan badannya menjadi berat. Lalu ringan dan semakin ringan dengan sendirinya.

“Waduh, apa ini?” Dia kaget melihat tangannya yang tiba-tiba mengenakan sarung tangan baja. Tidak. Bukan hanya tangannya saja, tetapi seluruh tubuhnya dibalut oleh baja. Kepalanya juga memakai helm.

Udin langsung bangkit menuju lemari pakaian yang di pintunya ada cermin. Luar biasa dia kegirangan. Ternyata dia berubah menjadi manusia berbaju besi. Udin menampar pipinya (tentunya tidak mengenai pipinya tapi mengenai helm) untuk memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi. Tetapi tamparan itu tidak terasa karena memang terhalang oleh helm. Ini nyata! Udin langsung berlenggak-lenggok di depan kaca. Berpose dan memuji-muji dirinya sendiri.

Setelah puas dengan memuji-muji dirinya sendiri, tiba-tiba perut Udin keroncongan dan bermaksud ingin makan ke warung nasi Teh Siti. Namun dia bingung dan panik. Dia tidak tahu cara membuka baju baja ini. Dia tidak tahu bagaimana mengembalikan dirinya seperti semula. Sampai-sampai dia hampir menangis. Namun teringat dengan Jesika yang tidak menyukai lelaki yang menangis, Udin mengurungkan niatnya untuk menangis.

TOK! TOK!

Seseorang mengetuk pintu kamarnya. Udin gelagapan takut ketahuan. Maka dia mencari tempat bersembunyi. Sialnya tak ada tempat yang cocok untuknya bersembunyi. Di kolong meja maupun kolong ranjang tidak muat untuk tubuh bajanya yang sebesar itu. Masuk ke dalam lemari bisa, namun pintunya tidak bisa tertutup. Akhirnya dia menggeser sedikit lemari yang berada di sudut ruangan yang sejajar dengan pintu kamarnya dan WOW ringan sekali lemari itu ketika digeser. Namun saat itu bukanlah saat-saat takjub melainkan saat-saat harus tegang. Lalu dia bersembunyi di sebelah lemari dengan menutup dirinya dengan sehelai kain sarung. Alhasil, seseorang yang tadinya mengetuk, dengan tidak sopannya langsung masuk karena tidak ada jawaban dari empunya dan mendapati kamar Udin kosong. Udin berhasil sembunyi.

Lama sekali teman Udin yang bernama Karyo tersebut berdiri di tengah-tengah ruangan itu. Dia malah sempat berkaca dan merapikan rambutnya serta berpose gaya Elvis Sukaesih perpaduan antara gaya Elvis Presley dengan Elvi Sukaesih.

Tiba-tiba sesuatu yang tak mungkin bisa ditahan lagi terjadi begitu saja. BROOT!! Udin buang angin, namun baunya tidak bisa keluar dari pakaian baja itu. Terpaksalah Udin mencium bau anginnya sendiri.

Karyo yang terkejut dengan suara aneh tersebut langsung menoleh ke sumbernya. Terlebih melihat seonggok makhluk aneh.

“Siapa lo!” Sambil menodongkan tangannya yang membentuk pistol.

Udin berdiri perlahan-lahan karena takut pistol bohongan itu ditembakkan Karyo saat sedang kalap.

Ini adalah foto tetangga Kamno Pattan yang berperan sebagai Karyo. Pada episode-episode yang akan datang, dia  akan menjadi Kamno Gatan yang ngekos di kamar nomor tiga. Foto ini diambil pada saat Karyo sedang kaget melihat Kamno Pattan.
Ini adalah kerjaan sampingan Kamno Gatan (Karyo): COVER BOY! Dia jadi model sebuah buku Kumpulan Cerpen Semua tentang Maya karya anak-anak NBC Lampung
Idem sama yang di atas. Ini buku pertama. Yang di atas tuh buku keduanya.
OOO

Udin menceritakan perihal sebenarnya yang terjadi kepada Karyo. Entah didengarkan atau tidak oleh Karyo. Sebab dia masih terkagum-kagum dengan pakaian baja Udin.

“Masalahnya cuma satu. Gue nggak tahu gimana kembali seperti semula,” Udin menunduk.

“Itu nggak perlu lo pikirin Din. Lo superhero sekarang. Yang harus lo pikirin sekarang adalah nama lo. Nama superhero lo!” Karyo menyibakkan poninya.

“Tapi mengubah gue seperti semula jauh lebih penting Yo. Gue lapar. Baju baja ini nggak ada lubang sedikitpun buat masukin makanan ke mulut gue,” Udin memegangi perutnya.

“Nggak usah khawatir. Tunggu sebentar,” pinta Karyo. Satu menit kemudian dia datang dengan membawa tang, martil dan paku.

“Buat apa benda-benda itu?”

“Bikin lubang di bagian helmmu.”

“Nggak. Nggak. Gue nggak mau!”

“Tadi katanya lapar?”

“Udah nggak lagi,” kata Udin bersandar di dinding. “Tolong nyalakan televisi. Jempol gue terlalu besar buat mencet tuh tombol-tombol.”

“Dasar superhero aneh.”

OOO

Telah terjadi kekacauan di kawasan puncak. Dua makhluk aneh tertangkap kamera helikopter pemantau lalu lintas sedang menyiksa warga. Udin salah seorang warga yang berhasil melarikan diri dari makhluk aneh yang diduga berasal dari luar angkasa berhasil kami wawancarai meskipun dia sedikit trauma dengan adanya kejadian itu.

“Makhluk itu seperti genderuwo. Menakutkan!” kata Udin.

“Bisa dilukiskan bagaimana rupa wajahnya?” Tanya reporter.

“Saya tidak bisa melukis Mbak. Sewaktu masih se-kolah pelajaran melukis adalah pelajaran yang paling tidak saya sukai,” jawab Udin polos.

“Maksud kami melukiskannya dengan kata-kata Pak,” kata reporter lagi.

“Maksudnya seperti puisi gitu?”

“Argh! Kat! Kat! Wawancara yang lain saja!” ujar reporter kepada cameramen dengan nada kesal melihat wajah Udin.

OOO

“Sial! bikin malu nama udin aja tuh orang. Tapi…,” Udin menggerutu tidak terima ketika nama Udin yang diwawancarai sebodoh itu.

“Apa?!$%# Makhluk luar angkasa?!” Udin dan Karyo baru sadar tentang isi berita yang sesungguhnya.

“Jesika! Jesika di sana! Gue mesti nyelamatin Jesika!” Teriak Udin. Dia bergegas keluar kamar.

“Din! Gue ikut!” Teriak Karyo mengejar Udin.

“Stt! Jangan panggil gue Udin. Panggil saja KAMNO PATTAN,” Udin menuju parkiran sambil mengendap-endap takut ketahuan penghuni kost lainnya.

“Artinya?” Karyo penasaran sambil mengikuti Udin alias Kamno Pattan mengendap-endap.

“Lo nggak perlu tahu artinya apa. Yang perlu lo tahu kepanjangannya: KAMAR NOMOR EMPAT SELATAN,” ujar Kamno Pattan yang memang tinggal di kamar kost nomor empat di sebelah selatan.

“Cocok! Ayo kita mulai misi pertama kita,” Karyo bersemangat. “Kita pakai motor apa naik angkot Kamno?”

“Naik motor sajalah. Kalau naik angkot nanti kena macet. Belum lagi ongkosnya. Gue lagi nggak punya uang,” sesampainya di parkiran dia baru ingat kunci motornya masih tergeletak di meja belajarnya. “Ah sial! Kunci motor ketinggalan. Dompet gue juga. Yo tolong ambilin dompet dan Kunci motor gue di atas meja belajar.”

“Siap.”

Tidak sampai satu menit Karyo sudah kembali dengan membawa apa yang disuruh.

“Ah, aku lupa. Celana gue di dalam pakaian baja ini. Gimana caranya menyimpan dompet? Baju baja ini nggak dilengkapi kantong. Desain yang buruk,” Kamno Pattan menyesalkan.

“Ribet ya, ck ck ck. Sini gue yang pegang. Dan ngomong-ngomong siapa yang bonceng? Lo aja lah. Gue di belakang aja,” usul Karyo.

Kamno Pattan setuju. Dia menyalakan motor bebek keluaran tahun 2005 berwarna hitam silver itu. Saat mulai jalan, motornya terasa tidak nyaman dikendarai. Dia menghentikan sepeda motornya dan memeriksa ban belakang. Dugaannya benar. Sepeda motornya bocor.

“Benar-benar cobaan. Kita harus menambal ban dulu Yo. Aduh bagaimana ini. Jesika, semoga kamu baik-baik saja. Tunggu Abang. Abang akan segera datang menyelamatkanmu,” Kamno Pattan menuntun sepeda motornya ke bengkel tambal ban di depan kostnya.

OOO

“Bang masih lama nambalnya?” tanya karyo.

“Ini bannya nggak bisa ditambal lagi. Harus diganti,” kata tukang tambal ban.

“Kenapa nggak bilang dari tadi sih Bang?”

“Situ lagi asik mengobrol dengan Ksatria Baja Hitam. Saya panggil-panggil nggak menyahut. Memangnya lagi ada pesta kostum ya Mas?”

“Iya, pestanya di puncak. Agak cepat Bang. Ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Kami ingin menyelamatkan Indonesia dari alien. Langsung ganti ban dalam saja Bang. Kamno, lo punya uang nggak?”

“Dasar anak muda zaman sekarang. Apalagi mahasiswa, kerjanya main game. Ternyata bisa berefek yang nggak baik bagi otak,” ujar tukang tambal ban menggeleng-geleng kepalanya.

“Eh, Bang. Nggak nonton berita pagi ini?” Karyo menggerutu.

“Kalau nggak salah ada. Ambil saja di dompet,” jawab Kamno Pattan.

Lima belas menit kemudian ban selesai ditambal. Kamno Pattan dan Karyo mulai beraksi. Terutama Karyo, paling semangat dengan misi dadakan ini. Belum apa-apa dia sudah membayangkan pakaian yang cocok untuk dirinya sebagai partner Kamno Pattan.

“Astagfirullah, Kamno! Gue lupa. Tadi gue ke kamar lo mau pinjam motor. Mau ketemu dosen pembimbing skripsi gue. Gue ada janji dengannya jam sebelas. Bagaimana ini? Bisa putar balik nggak? Kita ke rumahnya sebentar,” pinta Karyo agak berteriak. Pikirannya tentang pakaian partner Kamno Pattan sirna seketika karena bayangan dosen pembimbing yang angker itu tiba-tiba menyelinap dalam otaknya.

“Sudahlah, skripsi bisa dilanjutkan semester depan,” kata Kamno Pattan yang masih terus saja melajukan black silvernya.

“Apa?! Tidak kedengaran.

“SKRIPSINYA SEMESTER DEPAN SAJA KARENA MENYELAMATKAN DUNIA LEBIH PENTING DARI SEKEDAR SKRIPSI LO YANG NGGAK PERNAH ADA KATA ‘UDAH’ ITU!”

Mendekati pertigaan Ciawi Kamno Pattan menghentikan black silver.

“Ada apa Kamno?” Tanya karyo heran.

“Di depan ada razia. STNK-ku mati. Lagi pula lo nggak pakai helm. Gue nggak punya uang lagi buat bayar tilang.”

“Bilang aja sama polisi itu kita akan menyelamatkan dunia. Ah, seharusnya pakaian baja lo dilengkapi menu bisa terbang.”

“Mungkin bisa. Cuman gue nggak tahu kodenya. Benda ini sampai di kamar gue nggak dilengkapi dengan buku petunjuk penggunaannya.”

“Kalau gitu, gimana kalau kita coba sekarang?”

“Dodol lo.”

OOO

Satu kampung di kawasan di sekitar lokasi jatuhnya UFO habis sudah. Darah ada di mana-mana. Dukun-dukun terhebat yang tadinya unjuk kebolehan akhirnya menemui ajalnya diterkam oleh alien-alien yang beringas. Alien-alien itu tak mempan oleh mantra-mantra yang dibacakan. Mayat-mayat tergeletak di berbagai sudut, di tempat-tempat yang tidak terduga seperti: jamban tepi sungai—ada orang yang tewas dalam keadaan jongkok dan wajah seperti sedang berusaha mengeluarkan sesuatu. Ada juga mayat yang sedang dalam posisi mencuci pakaian. Menyeramkan! Apalagi bau anyir dan kemenyan memenuhi penjuru kampung. Sangat horor!

Tapi makhluk-makhluk itu, sebagian sudah pergi menuju hutan dan sebagian lagi mengadu nasib menuju jalan raya. Mereka mulai berani menuju keramaian meskipun polisi berada di mana-mana, juga TNI angkatan darat dengan pansernya. Orang-orang yang sedang berangkat piknik semuanya panik. Apalagi kawasan puncak macet total membuat mereka bertambah panik. Tak ada kendaraan yang bisa bergerak. Mencari jalan tikus di perkampungan sangat tidak mungkin karena takutnya alien tiba-tiba datang menyerang lagi. Karena kampung-kampung tersebut sangat dekat dengan hutan dan ada sebagian alien yang di duga berkeliaran di sana.

TNI dan polisi juga sudah memperingatkan agar tetap tenang di jalanan yang macet. Bagi yang keras kepala, tidak menghiraukan peringatan para abdi negara tersebut. Dan naas, mereka bertemu alien dan tak perlu dijelaskan lagi apa yang terjadi dengan mereka, yang nekat tersebut. Selain mobil mereka yang belum lunas, nyawa mereka melayang. Ada yang berusaha lari dari kejaran alien, selamat, karena bersembunyi di mushola. Saat itu pula dia langsung tobat, mengambil wudhu dan langsung solat. Alhamdulillah berkurang juga tugas Pak Ustad.

Di sudut lain, polisi yang sedang mengatur lalu lintas di kawasan Ciawi, yang menghalau kendaraan agar tidak menuju puncak, melihat makhluk aneh lagi selain alien yang dilihatnya di televisi beberapa menit yang lalu.

“Itu alien!” Polisi tersebut menunjuk-nunjuk makhluk yang diduga alien jenis lain tersebut.

OOO

“Tuh kan yo, polisi-polisi itu melihat kita. Apa gue bilang, ini gara-gara lo nggak pakai helm. Ayo kita cari jalan pintas,” seru Kamno Pattan langsung menyalakan mesin sepeda motornya.

“Ayo, gue tahu jalan pintas. Nanti tembus ke Gadog.”

Dengan jurus seribu langkah tanpa bayangan, Kamno Pattan melajukan sepeda motor dengan mengikuti petunjuk yang dibilang Karyo. Mereka melewati perkampungan. Terlihatlah pemandangan-pemandangan yang menyedihkan. Warga yang masih jauh dari lokasi pembantaian oleh alien sudah bersiap-siap mengungsi. Mereka mengenakan kebaya, baju batik, sepatu pantofel. Aneh sekali, pakaian mereka rapi. Sampai di pertigaan, Kamno Pattan belok kiri. Ternyata ada kondangan di RT 03. Oh, ternyata warga bukan mengungsi, tapi pergi ke kondangan. Pak Hansip dan tukang parkir mempersilakan mereka lewat.

Perjalanan mereka cukup berat. Medan yang mereka lewati penuh dengan rintangan. Seperti: ada kerbau lewat, itik berbaris, pohon tumbang sampai Pak RT 10 dengan Pak RT 11 bertengkar hebat di tengah-tengah jalan. Terpaksa Kamno Pattan menghentikan sejenak sepeda motornya. Pak RT 10 menyadari keberadaan mereka, dia tersenyum.

“Silakan lewat dulu,” katanya.

“Terima kasih ya Pak. Sok dilanjutin lagi,” kata Karyo.

Rintangan terberat adalah saat mereka melewati kali besar dengan arus sedang dan banyak bebatuan besar. Tapi mereka mau tak mau harus menyeberangi kali tersebut. Bukan karena tidak ada jembatan atau jembatan rusak yang menjadikan perjalanan mereka menjadi sebuah rintangan terberat, tapi:

“Ada apa Kamno?” Tanya Karyo tegang.

“Sayang kalau dilewatkan gitu aja,” kata Kamno Pattan cekikikan.

Di kali, di antara bebatuan, lima gadis cantik sedang mencuci pakaian hanya dengan mengenakan kain batik. Mereka mencuci sambil berbasah-basahan. Kemudian mereka tertawa sambil bermain cipratan air hingga membuat seluruh tubuh mereka basah. Yang sudah terlanjur basah ya sudah menyelam di air kemudian keluar ke permukaan sambil menyibakkan rambut panjangnya menciprati teman-temannya. Teman-temannya keranjingan sehingga melupakan cucian mereka.

“Wuidih Yo, yang itu cantik bener. Air liur gue aja udah netes. Untungnya liur gue nggak kelihatan karena dilindungin helm gue, jadi nggak malu haha…,” Kamno Pattan menunjuk gadis yang menyibakkan rambut tersebut.

“Kalau menurut gue, yang di depannya lebih ayu. Kelihatan sekali keibuannya,” kata Karyo memberi pendapat.

“Ah, itu memang ibu-ibu kali yo,” Kamno Pattan menjitak kepala Karyo.

“Gue pikir juga gitu,” Karyo mengangguk-angguk sambil membelai-belai dagunya.

“Kapan adegan mandinya ya Yo? Lama banget.”

Tiba-tiba di sana ada seorang ibu-ibu berlari mendekati gadis-gadis itu.

“Cepat kalian pulang! Kita disuruh mengungsi dari Pak RT. Ada alien sedang menuju ke sini!” teriak ibu-ibu itu.

“Astagfirullah, Yo! JESIKA!” Kamno Pattan baru sadar tujuannya melewati perkampungan ini.

OOO

Kamno pattan dan karyo tiba di lokasi di mana satu kampung telah habis dan mayat bergeletakkan di mana-mana.

“Astagfirullah, horor banget,” lirih Kamno Pattan memarkir sepeda motornya di bawah pohon mangga.

“Udin, anterin gue pulang yuk. Gue belum kawin. Bulu kuduk gue udah berdiri nih,” Karyo berlindung di belakang Kamno Pattan.

“Pulang aja sendiri, macet gila kalo gue mesti balik lagi ke sini. Lagian gue lupa jalan kampung tadi,” kata Kamno Pattan sambil memeriksa mayat seorang wanita.

“Gila cakep bro, sayang ya, biadadari di dunia ini udah berkurang satu.”

“Bukan cuma satu Yo, kayaknya banyak deh. Mayat ini meskipun sudah ibu-ibu, kecantikannya masih terpancar,” Kamno Pattan mengoreksi.

Tiba-tiba ada sesuatu bergerak di balik semak-semak di depan mereka.

“Mati gue. Sembunyi di mana gue,” Karyo kaget.

Kamno Pattan mendekatinya perlahan sambil mengendap-endap. Ketika dia mau jongkok, Kamno Pattan langsung diserang oleh dua alien yang sangat menyeramkan. Matanya besar setengah wajahnya dan juling. Telinganya seperti telinga gajah. Hidungnya seperti babi dan memiliki taring seperti vampir. Tubuhnya tinggi besar, berotot batu bata, tangannya memiliki cakar seperti harimau dan dia berbaju seperti ultraman, licin mengkilap dan polos. Alien tersebut lebih pantas disebut monster.

Kamno Pattan terpelanting ke atap rumah yang langsung rubuh seketika. Karyo ketakutan bukan main ketika menyadari dirinya sendiri di situ. Mata besar dan juling itu melotot ke arahnya.

“Kamno! Mukanya jelek!” teriak Karyo. Sebetulnya dia mau berteriak minta tolong.

“Ember!” teriak Kamno Pattan. Dia melompat setinggi pohon mangga dan langsung menerabas alien tersebut dengan tendangannya. Alien tersebut terpelanting sejauh sepuluh meter. “Sumpah gue pikir gue paling jelek di dunia ini,” Kamno Pattan mencekik alien yang satu lagi dan melempar ke temannya yang baru mau bangkit. Keduanya terpelanting lagi sejauh tiga meter.

“Hebat lo Din.”

“Panggil gue Kamno Pattan,” mengulurkan tangannya kepada Karyo.

“Awas!” teriak Karyo yang melihat kedua alien tersebut mulai menyerang kamno Pattan.

Kamno Pattan dengan sigap menangkis serangan pukulan dari kedua makhluk tersebut. Sebelumnya, dia menendang Karyo hingga tersungkur ke bawah kandang ayam.

“Lo nendang pantat gue goblok!”

“Sori bro!” Kamno Pattan membalas serangan alien dengan memukul, menendang, menyikut dan mencekik. Keduanya kewalahan dengan pukulan Kamno Pattan yang bertubi-tubi. “Karyo! Gue kok tiba-tiba jadi bisa karate gini ya?!”

“Awas belakang lo bego! Pencet nomor buntut lagi di kalkulator lo sekalian latihan!” teriak Karyo yang sedang membersihkan bajunya dari kotoran ayam.

Kamno Pattan memencet serangkaian nomor. Sekelebat cahaya keluar dari pakaian bajanya yang terkumpul pada kedua kepal tangannya. Lalu cahaya yang terkumpul itu ditembakkannya ke arah alien yang pantang menyerah. Dan keduanya hancur lebur seketika. Darahnya yang berwarna hijau terciprat ke mana-mana termasuk dirinya.

“Astagfirullah. Bisa begitu,” Kamno Pattan bengong.

“Yeah!” Karyo keluar dari bawah kandang ayam sambil bertepuk tangan.

“Yo, kira-kira gue dosa nggak ya ngebunuh alien?”

“Waduh kurang ngerti juga.”

OOO

Mereka berdua memeriksa seisi desa yang mendadak jadi desa mati. Mereka mengumpulkan mayat-mayat di satu tempat di pinggir mushola agar nantinya polisi dan TNI akan dengan mudah mengevakuasi dan mengubur seluruh korban. Karyo sampai termuntah-muntah melihat mayat yang mati dalam berbagai posisi dan ekspresi. Mereka semua pasti tidak akan menyangka akan mati saat itu. Karyo menangis mengingat-ingat betapa banyak dosa yang telah dia lakukan. Terlebih ketika bayang-bayang orang tuanya mengitari kepalanya saat itu. Ada penyesalan karena seharusnya dia sudah lulus kuliah dua tahun yang lalu. Menunda kelulusan berarti menambah liter keringat orang tuanya yang diperas olehnya secara paksa meskipun dia tak pernah menyadari hal itu.

“Din, sepertinya gue harus segera pulang sekarang. Gue jadi inget orang tua gue ngeliat bapak-bapak dan ibu-ibu itu matinya berpelukan,” ujar Karyo berpegangan di pundak Kamno Pattan yang sedang menghitung jumlah korban yang sudah dikumpulkannya.

“Gue juga Yo. Bener ya kata orang, setiap ada kejadian itu pasti ada hikmahnya. Seperti sekarang ini, gue juga jadi sadar bahwa ternyata kita hidup itu hanya untuk sementara. Seharusnya gue sadar sedari dulu,” Kamno Pattan tertunduk. Dia ikut bersedih. “Tapi tugas kita belum selesai. Kita harus segera mencari pesawat UFO yang jatuh tersebut. Ayo!”

“Iya maksud gue juga pulangnya nanti.”

Mereka menyisir desa tersebut menuju sisi gunung melewati jalan kecil bahkan menerobos ilalang. Sepeda motor milik Udin alias Kamno Pattan yang diservis tiga bulan sekali itu ternyata cukup kuat. Dalam hati Udin, dia salut dan bangga memiliki sepeda motor seken sekeren itu yang dibelinya tiga tahun lalu.

“Din, apa nggak sebaiknya lo nyoba pencet-pencet lagi tuh nomor buntut. Kali aja ada mode terbangnya. Motor lo diparkir di sini aja,” saran Karyo.

“Tenang Yo. Meskipun sepeda motor ini terlihat jelek, untuk medan seperti ini cincailah. Insya Allah,” Kamno Pattan meyakinkan.

“Bukan masalah itu bego. Di sini nggak ada yang jualan bensin.”

Tepok jidat!

Kamno Pattan mencoba-coba sembarang nomor. Macam-macam mode yang dia dapatkan. Seperti mode mengeluarkan asap ninja dari bokongnya (sangat tidak etis), memberatkan diri seperti batu sebesar rumah, berubah menjadi bayangan, berpindah tempat sejauh seratus meter dalam sekejap mata, membakar diri dan terbang!

“Nah! Ini yang kita cari bro!” teriak Karyo girang.

Kamno Pattan meraih tubuh Karyo, tanpa babibu dia membawanya melesat ke angkasa. Dengan begitu mereka dengan mudah mencari di mana letak UFO tersebut berada.

“Itu dia!”

Mereka mendarat. Kondisi UFO tidak begitu mengenaskan. Hanya saja sayap sebelah kirinya patah seperti habis tertembak. Asapnya masih mengepul di sisi belakang yang sepertinya berasal dari ruang mesin. Pesawat itu tak seperti kebanyakan UFO yang diberitakan berupa piring terbang. Tapi malah lebih mirip pesawat kapsul silinder yang melebar dan memipih di bagian belakangnya. Bagian lebar dan pipih tersebut merupakan sayapnya. Tak ada jendela seperti pesawat buatan manusia bumi. Kapsul tersebut polos tanpa merek, tanpa corak dan tanpa perlengkapan senjata yang terlihat dari luar. Bagian kulit kapsul tersebut mengkilap seperti cermin namun sedikit buram karena bekas benturannya dengan tanah mengotori hampir di seluruh sisi, termasuk bagian atasnya.

“Jangan bilang kita akan masuk ke dalam,” ucap Karyo yang mulai merinding.

“Nggak tahu kenapa, gue kok jadi pemberani sekarang? Ayo kita masuk,” Kamno Pattan nyengir di balik helmnya.

Mereka mendekat ke kendaraan luar angkasa sebesar tiga kali truk kontainer itu. Kamno Pattan menyentuh badan pesawat tersebut, tiba-tiba bagian yang disentuhnya bergeser. Ternyata itu sebuah pintu. Mereka masuk.

“Kamno, lo masih inget kan mode tembaknya nomor berapa? Mode menghilangnya juga.”

Kamno Pattan diam saja. Dia serius memperhatikan setiap sudut di dalam pesawat itu. Buntu. Kemudian membuka lagi sebuah pintu secara otomatis. Dan betapa terkejutnya dia melihat ada beberapa benda mirip kursi dan memang diyakininya adalah kursi.

“Alien yang mati baru dua. Berarti masih ada delapan lagi!”

Karyo deg-degan. Kamno Pattan kembali membawa Karyo melesat ke angkasa. Dari atas dia menyisir berbagai tempat yang kemungkinan berkeliaran monster-monster menyeramkan itu.

OOO

Di jalan raya puncak terjadi kekacauan. Kemacetan sudah parah. Semakin bertambah parah dengan lautan manusia yang berlarian mencari perlindungan. Akhir pekan mereka yang diharapkan dapat menghilangkan kepenatan ternyata malah menghantarkan mereka pada ketakutan. Dan lebih menyedihkan lagi, mereka malah menghantarkan nyawa.

Di sebuah mini bus hitam, di tengah-tengah kemacetan, seorang gadis menahan tangis dan takutnya. Dia bersembunyi di bawah jok belakang sambil memperhatikan makhluk luar angkasa yang sedang berdiri di sebelah pintu depan mobilnya. Makhluk itu memecahkan kaca mobil kemudian melepaskan pintu tersebut. Kepalanya mendongak ke dalam mencari-cari sesuatu. Gadis itu, yang tak lain adalah Jesika bergelut dengan ketegangan. Dalam hatinya berdoa agar alien tersebut tidak menemukannya.

Tadinya dia tak sendiri. Ada Vincent. Tapi pria itu melarikan diri terlebih dahulu saat alien itu masih jauh. Pria pengecut itu meninggalkan Jesika menanggung ketakutan sendirian di dalam mobil.

Tapi pria itu, sebetulnya tak jauh dari mobil tersebut. Dia juga tidak bisa lari terlalu jauh karena alien begitu cepat menghampiri mereka. Dia bersembunyi di bawah mobil yang ada di belakang mobil di mana Jesika bersembunyi. Urat sarafnya menegang ketika dia melihat kaki alien yang berakar. Bagaimana jika tiba-tiba kepala alien tersebut mendongak ke bawah?

Suasana sangat menegangkan. Lebih menyeramkan lagi ketika alien tersebut menghisap sari pati—seperti cahaya yang berasal dari tubuh manusia—dan membuat yang dihisap tersebut mongering, tinggal kulit dan tulang. Sebagian lagi hanya dilempar-lempar saja seperti melempar bola. Mungkin untuk kesenangannya saja.

Sementara itu, yang ditakutkan Vincent pun terjadi juga. Monster itu mendongak ke bawah mobil dan mendapati Vincent yang sedang khusuk berdoa. Dia berteriak. Monster itu ikut berteriak, lebih tepatnya mengaum seperti singa, lebih seram daripada itu. Diangkatnya sedan tersebut, lalu dilemparkannya sejauh empat mobil dari tempatnya. Alien tersebut meraih Vincent dan bersiap menghisap sari patinya.

Tapi sebuah benda meluncur dari angkasa, itu Kamno Pattan, meraih monster itu, membawanya ke angkasa lalu menghempaskannya hingga tanah berlubang sedalam satu meter. Vincent berlari mencari perlindungan lagi. Tapi monster yang lain mengejarnya. Kamno Pattan tak mau kalah, dia menyambar Vincent dan membawanya terbang, menghilang sejauh tiga puluh kilometer dari lokasi sekejap matanya. Tak hanya Vincent saja. Semua orang dipindahkannya sekejap mata ke tempat yang aman. Kini tinggal dia sendiri bersama monster-monster itu.

Inilah pertempuran dasyat itu. Kamno Pattan diserang bertubi-tubi oleh delapan monster sekaligus. Tapi dia bisa menangkis serangan dengan mudah dan membalikkan serangan dengan pukulan-pukulan yang hebat. Satu monster terkapar. Setelah itu dua. Tiga. Tapi kesemuanya itu bangkit lagi menyerang. Kini lebih dasyat. Salah satu dari mereka menyemburkan api dari mulutnya dan itu diikuti oleh yang lainnya. Kamno Pattan kena. Terbakar. Tapi tidak mempan. Hanya sedikit kewalahan dan tergelitik geli.

Kemudian dia menghilang, membuat monster-monster tersebut kebingungan. Secara mendadak monster tersebut ditariknya satu persatu dan dihempaskannya ke bumi yang menghasilkan gempa kecil beberapa kali. Tak hanya itu, dia menghantamnya dengan tembakan api dari kepalan tangannya yang membentuk peluru sebesar buah kelapa. Monster tersebut hancur lebur.

Tanpa sempat menghindar, pukulan yang sangat dasyat menghantamnya dari belakang. Kamno Pattan terhempas ke tanah dan menghancurkan beberapa mini bus. Di angkasa helikopter pemantau dari stasiun televisi merekam pertempuran sengit tersebut. Dan tiba-tiba alien melompat ke arah helikopter yang pada saat itu terbang rendah. Reporter berteriak histeris. Alien bergelantungan di kaki helikopter hendak menggapai pintu yang terbuka. Sang reporter membuka sepatunya dan memukul-mukul tangan bercakar tersebut. Lalu tangan alien menggenggam kaki reporter perempuan nan cantik jelita itu, menariknya dan melemparkannya ke bawah. Kamno Pattan dengan cekatan menangkap reporter cantik tersebut. Dia langsung memindahkan ke tempat yang aman. Di helikopter ketegangan masih berlanjut. Sang kameramen masih terus merekam wajah mengerikan tersebut yang kali ini telah berhasil berada di pintu helikopter. Sang pilot beristigfar dengan tubuh yang bergetar hebat. Mengerikan sekali penampakan yang terekam kamera tersebut. Orang-orang di luar lokasi bersitegang bagai sedang menonton film action. Tapi yang mereka lihat sungguh nyata.

Sang kameramen sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Bukan tidak ingin dia meletakkan kamera tersebut, tapi dia terlalu takut untuk melihat alien itu secara nyata dari matanya sendiri. Paling tidak, melalui kamera tersebut dia membayangkan sedang membuat sekuel film alien: yang dilihatnya boneka alien bukan alien asli! Kemudian moster yang lain ikut melompat ke helikopter. Dia berhasil menggapai ekor dan membuat helikopter tersebut terbang tak tentu arah. Sang pilot sudah menangis darah. Ingat tentang isterinya yang berulang tahun hari ini dan anaknya yang baru berumur dua bulan. Menyedihkan. Dia berusaha mengendalikan agar tidak menabrak pohon. Tapi baling-balingnya sudah menyentuh pelepah pohon kelapa setinggi sepuluh meter. Patah! Baling-baling itu patah, helikopter semakin terbang rendah dan…

ZIP! Sang pilot menghilang! ZIP! Kameramen juga menghilang! Kamno Pattan memindahkan keduanya, bapak-bapak yang baik tersebut dari helikopter ke tempat yang aman. Helikopter tersebut terbang tanpa arah dan akhirnya menabrak salah satu rumah warga. Meledak! Api besar berkobar dan dengan cepat merambat ke rumah-rumah lainnya karena di sana banyak ibu-ibu yang tadinya sedang memasak menggunakan kompor gas, ditinggalkan begitu saja. Mereka sudah tak memikirkan lagi tentang masakan. Nyawa lebih penting daripada itu. Dari balik kobaran api dua alien tersebut ternyata masih hidup meskipun kelihatannya mereka sudah berdarah-darah hijau kebiru-biruan dan bau.

Ada pemandangan lain yang lebih mengerikan, salah satu monster berevolusi. Bahunya membesar menjadi otot-otot yang keras, di situ keluar—mungkin tulang bahunya—serupa gading gajah yang lurus. Di bahu bagian belakangnya menyembul delapan buah tentakel gurita yang pada bagian ujungnya seperti pisau. Tubuhnya meninggi menjadi lebih kurus, kakinya jenjang seperti kaki belakang jerapah, telapak kakinya melebar berubah mentuk menjadi seperti kaki elang yang bercakar pisau. Matanya yang tadinya sebesar setengah mukanya berubah menjadi sepuluh mata kecil-kecil yang memenuhi kepalanya, empat bagian depan, satu samping kiri kanan, empat di belakang dan dua di atas. Telinganya menjadi tentakel kecil di sisi atas seperti sebuah antena belalang. Tak kalah membuat muntah, mulutnya memancung ke depan dan dipenuhi taring-taring tajam yang siap merobek apapun. Wajahnya tak ubah serigala berantena tanpa telinga yang dikelilingi mata. Dan ukurannya dua kali lipat bentuk awal.

Kamno Pattan ingin muntah melihat evolusi di depan matanya. Kini alien tersebut lebih pantas disebut monster jelek. Tubuh monster jelek dipenuhi lendir berwarna hijau. Sangat menjijikkan. Nyalinya mulai ciut ketika alien lainnya juga berevolusi menjadi monster jelek. Malah ada yang membelah diri menjadi sepuluh bagian dan tumbuh menjadi gurita-gurita kecil yang pertumbuhannya cepat menjadi sebesar semula. Monster jelek semakin banyak dengan bentuk yang beragam.

Presiden mengumumkan perang dengan alien. Angkatan udara mengeluarkan pesawat tempur tercanggih. Panser dan tank dikerahkan oleh angkatan darat melewati perkampungan menuju lokasi peperangan. Dari atas, pesawat tempur tersebut menembakkan rudal. Meledak! Pertempuiran semakin sengit. Kamno Pattan semakin bersemangat. Nyalinya sudah tidak ciut lagi. Dia jadi merasa keren abis!

Sementara itu, di dalam sebuah mini bus. Jesika teriak. Dia ketakutan setelah mendengar ledakan-ledakan tersebut. Suara benda-benda jatuh, mobil-mobil yang diangkat dan dihempaskan, suara tembakan tank dan panser membuatnya tak senang diam. Dia ingin keluar dan berlari menjauhi medan pertempuran tapi monster-monster jelek itu masih berada di sekitarnya. Lalu pada saat dia mencoba mengintip situasi, sesuatu mencekiknya, mengeluarkannya dari persembunyian.

“Tolong!” Teriak Jesika dengan susah payah dan lebih terdengar, “Thogrlorgnhgr!”. Tangan berlendir itu terlalu kuat mencekiknya sehingga suaranya tak bisa keras.

Kamno Pattan melihatnya. Melihat seorang gadis cantik dicekik. Dia terkejut. Ternyata itu Jesika, gadis yang sangat dicintainya! Dia marah. Dia kepalkan kedua tangannya lalu mengilang. Tahu-tahu dia sudah di belakang monster jelek itu. Ditariknya salah satu tentakel, digenggam hingga putus. Dia melompat, dari atas dia tarik mulut atas dan bawah dengan tangannya sehingga rahangnya patah dan kepalanya terbelah. Jemarinya kemudian menusuk dada monster tersebut sehingga memudahkan dia mencengkeram dan menariknya ke atas. Di angkasa dia menggunakan mode peluru api dari kepalan tangannya dan menembakkannya dari atas kepala yang tidak memiliki bagian atasnya lagi itu.

DUAR! DUAR! Monster tersebut hancur lebur tak bersisa. Tapi bagian dada yang terpotong sebagian, kemudian berubah menjadi monster yang baru. Tapi bagian lainnya, seperti tangan dan kaki yang hancur tidak berubah menjadi apa-apa.

“Sial! HIAAT!” Kamno Pattan memeluk monster jelek baru yang berasal dari potongan bagian badan yang tidak terbakar. Dia mengeluarkan mode api dan membakar hangus sang monster seketika. Tak tumbuh lagi.

Di bagian lain medan pertempuran tersebut, tank menembak monster hingga badannya hancur terbelah-belah. Lima menit kemudian potongan-potongan yang hancur tersebut berubah menjadi monster baru. Monster semakin banyak.

“Jangan tembak menggunakan tank! Bakar hingga hangus!” Teriak Kamno Pattan.

Tank yang menembak monster tersebut diserang. Segerombolan monster berjumlah belasan menabrakkan diri. Tank hancur. Panser yang mencoba menembak juga hancur dihantam. Dalam waktu tak sampai lima menit, sepuluh aset milik negara tersebut hancur. Ini tampaknya akan menimbulkan hutang baru bagi negara ini. Belum lagi mobil-mobil pribadi yang diasuransikan hancur. Entah berapa perusahaan asuransi yang nantinya gulung tikar.

Jesika yang tadinya pingsan, kini bangkit. Matanya masih kabur tapi perlahan terang dan kembali menghadapi kengerian. Kamno Pattan yang sudah puas menghanguskan monster menghampiri Jesika tapi dua monster jelek menabraknya sebelum dia meraih gadis itu. Kemudian menyerangnya dengan tentakel-tentakel yang tajam bertubi-tubi. Kamno Pattan terjatuh menimpa mini bus. Dicengkeramnya lalu dilemparkannya mini bus yang ditimpanya tadi ke arah dua monster yang menabraknya. Tak menunggu lama dia langsung memeluk salah satu dari mereka, menggunakan mode api lagi. Terbakar.

Pasukan khusus telah tiba, tak tanggung-tanggung sepuluh pleton dikerahkan di darat yang terdiri dari penyembur api, penembak jarak dekat, penembak jarak jauh, mortar dan bazooka. Tapi hanya penyembur api yang mampu mengalahkannya. Pasukan lain hanya membuang-buang peluru saja. Dan pertempuran itu hanya menghantarkan nyawa saja bagi mereka. Serangan makhluk luar angkasa lebih dasyat dan tak sebanding dengan kekuatan manusia biasa. Dramatis! Banyak para pejuang gugur. Ada yang jasadnya mengering, ada yang tercabik-cabik, ada yang hangus akibat salah tembak, salah sembur dan salah lempar granat. Tapi sedikitpun mereka tak terbesit keinginan untuk mundur. Mereka berjuang demi orang banyak. Demi bangsa dan negaranya dan mengharapkan ridho Yang Maha Besar bukan demi apa-apa. Memang, jika mereka berhasil menghabisi monster-monster ini dalam keadaan selamat, tak tanggung-tanggung pangkat mayor, letnan bahkan jendral akan mereka raih. Uang sejumlah besar yang belum pernah terbayangkan pun bukan prioritas utama. Demi ayah ibu, demi anak-anak, demi kerabat, demi keutuhan bangsa dan demi umat manusia di muka bumi mereka menghadang nyawa. Merekalah pahlawan sesungguhnya.

“HAJAR!”

“SERANG!”

“MAJU!”

Kata-kata itulah yang mereka teriakkan saat nyawa mereka sudah diujung jari. Bukan kata MUNDUR!

Kemudian dunia bergerak lambat. Seorang tentara terperangkap dalam dekapan sang monster. Dia menggelepar seketika saat monster tersebut menghisap sari patinya. Kemudian kering dan dicampakkan. Di belakangnya seorang tentara lain berlari membawa belati hendak menghujamkan ke monster yang berada di depan membelakanginya. Dia marah karena temannya terbunuh. Mereka berteman baik. Bersahabat sejak kecil dan bercita-cita yang sama: menjadi tentara. Melihat apa yang telah terjadi dengan sahabatnya itu, dia menangis, kesal dan marah. Berani-beraninya monster jelek itu membunuh sahabatnya.

“KUBUNUH KAU!” Teriaknya. Monster lain mencoba menghalau dengan tentakel berujung pisau. Dia tepis dengan tenaganya yang semakin menipis dan berhasil merobek tentakel tersebut hingga mengeluarkan darah hijau birunya. Dia kembali berlari ingin menghujamkan mata belati tersebut. Sayangnya saat dia melompat dan siap menghantam, pisau tentakel menusuknya hingga menembus perutnya. Tak hanya satu. Monster jelek tersebut tidak puas. Dua pisau tentakel menusuknya lagi. Tentara pemberani tersebut tewas dengan air mata yang terus mengalir di barisan kerutan matanya. Lalu jatuh membasahi bumi.

Jesika sudah pasrah pada situasinya. Meringkuk diam menunggu monster-monster tersebut menghabisinya. Dia sudah tak menangis lagi karena air matanya sudah habis sedari tadi. Ketakutan juga sudah pergi sejak tadi. Kini dia tersenyum. Tersenyum getir yang dipaksakan. Bayangan-bayangan masa lalu mulai berdatangan. Kenangan-kenangan indah menyapanya sebelum dia pergi dan berkumpul bersama ibu dan kakaknya di surga. Hanya satu yang enggan menghampirinya saat itu. Masa depan. Sebuah masa yang diimpikannya sejak lama berupa keindahan dunia yang belum pernah dia jamah.

Sesuai dengan apa yang ada dipikirannya monster-monster tersebut mendekatinya bersiap mencengkeram dengan tangan bercakar untuk menyerap sari pati dirinya. Tapi tak semudah itu! Kamno Pattan dengan secepat kilat menghantam monster itu dengan pukulannya. Kemudian dia meraih tangan Jesika. Kamno Pattan tersenyum, Jesika tidak tahu dia sedang tersenyum. Tapi seolah mengerti, Jesika tersenyum manis dalam ketegangan. Itulah kali pertama Udin melihat indahnya senyuman Jesika yang tertuju padanya. Ya, tertuju untuk Udin meskipun dia sadar sekarang dia sedang menjadi Kamno Pattan. Air matanya menetes dalam helmnya, Jesika tidak tahu dan tidak akan pernah tahu berapa kali Udin menangis untuknya. Bukan masalah bagi Udin. Dia hanya ingin orang yang dicintainya bahagia. Untuk itu meskipun bertaruh nyawa dia akan lakoni. Itulah sebabnya dia memompa keberaniannya melawan wajah-wajah menyeramkan. Padahal, pagi itu, dia masih seorang pengecut.

Saat hendak memencet mode berpindah tempat secepat kilat, pergelangan tangan Kamno Pattan dihantam tentakel. Lalu kepalanya dililit, tak terkecuali tangan dan kakinya. Sekuat tenaga dia berusaha melepaskan lilitan itu. Berhasil! Tapi tentakel lain kembali melilitnya. Tak hanya itu, Kamno Pattan dihempaskan dari ketinggian sepuluh meter berkali-kali seperti menghempaskan cucian di batu, seperti yang dilakukan gadis-gadis yang mencuci di kali.

Jesika menangis. Diambilnya sebongkah batu sekepal tangannya yang kemudian dilemparkannya ke muka monster tersebut hingga mengenai matanya. Moster jelek itu menoleh dan melepaskan cengkeraman yang menyiksa Kamno Pattan. Kini monster jelek tersebut menyerang Jesika dengan tentakelnya.

JDER!

Kamno Pattan menghantam kepala monster tersebut hingga tersungkur. Jesika teriak melihat monster jelek itu yang jatuh tepat di depannya. Kamno Pattan menghampirinya.

“Jangan takut. Ada aku di sini,” Kamno Pattan menenangkan Jesika.

JDER!

Kepala Kamno Pattan dihantam oleh monster lainnya. Tentakel itu kembali melilit kemudian menghempaskannya sampai Kamno Pattan tidak berkutik. Kemudian tangan kirinya terhempas sehingga gelangnya retak. Pada hempasan ke lima gelang tersebut lepas. Kamno Pattan berubah menjadi Udin. Udin biasa. Udin yang lugu. Namun berubah berani. Dia pingsan.

“Udin?” Jesika terkejut. Ternyata ksatria yang menolongnya itu adalah Udin. Melelehlah air mata Jesika. Dia teringat kebodohan-kebodohannya waktu itu. Mempermalukan Udin di depan khalayak ramai. Menjauhi Udin dan membencinya hanya gara-gara Udin yang jelek itu menyukainya. Kini Udin terbaring lemah. Tak lama kemudian monster itu kembali melilit Udin dan melemparkannya hingga ke atap rumah warga. Udin pingsan. Mungkin tewas.

OOO

Jesika menutup mukanya. Penyesalan menyerangnya bertubi-tubi. Hanya kalimat yang dimulai dari kata ‘seandainya’ yang bermunculan di kepalanya. Seandainya dia tidak membenci Udin. Seandainya dia tidak menyakiti udin dengan ikut Vincent ke Puncak. Seandainya dia tidak mencuci pulpennya yang jatuh dengan tanah dan membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali.

Kemudian penyesalan itu berubah menjadi kemarahan. Dia tak peduli lagi jika dia akan mati saat itu. Demi udin. Demi cinta tulus Udin. Demi menebus kesalahan-kesalahannya kepada Udin. Jesika nekat memukul monster jelek kurang ajar tersebut dengan tangan kosong. Percuma! Monster tersebut langsung mencekiknya dengan tentakel. Jesika meringis kesakitan.

Tak lama berselang, sesuatu menghantam monster itu. Bukan sesuatu. Itu seseorang. Seseorang yang hanya siluet saja terlihat oleh Jesika. Tapi itu bukan Kamno Pattan. Penampakannya berbeda dengan ksatria Udin. Seseorang itu terlihat meraih monster, lalu dilemparkannya ke angkasa dan ditembaknya dengan api yang menyembur dari tangannya. Itu Ksatria lain.

Ksatria yang baru datang itu menghantam monster bertubi-tubi. Semua dia bakar sampai hangus sampai akhirnya tertinggal dua saja di sana. Ksatria itu tertawa kemenangan melihat monster yang terlihat ketakutan dan pasrah. Tapi sang monster juga cukup puas dengan hasilnya, sudah beratus-ratus manusia dia keringkan dengan menyerap sari patinya. Paling tidak, bagi keduanya yang tersisa, merupakan sebuah prestasi.

OOO

“Hei!” teriak seseorang dari sebuah jalan setapak. Di situ terdapat berdrum-drum minyak tanah illegal yang rencananya akan diseludupkan ke kota tetangga. Ada juga bensin yang sengaja ditimbun oleh pemiliknya yang nantinya akan di salurkan ke pengecer-pengecer di pinggir jalan.

Dia, yang berteriak itu adalah Udin. Dia menggenggam sesuatu. GRANAT! Yang dia ambil dari seorang tentara yang tewas dalam pertempuran itu.

Kedua monster tersebut tanpa basa-basi lagi lompat ke arah Udin. Karena teriakan panggilan itu sepertinya menggiurkan. Di sana tidak ada lagi manusia yang terlihat kecuali Udin dan Jesika yang bersembunyi entah di mana. Maka, Udin adalah makan nikmat menjelang malam.

“Kemarilah anak-anakku!” Teriak Udin meniru dialog film-film action.

“Menyingkir!” Teriak Ksatria yang baru datang.

“Tidak! Lo yang mestinya menyingkir! Ha…Ha…!” Teriak udin, kemudian tertawa seperti hilang akal.

Ksatria itu mencoba menghalau monster yang melaju cepat menuju Udin. Tapi dia malah terlempar jauh oleh pukulan tentakel. Dan monster tersebut semakin dekat dengan Udin. Dan…

DUAR!

OOO

Seseorang membuka tirai jendela berwarna biru muda itu sehingga cahaya matahari dengan mudah memenuhi ruangan bercat putih.

Cahaya yang sudah memenuhi ruangan itu perlahan masuk melalui celah sempit pada kelopak mata yang tertutup tidak rapat. Cahaya itu terlalu keras sehingga merangsang gerakan dari pemiliknya. Kemudian membuka setengah.

Yang dia lihat adalah langit-langit berwarna putih. Dia lemparkan ke segala arah ruangan itu. Hanya ada sebuah televisi yang tidak menyala, kulkas, lemari kecil khas rumah sakit, jemuran pakaian kecil dan keset kaki di depan pintu kamar mandi. Yang jelas dia bukan berada di kamar kost-nya.

“Akhirnya lo bangun juga Din,” Seseorang membuka pintu, mendapati Udin yang hendak bangkit. Sesegera mungkin dia membantunya untuk berada pada posisi duduk bersandar.

“Eh Yo. Gue di rumah sakit ya?”

“Menurut lo?”

“Di rumah sakit.”

“Lo ditemuin pingsan di deket Puncak,” kata Karyo.

“Iya. Gue tahu. Masih sadar kok waktu itu. Yang penting monster-monster bin alien itu sudah mati semua,” Udin tertawa kecil.

“Monster? Alien? Ngaco deh lo.”

“Kok?”

“Udah ya. Lo itu pingsan selama dua hari. Tapi keren juga tuh mimpi lo,” ujar Karyo tertawa kecil. “Tapi yang satu ini bener-bener nggak mimpi loh. Masuk.”

“Siapa?”

“Nanti lo bakal tahu,” Karyo cekikikan. “Udah ah, gue keluar ya. Nggak mau ganggu kalian.”

Sementara Karyo keluar, orang yang dimaksud masuk ke dalam.

“Pagi,” sapa seseorang itu yang tak lain adalah pujaan hati Udin.

“Jesika?”

“Ini untuk kamu,” Jesika memberikan seikat bunga. Dia menunduk malu.

“Kok kamu bisa ada di sini? Vincent. pacarmu mana?”

“Sudah pergi ke laut.”

Udin mengerutkan keningnya.

“Terimakasih atas semuanya ya Din. Maafkan aku atas yang kemarin-kemarin. Entah mungkin aku sudah berada di alam sana kalau kamu nggak menolongku dalam kecelakaan itu,” mata jesika berkaca-kaca.

“Kecelakaan?” Udin melihat kedua kaki dan tangannya yang penuh dibaluti perban.

“Iya. Waktu kami ke puncak. Untung ada kamu menolong kami. Mobil kami ditodong oleh perampok. Vincent, si pengecut itu lari meninggalkan aku sendiri di mobil. Untung waktu itu kamu berada di sana. Menghajar perampok-perampok itu sendirian. Hanya saja tiba-tiba kamu terlempar ke jalan raya dan…,” jesika tak kuasa mengingat kejadian itu.

“Jadi…Aku benar-benar kecelakaan?”

“Syukurlah kamu sekarang kamu sudah siuman. Aku senang.”

“Aku juga senang kamu berada di sini Jes. Aku nggak sedang bermimpi kan?”

“Kok kamu berpikir seperti itu? Tentu kamu nggak bermimpi Din.”

“Benarkah?”

“Iya.”

Hening sejenak.

“Jes.”

“Iya.”

“Aku boleh nanya sesuatu nggak sama kamu?”

“Nanya apa?”

“Ayah kamu tukang listrik ya?”

“Kok tahu?”

“Soalnya hati aku udah kesetrum oleh kamu.”

Itulah gombalan pertama Udin sodara-sodara! Tepuk tangan!

OOO

“Oh ya Din. Aku menemukan ini di dekat kamu pingsan,” Jesika menyerahkan sesuatu.

Gelang kalkulator KAMNO PATTAN!

OOOEndOOO

0 komentar: