Berita (7) Buku Saya (3) Cerpen (31) Download Novel (2) lain-lain (1) Musik (7) Puisi (39)

Translate

Rabu, 16 Mei 2012

Nafsu Nurani

—Skenario Monolog
Oleh: Hasbullah, Mei 2006


Cerita ini berawal di sebuah desa yang damai dan indah, Di desa itu lahirlah seorang anak yang tumbuh dewasa dengan sehat. Pemuda sehat ini tinggal di sebuah gubuk yang terbuat dari kayu, bangunan itu tidak menggunakan paku untuk menyambung tiap tiang, lantai yang tersusun dari bambu yang dibelah, atapnya terbuat dari daun rumbia, dindingnya dari kulit kayu. Umur bangunan itu kira-kira sudah lebih dari 100 tahun turun temurun dari moyangnya, wajarlah kalau bangunan itu agak-agak gimanaaaa gitu. Sebelah barat tak jauh dari pondok itu, ada sebuah sungai yang mengalir deras dengan air yang bersih, jernih, dengan suara gemericik yang harmoni berbarengan dengan kicauan burung yang saling bersahutan, sepanjang tepian sungai tumbuh subur pohon bambu atau awi atau bulo. Sang pemuda yang cerdas adalah tipe orang pekerja keras. Dia bekerja menggarap lahan sebelah timur gubuknya dengan giat. Dia menanami lahan itu dengan tanaman standar petani (singkong alias sampeuk atau tenggeng atau menggale),


Di kala istirahat makan siang, sang pemuda akan merebahkan tubuhnya di saung alias dagau ditepi sungai sambil meniup serunai alias suling. Ketika sedang berhayal tentang masa depan dan mengenang masa sekarang sampai lalu sang pemuda berfikir.

“Oh Tuhan, betapa indah dan megahnya alam yang kau ciptakan ini, begitu harmoni, seimbang, setimbang, damai dan mendamaikan, aku larut dalam aliran sungai yang jernih dan berkilauan karena terpaan cahaya sang mentari, hayalku terlarut di desiran angin yang mengusik dedaunan. Pun burung burung berkicau sembari bermain layaknya sedang menggoda ku”

(Suitan burung)

Pemuda itu diam dan asyik mengamati tingkah laku ikan yang bermain dan berlompatan berebut makanan,

“Tapi sepertinya tak guna alam ini dibuat kalau hanya untuk di kagumi, baiknya kumanfaatkan hutan ini, dan kugali tambang ini toh Tuhan ciptakan bukan untuk siapasiapa kalau bukan untuk manusia sebagai khalifah di bumi, jadi sayang kalau ciptaan Tuhan ini aku sia-siakan, jangan ah jangan sampai orang lain mendahuluiku.

(Mata jahat)

Dan mulailah ada gejolak nafsu dalam diri pemuda untuk mendapatkan apa yang dibayangkannya menjadi orang kaya dan menguasai segalanya. Seolah-olah sang nafsu bisa bicara dan didukung, sang pemuda telah keluar dari daerahnya yang asri untuk mencari ilmu dan dukungan dalam mencapai keinginannya.

“Hmmmm. Hah!! Sepertinya aku berhasil mendominasi pikiran dan kelakuan sang raga bodoh ini, yaaah memang benar nafsu dan keserakahan, keangkuhan, akan selalu bergandengan untuk menggerogoti jiwa manusia, hiasi kehidupan dengan kemurkaan, hahahaha nafsu pasti berkuasa!”.

Akhirnya setelah sekian lama sang pemuda pergi ke kota untuk belajar dan mencari dukungan (dalam keadaan shock culture), ia kembali ke desanya dan mulai menjalankan rencananya untuk membuka tam-bang emas dan menebangi pohon secara liar dan ilegal. Dengan dukungan penuh dari seorang yang “beruang” sang pemuda beraksi tanpa henti. Deng dong jeng jong…Sang pemuda berdiri di dekat hutang di sebelah kebunnya dan memandanginya entah untuk mengenang atau untuk apalah itu. Tiba-tiba ia begumam, “Yah benar ternyata kata orang orang yang kuat pasati berkuasa, sama seperti hutan ini yang begitu lebat saling menutupi saling lilit hmmm alam saja kejam!” Puluhan alat berat dan ratusan pekerja yang menanti perintah untuk melakukan invansi sudah bersiap dengan senso alias gergaji mesin yang meraung raung siap memakan semua yang ada di hutan. Ia berkata “Hayo hayo! Tiada lagi yang dipikir tiadal agi yang menyindir. Bantai! Tebang! Gali dan ambil segalanya yang ada! Jual-jual! Semua itu karena Tuhan yang menyuruh kita memanfaatkannya. Hayo!! Kerahkan semua kemampuan kalian!“ Perintahnya dengan sombong dan lantang.

Wess tak sia-sia ternyata sang pemuda telah sukses. Berhasil dia untuk menghancurkan alam, hutan dan segalanya, dengan kehidupan baru dan pola peradaban yang baru pula. Selama lebih dari 35 tahun dia menjalankan usahanya, isterinya yang cantik dan modis selalu mendampinginya. Anak-anaknya yang lucu dan cantik manis ganteng memeriahkan istana yang terbuat dari kaca dan marmer kualitas nomer satu. Tidak lagi berdinding kayu tapi berdinding beton yang kokoh. Tidak lagi beratapkan daun, tapi beratapkan kaca yang bening dan ahhh pokoknya bertolak belakang buanget dari kehidupan 40 tahun sebelumnya.

Setiap Dia pergi ke lokasi untuk meninjau usahanya, ternyata hutan dan sungai telah berubah, hutan jadi gundul dan dipenuhi lobang-lobang danau maha agung hasil pengerukan untuk beberapa gram emas. Ikan-ikan di sungai mati karena limbah pembuangan tambang dan segalanya sudah tidak setimbang lagi. Sambil duduk sang pemuda berfikir. Ternyata nuraninya masih hidup meski dalam keadaan tersiksa.

”Mengapa! Ada apa! Dulu kau adalah penyayang alam! Dulu kau adalah bagian dari alam dan kini kau jadi musuh alam! Kau telah kehilangan alam yang dulu selalu menemanimu dan memberikan kehidupan bagi mu. Apa kau tak merasakan alam sedang menangis dan pohonpohon yang kau tebangi merintih kesakitan?! Rasakan! Hayati!”

Ternyata si pemuda yang sudah dikuasai oleh nafsu dan keserakahan masih memilki nurani yang sakit dan kenangan di masa susah tapi bersahaja, yah meski itu dulu. Pemuda yang mulai tergoncang jiwanya dan sudah tidak muda lagi, lagi-lagi di hatinya yang telah membusuk dipenuhi kebusukan yang paling busuk hamm busuk, sang nafsu yang masih gagah dan muda berbisik lagi pada pemuda yang tak muda lagi.

“Ahhh semua itu bohong semua itu mustahil tak mungkin alam menangis, tak mungkin pohon merasa sakit. Itu perasaan dek nurani saja yang begitu cengeng. Kita tak butuh cengeng, tak butuh air mata untuk hidup dan berkuasa dibumi. Siapa cengeng dia nangis hehehe. Dasar dek nurani cengeng, cengeng!” Ledek nafsu.

”Ya ya ya tiba tiba kita atau siapapun itu terutama kau adalah harus siap menerima tanggung jawab ketidakbebasan dan tetek bengek kekalahan,” tambah nafsu lagi.

Ternyata dibalik ambisi dan tangan dingin pemuda yang tak muda lagi, terdapat banyak penderitaan, kelaparan, bencana banjir, longsor, pencemaran logam berat yah dan segala yang negatif dari kerusakan alam. Sang itu tuh mulai terlihat seperti orang yang kurang waras, di tertawa sendiri, menagis tanpa air mata, sambil memandangi seruling yang menjadi teman di kala letih. Tapi semua sudah terlambat, semua sudah terjadi dan waktu tak mungkin diulang kembali. Semua hanya berjalan satu kali. Tak lebih.

Di balik lagi nih, dibalik kesedihan dan penyesalan mendalam sang nafsu belum mau menyerah untuk terus menguasai hati busuk dan tua.

”Hhhh raga-raga, raga yang mulai melemah,” yah kayak gitu deh nafsu menyapa, “buat apa difikirkan buat apa di sesali toh yang merasa sakit bukan kamu tapi mereka, toh lagi itukan karena salah mereka sendiri yang tak mau berusaha sepertimu, kamu tak salah, kan kamu menjalankan perintah sebagai khalifah di bumi. Ya tidak?”

Yah begitulah kondisi pemuda yang tak muda lagi sudah semakin tak karuan sedih dalam kesenangan, menderita dalam bahagia dan miskin dalam kekayaan. Gejolak nafsu dan nurani makin memuncak.

Nurani yang tua dan lemah berujar dalam kesakitan yang dirasa oleh raga,“ Jangan! Jangan! Jangan dengarkan bisikan nafsu yang perusak itu! Ingatlah bahwa kau, aku, dan dia bahkan mereka adalah bagian dari alam. Besar di alam. Hidup di alam. Hentikanlah sebelum terlambat. Kembalilah sebelum semua hilang tinggal berkas memori yang terkenang. Jangan kau tenggelam lagi dalam nafsu!”

Kian hari kian larut dalam kontra batin dan agaknya sudah memuncak pada kondisi GILA “Hentikaaan!!! berhenti semua berhentilah kalian, wahai jiwaku! Oh nafsuku sudah jangan lanjutkan! Oh nuraniku cukup jangan teruskan! Aku taktahan lagi dengan gojolak kalian berdua. Apa yang harus kuperbuat? apa? Hah!!! Semua telah berlaku. Semua telah terjadi. Tidak! Tidak! Tidak !!!!!” Sambil menghujamkan keris keperutnya, “Aku akan menghentikan kalian bersama kepingan nafas terakhirku!” Begitu ironi, sang pemuda mati dengan meninggalkan luka dalam pada alam dan bagian dari alam luka. Dan kenangan itu turut larut bersama raga yang kembali ke tanah.

Kata-kata bijak dari seorang yang bijak, “Di beranda ini angin tak kedengaran lagi, langit terlepas, ruang menunggu malam hari.

Kau berkata, “ Pergilah sebelum malam tiba .

Kudengar angin mendesah ke arah kita, diluar detik dan kereta telah berangkat sebelum bait pertama sebelum selesai kata.

Sebelum hari itu, kemana akan tiba, akupun tau kita semua bersiap kecewa dan bersedih tanpa kata.

Semua yang terlepas takkan bisa disambung lagi, lagi, lagi… Kini tinggal bagaimana kita memperbaiki kesalahan dan merawat apa yang ada.

Bila waktu menjamah nurani, bila tradisi hanya diartikan sebagai adat yang absolut, yang sama sekali tak bisa ditafsirkan, tradisi hanya akan jadi belenggu, tradisi akan menipis dan mengikis dirinya sendiri, bukan memperkaya diri manusianya. Generasi baru akan berpaling pada moral yang baru.

0 komentar: